Oleh : Boni Kurniawan Maraknya organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik yang ingin anggotanya masuk ke dalam jajaran pendamping ...
Oleh : Boni Kurniawan
Maraknya organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik yang ingin anggotanya masuk ke dalam jajaran pendamping desa di satu sisi perlu disambut baik. Barangkali mereka memiliki visi membumikan visi pembaharuan desa UU Desa. Tapi di sisi lain, menjadi pendamping tentu bukan perkara mudah. Terlebih di tengah depresiasi ekonomi secara nasional sekarang ini. Angka pertumbuhan ekonomi yang melambat dari 4,7 persen menjadi 4,67 persen dan melemahnya nilai tukar rupiah atas dolar telah menciptakan kegamangan ekonomi. Maka, pagu anggaran yang disediakan pemerintah untuk membiayai program pendamping desa tersebut menjadi magnet bagi para pencari kerja agar pendapatan rumah tangga tidak goncang. Tulisan ini tidak bermaksud mempertanyakan motivasi pragmatis para aktor yang hendak bergabung menjadi pendamping desa karena membutuhnan uang. Tapi hendak mencari piranti lunak yang penting diketahui dan dikuasai para calon pendamping desa, agar tidak terjebak pada motivasi mencari pendapatan honor yang tinggi.
Dalam kerangka pelaksanaan UU Desa, pendamping desa memegang posisi penting. Ada beberapa alasan di sini :
Pertama, publik belum memahami secara komprehensif tentang visi pembaharuan desa. Hal ini disebabkan lemahnya proses sosialisasi desa oleh pemerintah dan kurangnya agency dan aktor yang mampu mendiseminasikan dan menterjemahkan posisi UU Desa dalam kerangka pembangunan nasional.
Kedua, masih adanya kelemahan kapasitas pemerintah desa. Di Jawa bisa dipastikan aparatur pemerintah desa sudah bepengalaman mengoperasikan komputer sebagai bagian alat kerja administrative. Tapi bagi desa-desa di pedalaman Papua, keterampilan teknis tersebut adalah barang baru. Keterampilan ini tentu hanya satu dari sekian keterampilan yang penting untuk dikuasai. Kelemahan ini memang tidak semata-mata disebabkan oleh sumber daya manusia desa, melainkan perlakuan kebijakan pengembangan kapasitas desa yang diperankan oleh pemerintah selama ini masih rendah.
Ketiga, meski di beberapa tempat telah tercipta kader-kader desa sebagai prototype masyarakat aktif. Tapi secara umum, masyarakat dan organisasi masyarakat desa belum tumbuh menjadi komunitas aktif dan kritis sebagai mitra pemerintah desa. Ancaman dalam dunia governance seperti opportunistic behavior, rent seekers, free rider tetap akan menjadi ancaman bagi desa. Karena itu pendamping desa sebisa mungkin bisa berperan sebagai benteng pengaman kerusakan village governance dan participatory community dari ancaman-ancaman kelembagaan tersebut.
Ada beberapa diskursus yang penting menjadi perhatian para pendamping desa ke depan. Diskursus tersebut pertama penguatan penyelenggaraan layanan publik. Dalam diskursus ini, tipe layanan public yang perlu didekatkan pada masyarakat desa adalah bagaimana pemerintah desa menjalankan new public service (NPS). Prinsip dasar layanan publik tipe ini adalah mengalaskan pada hak publik di mana akuntabilitas dan partisipasi masyarakat diutamakan.
Kedua pelibatan masyarakat (civic engagement) untuk mendorong penciptaan public policy making di desa yang partisipatif. Penyelenggaraan pemerintahan desa pada hakikatnya selalu berujung pada pengambilan keputusan kebijakan, program/kegiatan pembangunan yang kemanfaatannya akan kembali dirasakan masyarakat. Maka mempertemukan dua nalar (nalar publik dan nalar pemerintah) dalam satu ruang proses pengambilan keputusan perlu menjadi perhatian pendamping. Karena disinilah praktik dominasi elite untuk melakukan capture dan free riding bermain. Jika ini tidak dijaga, maka seluruh proses pengambilan keputusan desa tidak berpihak pada mereka yang marginal dan lemah dalam akses kebijakan desa.
Ketiga, penguatan pemenuhan hak informasi publik untuk mendorong tata kelola kebijakan desa yang transparan dan akuntabel. Informasi adalah elemen penting membangun relasi dialogis antara pemerintah desa dengan warganya. Karena jika kedua belah pihak saling menyumbat, masyarakat takut atau enggan menyampaikan kritik atas penyelenggaraan pemerintahan, dan pemerintah sendiri menahan untuk mengkomunikasikan produk kebijakannya kepada rakyat, ibarat negara, maka keseimbangan hubungan (balance of power) negara dengan rakyat akan terganggu. Keempat, tranformasi sumber daya desa dari kapital menjadi kesejahteraan. Salah satu resource yang sudah pasti akan dikelola adalah dana pembangunan (DD dan ADD). Pekerjaan berikutnya bagi seorang pendamping adalah mendampingi desa menemukan formula perencanaan dan pembelanjaan anggaran publik yang berpihak pada kebutuhan strategis penanggulangan kemiskinan, penciptaan ekonomi kerakyatan, pemenuhan hak dasar masyarakat.
Sumber :http://desa-membangun.blogspot.co.id/2015/12/pendamping-desa-dan-kehendak-memperbaiki.html
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.