Page Nav

10

Grid

SNIPSET

true
true

Pages

Breaking News:

latest

Sejarah Masa Jabatan Kades dari Masa ke Masa

Pada masa Raffles (1811-1816), masa jabatan kepala desa hanya satu tahun. Kebijakan ini untuk memutus ikatan loyalitas tradisional yang meng...




Pada masa Raffles (1811-1816), masa jabatan kepala desa hanya satu tahun. Kebijakan ini untuk memutus ikatan loyalitas tradisional yang mengakar dalam diri pemimpin lokal.1 Struktur kerajaan mengharuskan kepatuhan membabibuta terhadap istana serta keterikatan antara bawahan dengan atasan. Titah raja membentuk karakter rendah diri dan pasrah.

Rendahnya kepercayaan Raffles terhadap kepala desa disebabkan kuatnya ikatan adat kepala desa lama pada bupati dan wedana yang dianggap mewakili kerajaan kuno. Pembangkangan terhadap keduanya sama artinya dengan kedurhakaan terhadap perintah raja. Kepala desa tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh feodalisme dan aristokratisme yang mengakar dalam tradisi. Kuatnya ketokohan dan relasi patron-klien selalu diwariskan lintas generasi. Bawahan dikondisikan untuk selalu mematuhi dan melaksanakan komando dari atas. Kultur genap membentuk mereka sebagai homo hierarchicus yang selalu menempatkan individu dalam konteks patron dan klien. Berbagai kemudahan dan kenyamanan yang mereka terima mengakibatkan tidak ada kesadaran homo aequalis yang melihat antar individu sebagai sesama.

Feodalisme di desa-desa Jawa muncul ketika hilangnya validitas hubungan tradisional dan ketika kebutuhan anggota masyarakat tidak terpenuhi oleh hubungan kekerabatan. Pada masa feodalisme, terjadi transformasi hubungan antara budak dan hamba menjadi ikatan antara pekerja dan tuan tanah (Mulder, 2000: 58). Kepala desa tidak mungkin mengelak dari dominasi dan cengkeraman kekuasaan supra stuktur. Itulah mengapa, bupati dan wedana memegang kendali atas kepemimpinan kepala desa. Jika loyalitas tradisional yang ditunjukkan kepala desa lama dibiarkan tetap bertahan, bisa dipastikan kebijakan land rente mengalami kegagalan. Padahal, kepala desa difungsikan selaku wakil pemerintah pusat dalam mengumpulkan pajak di lapangan.

Besarnya pajak yang terkumpul tergantung kinerja kepala desa dalam mengordinir dan mengondisikan warga. Ada sinergitas antara keberhasilan pembayaran pajak dengan kerja keras kepala desa. Ketika Indonesia kembali berada dalam cengkeraman kekuasaan Belanda, kebijakan Raffles tidak dilanjutkan. Penguasa menilai, apa yang diputuskan Raffles hanya merusak perencanaan terhadap daerah jajahan. Meski sama-sama penjajah, Inggris dan Belanda memiliki corak pandang berbeda pada pemerintahan, termasuk dalam penentuan masa jabatan kepala desa. Pada masa ini, kepala desa kembali menjabat seumur hidup, kecuali jika diberhentikan. Ini berarti, selama masih mampu menunaikan fungsi, peran, dan tugas kepala desa, seseorang boleh tetap menjabat. Jika tidak ada uzur yang memberatkan, kepala desa dibebani untuk selalu menjalankan kewajibannya.

Ketetapan mengenai panjangnya masa jabatan menyimpan maksud bahwa kedudukan kepala desa diperkuat demi menyukseskan program pemerintah kolonial. Kepala desa merupakan kaki tangan penguasa yang selalu dituntut menunjukkan pengabdian. Pemberhentian kepala desa sebelum masa berakhir (meninggal dunia) menandakan bahwa jabatan ini berada dalam penguasaan pemerintah kolonial. Dengan kata lain, ketika muncul gejala perlawanan atau pemberontakan kepala desa, Belanda dapat memberhentikan dan menggantikannya dengan orang lain. Loyalitas pemimpin lokal menentukan seberapa lama ia dapat mempertahankan jabatan. Kritik dan suara sumbang kepala desa hanya memunculkan image negatif di hadapan penguasa bahkan mematikan karirnya.

