Page Nav

10

Grid

SNIPSET

true
true

Pages

Breaking News:

latest

Sejarah Perjalanan Desa di Indonesia

Keberadaan desa di Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya sudah ada sejak Pemerintahan Indonesia belum berdiri. Desa merupakan suatu wila...






Keberadaan desa di Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya sudah ada sejak Pemerintahan Indonesia belum berdiri. Desa merupakan suatu wilayah kesatuan hukum berdasarkan kesejarahan dan adat istiadat masyarakat. Kerajaan yang pernah ada ada di Jawa mengakui desa sebagai wilayah kesatuan hukum dibawah naungan kerajaan.

Status dan keberadaan desa pada masa kerajaan mengacu kepada “Buku Kertagama” dan “Serat Wulangreh”. Ketika masa pemerintahan Hindia Belanda, desa juga diakui sebagai satu  kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadar yang mempunyai kedaulatan. Oleh karena itu pada masa pemerintahan hindia belanda, dibuatlah undang-undang tentang desa, yaitu IGO (Islandsche Gemeente-Ordonnantie) tanggal 13 Februari 1906 untuk desa-desa di wilayah Jawa dan Madura dan IGOB (Hogere Islandsche Verbenden Ordonnatie Buitengewesten) untuk desa di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.

Pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan umum untuk masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat juga dipecat oleh Syuucookan.

Selanjutnya, pada zaman penjajahan Jepang Desa ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada pendudukan jepang ini otonomi desa kembali dibatasi bahkan desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan dan lain-lain. Kepala desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan tebu. Pemerintah desa pada jaman pendudukan jepang terdiri dari 9 pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang mandor, Polisi desa dan Amir (mengerjakan urusan agama).

Pada saat negara Republik Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1945, desa menjadi tulang punggung negara dan bangsa untuk menopang kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya untuk melindungi warganya dari kemiskinan dan kebodohan. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimana posisi desa merupakan satu kesatuan wilayah pemerintahan sebagai bagian dari desa.

Begitu pentingnya desa sebagai perangkat negara yang paling riil sebagai institusi pelindung dan penganyom kehidupan warga, maka untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No.2 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. Undang-Undang ini mengatur kedudukan desa dan kekuasaan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah.

Karena undang-undang tersebut dianggap tidak sempurna maka pada tanggal 10 Juli 1948, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 22 yang berisi (a) desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan wilayah hukum yang berdasarkan adat istiadat yang berkedudukan dalam wilayah pemerintahan republik Indonesia; (b) RT/Dusun masih tetap dipertahankan sebagai bagian dari desa; (c) Desa merupakan pemerintahan administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan provinsi. Pada tahun 1957, posisi kedaulatan desa diperkuat dengan UU Nomor 1 Tahun 1957 dimana desa merupakan pemerintahan otonom yang mengatur warga yang ada di wilayah otoritas hukum administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan provinsi.

Undang-undang tentang desa tersebut diperkuat oleh keluarnya UU No 18 Tahun 1965. Desa pernah mendapat perhatian dan kehormatan sosial politik dan legitimasi hukum yang luar biasa dari pemerintah Indonesia pada tahun 1965 dengan keluarnya Undang-Undang Desa Nomor 19 tentang Desa Swapraja, dimana posisi desa merupakan pemerintahan Swapraja yang merupakan kelengkapan kelembagaan demokrasi; Eksekutif (Kepala Desa beserta Pamong Desa); Legislatif (DPRDesa/ Gotong Royonh); dan Mahkamah Desa/ Adat (Para Sesepuh dan pemangku adat).
Posisi desa sebagai “desa swapraja” benar-benar memberi peran desa sebagai pembangkit karakter warga yang mandiri dan tidak “bermental miskin”. Pengaturan tata kelola desa sungguh-sungguh sempurna yang memenuhi asas pemerintahan yang baik (Good Governance). Alokasi penggunaan kekayaan desa yang berupa tanah desa digunakan untuk pengentasan “kemiskinan” warga desa.

