Ilustrasi Gambar : iafcoe Selama pelaksanaan UU Desa, banyak sekali aturan yang terbit. Aturan yang banyak ini sering kali tumpang tindih s...
Ilustrasi Gambar : iafcoe |
Selama pelaksanaan UU Desa, banyak sekali aturan yang terbit. Aturan yang banyak ini sering kali tumpang tindih sehingga menimbulkan kebingungan di tingkat kabupaten dan desa. Contohnya adalah aturan mengenai kewenangan desa. Aturan ini diamanatkan oleh PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa yang ditetapkan pada 30 Mei 2014. Menurut Pasal 39 PP ini, kementerian yang menangani desa perlu menetapkan kewenangan desa. Saat itu, kementerian yang membawahi desa adalah Kemendagri. Namun, setelah terjadi pergantian pemerintahan pada 2014, presiden terpilih Joko Widodo membentuk Kemendes PDTT. Sejak saat itulah, urusan desa menjadi tanggung jawab antara Kemendagri dan Kemendes PDTT.
Dengan terbentuknya Kemendes PDTT, terjadi dualism kelembagaan. Seminggu setelah pembentukannya melalui Peraturan Presiden No. 12/2015 tentang Kemendes PDTT, Kemendes PDTT mengambil inisiatif untuk menetapkan Permendes PDTT No. 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa sebagaimana disyaratkan dalam PP No. 43/2014. Namun, satu setengah tahun setelah permendes PDTT tersebut ditetapkan, Kemendagri juga menetapkan Permendagri No. 44/2016 tentang Kewenangan Desa. Kemendagri menganggap bahwa penetapan kewenangan desa adalah bagian dari urusan desa yang diampunya. Permendagri ini terbit setelah PP No. 43/2014 diubah menjadi PP No. 47/2015 tentang Perubahan PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa. Dalam PP No. 47/2015 ini, disebutkan secara eksplisit bahwa penetapan kewenangan desa merupakan urusan yang diampu oleh Kemendagri. Perbedaan antara kedua aturan ini adalah sebagai berikut :
Tabel tersebut memperlihatkan bahwa bahwa Permendes No. 1/2015 lebih ditujukan kepada desa. Ia mengandung unsur-unsur inovatif, misalnya secara eksplisit mencantumkan bahwa kewenangan desa dibahas dalam musyawarah dan hal ini difasilitasi oleh bupati. Namun, permendes ini diganti dengan permendagri yang lebih ditujukan bagi pemda dan lebih bersifat prosedural. Misalnya, ia mengatur bahwa rancangan perbup mengenai kewenangan perlu dikonsultasikan dengan gubernur.
Selain kewenangan desa, dualisme aturan juga terjadi pada tipologi desa. Tipologi desa yang dipakai oleh Kemendagri dalam mengatur SOTK pemdes mengacu pada Permendagri No. 12/2007 tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan. Permendagri tersebut membagi desa ke dalam tiga kelompok, yaitu desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada.
Sementara itu, Kemendes PDTT membuat tipologi desa dalam mengarahkan prioritas penggunaan DD dengan mengacu pada data indeks desa membangun (IDM). Permendes PDTT No. 8/2016 tentang Perubahan Permendes PDTT No. 21/2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa mulai menggunakan tipologi yang membagi desa ke dalam lima kelompok, yaitu desa sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju, dan desa mandiri. Di lapangan, desa-desa mengacu pada tipologi Kemendagri (tiga kelompok desa) karena itu langsung berhubungan dengan SOTK pemdes. Tidak banyak desa yang mengetahui tipologi desa yang ditetapkan oleh Kemendes PDTT.
*** Artikel ini diolah dari StudiImplementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa - Laporan Endline, yang dirilis oleh smeru.or.id
Selengkapnya…..
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.