Pada era kekuasaan Jepang, kepala desa diberikan batasan waktu untuk memimpin warga dan mengelola pemerintahan desa. IGO dan IGOB sengaja dipertahankan oleh Jepang, selain membuat sedikit perubahan yang agak menonjol. Masa jabatan kepala desa, yang sebelumnya tidak ditentukan, diubah dengan Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944. Di dalamnya disebutkan masa jabatan kepala desa adalah empat tahun (Juliantara, 2000: 162). Karena kepala desa terbiasa memegang tampuk kekuasaan lokal dalam waktu yang lama, hal ini mendapat banyak protes.

Ketentuan ini tidak terlepas dari upaya Jepang untuk melibatkan orang desa dalam perang. Lamanya kepala desa berkuasa demi mendukung hasrat kolonial. Kebijakan pemerintah Jepang berada dalam pola dan alur berpikir militeristik. Apa yang mereka tetapkan merupakan bagian dari rentetan persiapan menghadapi peperangan antar bangsa. Desa menanggung beban psikologis untuk turut melancarkan rencana supradesa. Desa menjadi sub-ordinasi dan suborganisasi pemerintahan Jepang. Demi kepentingan perang Asia Raya, desa berfungsi sebagai lumbung pangan dan pusat tenaga rakyat (romusha).

Jepang melancarkan intervensi, pengendalian, serta dominasi terhadap kehidupan desa. Guna keperluan perang, rakyat desa dimobilisasi besar-besaran dalam satuan-satuan milisi, semisal Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. Jepang memberikan fungsi kontrol pada kepala desa. Langkah ini ditempuh untuk membantu mereka mengawasi rakyat saat menanam jarak, padi, dan tebu. Hal ini tentu berlainan dengan masa kekuasaan liberal, desa dibekali otonomi yang luas (Suhartono et.al, 2001: 49).

Masa jabatan kepala desa pada era penjajahan Belanda lebih lama dibandingkan Inggris dan Jepang. Pemerintah kolonial Belanda menetapkan jabatan kepala desa seumur hidup. Jika seseorang tidak benar-benar uzur, ia tetap dapat memegang tampuk kekuasaan lokal meski berusia lanjut.

Perbedaan masa jabatan tiap masa menggambarkan logika berpikir penguasa terhadap pemerintahan desa. Baik Belanda, Inggris, maupun Jepang menyimpan kepentingan, keinginan, serta maksud berbeda. Itulah mengapa, ketentuan pemerintah kolonial terkadang bersifat relatif. Meski peraturan telah menggariskan ketetapan, dalam praktiknya masa jabatan kepala desa merupakan hak prerogatif pemerintah kolonial. Berkuasanya seseorang menjadi kepala desa tergantung pada belas kasih kaum penjajah. Ketika kepala desa tidak berperan dan berfungsi sesuai hasrat kolonial, mereka bisa diberhentikan. Misalnya, kegagalan program Keibodan di Surabaya membuat Jepang marah dan memecat para kepala desa yang dianggap lalai. Jepang lantas mengganti mereka dengan orang-orang baru yang dianggap memiliki dedikasi (Palmos, 2016: 100).

Melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja (LN 1965 No. 84, TLN No. 2779), Orde Lama menetapkan masa jabatan kepala desa adalah 8 tahun. Tapi undang-undang itu tak sempat berjalan dengan baik karena meletusnya peristiwa G-30-S (Handoyo, 2009: 333). Sesudah terjadinya peristiwa tersebut, situasi di beberapa daerah tidak stabil. Antara lain karena ada kepala desa yang terlibat atau meninggal dunia. Di Jawa Timur, hal ini mengakibatkan kekosongan jabatan. Untuk mengisi jabatan kepala desa, anggota ABRI ditunjuk komandan Kodim dan dibuatkan surat keputusan kepala daerah sebagai caretaker. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 1966 menyebutkan, masa jabatan caretaker paling lama satu tahun. Tapi situasi politik dan keamanan yang kurang mendukung menyebabkan masa jabatannya diperpanjang (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 265).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (LN 1979 No.56, TLN No.3153) (Pasal 7) menyebutkan masa jabatan kepala desa adalah 8 tahun (dapat dipilih kembali 1 kali masa jabatan berikutnya). Penjelasan undang-undang yang oleh sejumlah pakar dinilai sentralistis tersebut memuat alasan, pijakan, serta dasar berpikir mengenai lamanya kepala desa menjabat. “Penetapan masa jabatan 8 (delapan) tahun adalah berdasarkan pertimbangan bahwa tenggang waktu tersebut dipandang cukup lama bagi seorang kepala desa untuk dapat menyelenggarakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Dipandang dari segi kelestarian pekerjaan waktu yang 8 (delapan) tahun itu cukup untuk memberikan jaminan terhindarnya perombakan-perombakan kebijaksanaan sebagai akibat dari penggantian-penggantian kepala-kepala desa. Ketentuan pembatasan untuk dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya adalah dengan maksud untuk menghindarkan kemungkinan menurunnya kegairahan dalam menyelenggarakan pemerintahan di desa.”

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No.60, TLN No.3839), rezim reformasi menetapkan masa jabatan kepala desa selama 8 tahun. Sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, undang-undang ini bermaksud menempatkan kembali desa sebagai self-governing community. Mengutip Gregorius Sahdan (2005), pada prinsipnya, self-governing community merupakan komunitas lokal beyond the state yang mengelola hidupnya sendiri dengan memanfaatkan pranata lokal (Sahdan ed., 2005: 98).

Wacana desentralisasi dan demokratisasi pasca reformasi membuat peraturan perundang-undangan setelahnya bernuansa populis. Para pakar menilai hadirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberi nuansa baru bagi pemerintahan daerah dan pemerintahan desa. Beberapa pihak menilai undang-undang itu sangat demokratis bahkan bersifat liberal karena melimpahkan wewenang luas pada daerah untuk mengembangkan potensinya. Bila dibandingkan dengan UU Nomor 5 Tahun 1974, banyak kemajuan di dalamnya. Bahkan, sebuah media massa menyatakan telah berlangsung “revolusi” pemerintahan daerah karena besarnya kewenangan yang diberikan (Romli, 2007: 15).

Di samping sebagai penguatan otonomi desa, undang-undang ini juga mempunyai ikhtiar pelemahan kekuasaan dan patronase kepala desa. Rezim Orde Baru mengikat pemerintah desa melalui kepala desa. Kecenderungan ini dapat dilihat dari posisi kepala desa yang merangkap jabatan kepala lembaga eksekutif desa (LKMD) sekaligus kepala lembaga legislatif desa (LMD). Agar pemerintah dapat melaksanakan program secara penuh, rakyat menerima instruksi lewat kepala desa. Dengan posisi inilah, pemerintah mendudukkan kepala desa sebagai penguasa tunggal seperti bupati dan gubernur (Juliantara, 2000: 165).

Tentang upaya memperkecil kekuasaan kepala desa, Hans Antlov menyimpulkan dengan penerbitan UU Nomor 22 Tahun 1999 setidaknya kepala desa harus melewati tiga ‘lapis pemeriksaan’. Pertama, kepala desa dipilih melalui pemilihan lima tahun sekali.

Kedua, kepala desa menyampaikan laporan pertanggungjawaban pada warga melalui Badan Perwakilan Desa (BPD). Ketiga, kepala desa dituntut bertanggungjawab juga kepada camat setiap tahun (Antlov, 2003: 368).

