Desa melejit bak primadona pasca kelahiran UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. Situasi ini jelas sangat menggembirakan, sebelumnya desa selalu...
Desa melejit bak primadona pasca kelahiran UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. Situasi ini jelas sangat menggembirakan, sebelumnya desa selalu menjadi isu pinggiran. Tak terbantahkan, redistribusi anggaran yang dimandatkan oleh UU Desa menjadi pemicu utamanya.
Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) mengubah wajah desa semakin seksi. Alokasi DD sebesar 10 prosen dari jumlah transfer anggaran pusat ke daerah, sementara, ADD ditetapkan sebesar 10 prosen dari pengeluaran belanja kabupaten. Akibat munculnya DD dan ADD, kini desa dapat menerima anggaran cukup besar. Jumlahnya bervariasi antara 1-5 Milyar rupiah.
Besarnya kue anggaran di desa membuat perhatian publik makin besar ke desa. Di kalangan supradesa, ada yang bersikap pesimis, ada pula yang optimis. Sejauh ini, respon supradesa tak jauh berbeda dengan sikap mereka sebelum adanya UU Desa. Mereka masih membangun hubungan dengan desa dalam nalar kontrol. Akhirnya, prinsip rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa mengalami reduksi.
Cara pandang supradesa masih didominasi oleh unsur ketakutan dan was-was. Supradesa takut kebangkitan desa menyebabkan pengaruh mereka turun drastis. Akibatnya, mereka membuat regulasi yang membuat desa sekadar mengoperasionalkan anggaran, bahkan, sejumlah bupati mengatur secara ketat penentuan prioritas belanja, mekanisme pembelanjaan, dan pelaporan.
Sikap desa sendiri cukup terbelah, ada yang berpikir strategis, ada pula yang bersikap aji mumpung atau oportunis. Setiap desa memiliki karakter yang unik, tergantung relasi yang terbangun antara pemerintah, lembaga desa, dan masyarakat.
Desa yang berpikir strategis mempelopori praktik transparansi anggaran. Mereka bekerja keras untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran. Tak sedikit desa yang membangun akuntabilitas dengan pelaporan pemanfaatan anggaran kepada publik, baik melalui baliho, papan pengumuman, maupun website.
Sebaliknya, sikap aji mumpung dan oportunis juga muncul di desa. Bermodal klain sebagai pemegang hak anggaran, banyak kepala desa yang memperlakukan DD dan ADD layaknya uang mereka sendiri. Prioritas belanja pembangunan dan pemberdayaan ditentukan secara otoriter oleh kepala desa. Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang tersandung kasus hukum karena korupsi dan memperkaya diri.
Praktik di atas berbanding lurus dengan demokratisasi di desa. Desa yang menerapkan praktik transparansi anggaran sebagian besar lahir dari pemilihan kepala desa (Pilkades) yang demokratis. Demokratisasi desa melahirkan kepemimpinan yang kuat dan dicintai rakyatnya. Pilkades yang bersih dan murah merupakan langkah penataan desa yang penting.
Sumber : pokjadesa.id
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.