Oleh : Bayu Setyo Nugroho (Kepala Desa Demaji, Kabupaten Banyumas dan juga penggiat Gerakan Desa Membangun ) Foto : https://www.dermaji.des...
Oleh : Bayu Setyo Nugroho
(Kepala Desa Demaji, Kabupaten Banyumas dan juga penggiat Gerakan Desa Membangun)
Foto : https://www.dermaji.desa.id/ |
Ditetapkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), membawa harapan baru bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat desa secara lebih cepat. UU ini mengamanatkan pemberian kewenangan yang lebih luas kepada desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Kewenangan yang lahir karena adanya pengakuan (rekognisi) negara kepada desa sebagai kesatuan masyarakat hukum ini, telah membawa nuansa baru yang memosisikan desa sebagai subjek pembangunan. Kewenangan ini lebih luas maknanya daripada sekadar upaya pemberdayaan masyarakat desa, seperti yang dilakukan dalam berbagai program pembangunan yang dilakukan selama ini. Sebut saja misalnya, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MD).
Dalam PNPM-MD memang ada proses peningkatan kapasitas. Masyarakat desa diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam merencanakan kegiatan, mereka dilatih untuk menyusun skala prioritas. Namun, ruang tersebut sesungguhnya masih bersifat terbatas. Berbagai aspek kehidupan yang ada dalam masyarakat belum tersentuh program, salah satunya adalah partisipasi kelompok miskin, baik laki-laki maupun perempuan. Terlebih lagi, program ini juga memiliki petunjuk teknis (juknis) kegiatan yang dibuat dari atas yang mesti diterapkan secara ketat. Ini seringkali mengakibatkan proses dan kegiatan dalam PNPM-MD terjebak dalam formalitas-administratif.
Berbeda dengan semangat yang dibawa oleh UU Desa, melalui kewenangan yang dimiliki, desa bisa merajut mimpi-mimpinya. Sebuah cita-cita, visi, dan tujuan bersama bisa dibuat, yang proses pencapaiannya dilakukan secara bersama-sama melalui berbagai program dan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan kuasa yang dimilikinya, desa bisa mengelola aset dan potensinya secara lebih optimal. Kegiatan pembangunan yang dilakukan pun bisa menyentuh ke semua aspek kehidupan masyarakat. Ini adalah peluang yang mesti dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh desa, khususnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Sebuah Tantangan Di balik berbagai peluang yang disediakan oleh UU Desa, sesungguhnya upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa masih menghadapi tantangan cukup besar. Pertama, karena masih banyak jumlah penduduk miskin di Indonesia, terutama di desa.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin per Maret 2018 sebanyak 25,96 juta orang atau 9% lebih dari jumlah total penduduk Indonesia, yakni 261.890.900 jiwa. Dari jumlah penduduk miskin itu, 60,92% tinggal di desa. Kedua, faktor-faktor penyebab kemiskinan yang ada di desa juga sangat kompleks. Kemiskinan seringkali tidak hanya menyangkut persoalan ketidakmampuan atau ketidakberdayaan seorang individu maupun karena kelangkaan sumber daya, tetapi bisa juga karena adanya struktur sosial yang tidak adil yang membuat sebagian masyarakat tidak memiliki akses pada hal-hal yang mampu meningkatkan kesejahteraannya, terutama kelompok miskin.
Lalu bagaimana desa menghadapi tantangan semacam itu? Mungkinkah kesejahteraan masyarakat desa bisa meningkat cepat mengingat sejak berlakunya UU Desa, selain mempunyai kewenangan luas, desa juga menerima anggaran (dana desa) relatif besar? Kunci jawabannya terletak pada kemampuan desa dalam mengelola kewenangannya.
Dalam melaksanakan pembangunan sebelum UU Desa, desa memiliki ketergantungan cukup tinggi pada supradesa. Ketergantungan tersebut disebabkan banyak sumber daya pembangunan, terutama anggaran, dikelola supradesa. Kalau pun ada program atau kegiatan yang dilakukan di desa, program tersebut dirancang sebagai program supradesa.
Jadi desa sekadar menjadi lokasi berbagai program dan proyek sektoral supradesa. Parahnya lagi, sering kali program atau proyek yang dilakukan tidak selaras dengan prioritas desa, bahkan bukan kebutuhan desa. Rencana pembangunan memang telah dibuat oleh desa setiap tahun.
Namun, dokumen yang dihasilkan kerap kali tidak memiliki makna karena prioritas yang sudah ditulis dalam dokumen, tidak bisa terintegrasi dengan perencanaan supradesa. Pembangunan di desa seolaholah sangat tergantung dari kebaikan supradesa. Hal ini mengakibatkan lambannya pembangunan yang dilakukan di desa. Dengan UU Desa, kondisi semacam itu diperbaiki. Desa diberikan kewenangan sekaligus anggaran. Ini menjadi modal penting sekaligus kekuatan pendorong utama bagi desa untuk bergerak membangun. Desa dengan demikian memiliki sumber daya pembangunan yang lebih baik dari sebelumnya.
Kewenangan memungkinkan desa menyusun prioritas kegiatan sesuai dengan potensinya. Sementara itu, anggaran memungkinkan desa melaksanakan kegiatan yang direncanakan sesuai kewenangannya. Dengan dana desa yang mengalami kenaikan setiap tahunnya, yakni sebesar 20,67 triliun rupiah pada 2015, 46,98 triliun rupiah pada 2016, dan 60 triliun rupiah pada 2017 dan 2018, upaya yang mengarah pada program peningkatan kesejahteraan bisa dilakukan secara tepat dan berkesinambungan.