Kiat lain pemerintah dan anggota legislatif memangkas patronase kepala desa dengan mengurangi masa jabatannya. Bila pada undangundang sebelumnya kepala desa dapat menduduki jabatannya selama delapan tahun (dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan berikutnya), UU Nomor 22 Tahun 1999 menetapkan masa jabatan kepala desa lima tahun (dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya). Ketetapan ini bertujuan agar kepala desa tidak lagi menjadi raja kecil di desa. Bagaimana pun juga, panjangnya masa jabatan rentan disalahgunakan. Apalagi, era pemerintahan Orde Baru yang bercorak sentralistis benar-benar memberikan keleluasaan kepala desa untuk mengondisikan warga desa. Kepala desa merupakan tangan kanan pemerintah dalam menyukseskan programnya. Dengan pengurangan masa jabatan inilah penyelewengan kepala desa diharapkan bisa dicegah

Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No.125, TLN No.4437), di mana masa jabatan kepala desa hanya enam tahun (dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan berikutnya). Tapi ada perbedaan bila dibandingkan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999. Dua undangundang terakhir ini terdapat selisih satu tahun (masa jabatan kepala desa) dengan undang-undang sebelumnya. Barangkali dengan masa jabatan lima tahun, kepala desa kurang dapat memberikan andil dalam mengelola pemerintahan desa. Karena itu produk legislasi mengubahnya menjadi enam tahun.

Peraturan perundang-undangan yang terbit belakangan membatasi masa jabatan kepala desa. Pembatasan ini ditempuh dalam rangka mencegah seseorang memimpin desa terlalu lama dan memberi kesempatan bagi orang lain untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa. Sistem demokrasi menuntut semua warga desa diperlakukan sama, termasuk dalam pemilihan kepala desa. Jabatan kepala desa tidak hanya bagi orang-orang berkekuatan finansial. Siapa saja punya peluang untuk mendedikasikan diri sebagai pemimpin. Semua lapisan masyarakat berhak ikut ambil bagian menjadikan desa lebih berdaulat.

Pada umumnya perpanjangan masa jabatan hanya boleh dilakukan satu kali. Baik UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU Nomor 32 Tahun 2004. Artinya, setelah lengser kepala desa dapat memperpanjang masa kerja selama satu periode. Jika dalam periode kedua kembali terpilih, ia harus meletakkan jabatan ketika masanya berakhir. Hal ini yang tidak ditemukan dalam ketentuan perundangundangan terbaru. Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan kepala desa yang telah menjalankan tugasnya selama satu kali periode (enam tahun) dapat dipilih kembali dua kali masa jabatan berikutnya.

Dengan demikian, UU Nomor 6 Tahun 2014 menentukan seseorang dapat menjabat kepala desa selama tiga periode berturutturut atau tidak berturut-turut. Ini berarti, jika ketentuan undangundang menggariskan masa jabatan kepala desa adalah enam tahun, seseorang bisa mempertahankan posisinya selama 18 tahun. Apa yang termaktub dalam undang-undang setelah masa reformasi ini tidak jauh berbeda dengan ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 yang sentralistis dan anti-demokrasi. Dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 disebutkan masa jabatan kepala desa maksimal 16 tahun atau dua periode (satu periode = 8 tahun) (Wetterberg, Dharmawan, & Jellema, 2013: 88)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memuat sebuah kejanggalan. Dalam undang-undang ini disebutkan, “Masa jabatan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.” Padahal, jika mempunyai pola yang sama, masa jabatan kepala daerah dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 dan masa jabatan kepala desa dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 seharusnya sama. Jika dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 masa jabatan kepala daerah diatur hanya 5 tahun (dapat dipilih kembali 1 kali masa jabatan berikutnya), UU Nomor 23 Tahun 2014 menetapkan ketentuan yang sama bagi kepala desa. Tapi ternyata di dalamnya memuat perbedaan. Ini berarti, logika berpikir dalam kedua undangundang tersebut berbeda. Dari segi esensi, jabatan kepala daerah berbeda dengan jabatan kepala desa. Sehingga, masa jabatan keduanya juga harus dibedakan.