Dana Desa untuk Apa?
Selama empat tahun pelaksanaan UU Desa, dana desa belum banyak digunakan untuk mendorong upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara langsung. Sebagian besar desa di Indonesia, masih menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama. Hal ini tentu wajar saja, sebab kebutuhan pembangunan infrastruktur memang masih cukup besar. Masih banyak desa yang belum memiliki infrastruktur memadai.
Namun, perubahan-perubahan pada sisi lain sebetulnya juga mulai terlihat. Praktik baik tata kelola desa sudah bermunculan. Praktik tersebut bisa terkait dengan tata layanan yang diselenggarakan oleh pemerintah desa, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung kegiatan pembangunan dan meningkatkan transparansi, serta berbagai inovasi lain, termasuk pengembangan ekonomi desa. Untuk yang terakhir ini, kita bisa melihat misalnya, sudah ada Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang pendapatan masyarakat dan Pendapatan Asli Desa (PA Desa).
Sebutlah misalnya, BUM Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. BUM Desa ini memiliki usaha wisata, perikanan, dan beberapa usaha lain. Pada 2017 BUM Desa ini menghasilkan laba bersih lebih dari lima milyar rupiah. Oleh karena itu, praktik baik pengelolaan BUM Desa Ponggok merupakan rujukan dan Desa Ponggok sering menjadi tempat belajar bagi desa lain di Indonesia. Praktik baik lain dalam upaya pemberdayaan ekonomi juga dilakukan di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas.
Pada bulan Agustus 2018, Desa Dermaji menyelenggarakan kegiatan Festival Kambing. Festival Kambing merupakan ajang mempromosikan potensi dan produk desa. Dalam festival tersebut digelar kontes kambing, seminar budidaya tenak kambing, pameran produk desa, lomba mewarnai untuk anak PAUD, dan pagelaran dongeng untuk anak. Kontes kambing diikuti oleh puluhan peternak dari Desa Dermaji.
Dalam kontes tersebut, dipilih kambing terbaik, baik jenis Peranakan Ettawa maupun Jawa Randu. Para pemenang mendapat penghargaan berupa uang dan piala. Kegiatan kontes ini dilakukan untuk membangkitkan kebanggaan para peternak agar mereka lebih bersemangat dalam budidaya ternak kambing. Ternak kambing memang menjadi salah satu potensi unggulan Desa Dermaji. Hampir seluruh kepala keluarga di Desa Dermaji, beternak kambing. Namun, kegiatan peternakannya masih sebatas sebagai usaha sambilan.
Melalui kegiatan festival, selain sebagai upaya mempromosikan potensi ternak kambing, juga sebagai bagian dari persiapan agar budidaya ternak kambing ini bisa menjadi penghasilan utama masyarakat dan berskala industri. Selain mengikuti kontes, peserta juga bisa mengikuti seminar budidaya ternak kambing yang menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi, pemerintahan, dan praktisi. Seminar ini dilakukan agar terjadi transfer pengetahuan dari pihak luar ke para peternak.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Agar kewenangan desa bisa dikelola secara efektif sehingga bisa mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:
1. Desa harus menyusun basis data desa yang akurat. Basis data desa meliputi data statis dan dinamis, termasuk di dalamnya data yang terkait dengan persoalan kesejahteraan masyarakat. Basis data ini penting karena akan dijadikan rujukan utama dalam pengambilan keputusan di desa melalui musyawarah desa. Bahkan akan lebih baik jika desa memiliki data tingkat kesejahteraan masyarakat sendiri yang disusun secara partisipatif. Tanpa adanya basis data desa yang akurat, sangat sulit membuat keputusan yang efektif.
2. Memperkuat dan memperluas ruang partisipasi. Keterlibatan masyarakat, termasuk kelompok marginal, baik perempuan maupun laki-laki, dalam pengambilan keputusan sangat penting. Partisipasi dapat memperkuat modal sosial dan sekaligus memberikan dukungan nyata terhadap program yang akan dilaksanakan. Melalui ruang partisipatif, berbagai persoalan terkait upaya meningkatkan kesejahteraan bisa dibicarakan bersama. Hal ini bisa sangat efektif karena keterbatasan dan sekaligus potensi yang ada bisa dirasakan dan diketahui bersama sehingga langkah-langkah strategis dalam rangka menyejahterakan masyarakat bisa ditemukan dan dilakukan.
3. Mengefektifkan musyawarah desa. Musyawarah desa sebagai ruang pengambilan keputusan bersama harus didesain menjadi ruang yang memungkinkan berbagai gagasan masyarakat muncul. Musyawarah desa harus menjadi ruang untuk membangun mimpi bersama.
4. Mewujudkan tata kelola pembangunan desa. Tata kelola desa harus partisipatif, transparan, dan akuntabel.
5. Membangun kolaborasi atau kerja sama dengan berbagai pihak. Kolaborasi perlu dilakukan untuk mempercepat proses pembangunan di desa. Dengan kolaborasi, desa bisa memanfaatkan secara optimal berbagai sumber daya yang ada di luar. Kolaborasi bisa dilakukan dengan supradesa, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat.
Artikel ini bersumber dari Buletin Smeru No 2/2018, yang dirilis oleh smeru.or.id, Selengkapnya Klik Disini Untuk Download
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.