Ketentuan di atas perlu dikritisi, sebab lamanya seseorang menjabat rentan menimbulkan penyimpangan. Ketika apa yang melekat pada diri seseorang melebihi batas, ia cenderung memanfaatkan wewenang secara berlebihan. Jika memimpin selama 18 tahun, ia dikhawatirkan akan mengelola pemerintahan desa secara serampangan. Baik demokrasi prosedural maupun substansial sulit terwujud. Aspirasi warga dikesampingkan. Adapun kehendak elit lokal mendapat perhatian serius. Akses politik, sosial, dan ekonomi dikuasai oleh mereka yang dekat dengan kepala desa. Konfigurasi politik perdesaan diwarnai oleh gejala nepotisme bertaraf lokal. Cita-cita komunal ditiadakan demi hasrat individual. Sedangkan kepentingan publik dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Masa jabatan yang tergolong lama dikhawatirkan melahirkan kembali raja-raja kecil di desa. Wewenang tiap kepala desa begitu luas sehingga mudah mendatangkan keuntungan. Peluang warga desa lain yang ingin turut serta memajukan desa semakin sempit. Terlebih kepala desa boleh menjabat tiga periode, tentu kaderisasi kepemimpinan di tingkat lokal akan terhambat.

Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 berpotensi memunculkan konflik atau permasalahan politik dan sosial terbatas di desa. Antara lain memanasnya perebutan kepala desa seperti terjadai pada pemilihan kepala daerah (Pilkada). Proses-proses politik boleh jadi kian marak dengan money politic. Peran pemimpin tertinggi di komunitas berbasis ruang itu dinilai sangat strategis lantaran sasaran perebutan bukan jabatan kepala desa saja, tapi nilai nominal dan kepastian ADD. Dengan peluang masa jabatan sampai tiga periode (18 tahun, setiap periode 6 tahun), diperkirakan para figur potensial di desa akan memperebutkan jabatan kepala desa berikut perangkatnya. Pada tingkat tertentu, kecenderungan ini dapat mengancam harmoni sosial di pedesaan (Ida, 2014).

Padahal, di antara tujuan terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 adalah menempatkan kepala desa sesuai kapasitasnya. Seperti diketahui, pada era Orde Baru, kepala desa merupakan tokoh sentral yang menguasai kehidupan desa. Tak ayal, sumber ekonomi dan lahanlahan basah di desa berada di tangannya. Ia dapat mengendalikan beberapa kepentingan sekaligus, sehingga suara kritis warga dapat diredam.

Penentuan mengenai panjangnya masa jabatan kepala desa dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tidak terlepas dari semangat para pembuat undang-undang. Undang-undang ini menyimpan hasrat memperbesar kekuasaan negara terhadap desa dan mengembalikan pemerintahan sentralistis. Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan:

“Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang baru, status desa justru kembali dipertegas sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur organisasi pemerintahan daerah, peraturan desa ditegaskan sebagai bagian dari pengertian peraturan perundangundangan, sehingga desa menjadi kepanjangan tangan terbawah dari fungsi-fungsi pemerintahan negara secara resmi. Desa juga kembali diatur dengan semangat keseragaman secara nasional, seperti yang pernah dilakukan di masa-masa awal Orde Baru, yang berakibat fatal karena mematikan otonomi dan kreatifitas lokal desa-desa di seluruh Indonesia yang diseragamkan dengan struktur desa-desa di Jawa. Tradisi hukum adat desa dan bahkan struktur pemerintahan adat seperti marga di Sumatera Selatan dan lain-lain menjadi runtuh dan menghilang dari praktik pemerintahan desa sehari-hari (Asshiddiqie, tt.: 8).”

Berikut disajikan perbandingan masa jabatan kepala desa dari era kolonial hingga pasca reformasi:





Sumber : Buku Potret Politik & Ekonomi Lokal di Indonesia (Dinamika Demokratisasi, Pengembangan Ekonomi dan Kawasan Perdesaan) Hak cipta © Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia kerjasama IRE, AKATIGA, Sajogyo Institute, Mei 2017 dengan dukungan Program Knowledge Sector Initiative

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.