Hal ini tercermin pada alokasi penggunaan tanah desa untuk enam sektor penting yakni: (1) Tanah titi sara; adalah tanah desa yang digunakan untuk bantuan sosial bagi warga yang sedang menderita atau terkena bencana. (2) Tanah peguron; adalah tanah desa yang hasilnya digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak desa. (3) Tanah sengkeran; adalah tanah desa yang digunakan untuk tempat penangkaran bibit/tanaman yang dilindungi dan penyeimbang ekosistem lingkungan alam. (4) Tanah segahan; adalah tanah desa yang hasilnya untuk biaya komunikasi, lobi dan membangun kerja sama. (5) Tanah pangon; adalah tanah desa yang digunakan untuk ruang publik dan penggemblengan hewan. (6) tanah pelungguh; adalah tanah desa yang hasilnya untuk
memberi honor para eksekutif, legislatif dan yudikatif desa.

Sayangnya masa kejayaan desa dalam kemandiriannya untuk membangkitkan karakter warga yang swadaya, swakarya, swadana dan swasembada tidak lama. Sebab pada penghujung tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September terjadi gejolak politik nasional yang sering diingat dengan sebutan G 30 S PKI.

Kehidupan desa beserta tatanannya ikut “hancur” terkena imbasnya gejolak politik tersebut, sehingga hanya sebagian desa di Indonesia yang sempat menerapkan desa swapraja seperti desa-desa di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, karena konon penggagas desa swapraja adalah almarhum Sultan Hamengku Buwana IX.

Sejak saat itu kehidupan desa bagaikan “mati” tidak ada kehidupan tata kelola pemerintahan desa. Apalagi dengan keluarnya Maklumat Politik Orde Baru Nomor 6 tahun 1969 yang mencabut dan tidak memberlakukan seluruh perundang-undangan dan peraturan tentang desa. Dengan demikian desa tidak mempunyai legitimasi sosial, politik dan hukum maka kehidupan desa bagaikan “anak ayam kehilangan induknya”, tidak mempunyai pegangan dan legitimasi sosial politik apapun dari negara.

Baru pada tahun 1974 melalui UU Nomor 5 Tahun 1974, desa diposisikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Pemerintah Daerah sebagai satu kesatuan dengan Pemerintah Pusat. Posisi desa yang merupakan bagian melekat dengan Pemerintah Daerah dikuatkan lagi dengan keluarnya UU 5 Tahun 1979. Posisi desa seperti itu menjadikan tata pemerintahan desa hanya sebagai “perangkat” pemerintah bukan sebagai “penganyom” dan “pengemong” atau bukan lagi sebagai fasilitator warga desa.
Posisi sosial, politik dan hukum desa berdasarkan UU No 5 Tahun 1974 dan UU No 5 1979 yang dilandasi oleh maklumat politik Orde Baru No 6 Tahun 1969 mempunyai implikasi terhadap perubahan tata kelola desa. Sebab undang-undang tersebut memberi mandat bahwa pengelolaan pemerintahan desa dan pembangunan desa bukan lagi hak dan kewenangan pemerintah daerah dibawah arahan pemerintah pusat.

Desa bukan lagi sebagai subyek namun sebagai objek berbagai projek pembangunan pemerintah pusat melalui pemerintah daerah. Institusi desa diposisikan sebagai wilayah administrasi pemerintah daerah yang “taat” dan patuh menerima “kehendak baik” berupa berbagai bentuk bantuan dan subsisi pemerintah pusat melalui pemerintah daerah misalkan kasus program Inpres Desa Tertinggal (IDT).

Ketika era reformasi melengserkan rezim orde baru, posisi sosial, politik dan hukum tentang desa mendapat angin segar yaitu keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999. Undang-Undang tersebut memberi posisi desa hampir mendekati dengan UU No 19 tahun 1965 dimana desa mempunyai legislatif (Badan Perwakilan Desa) dan Eksekutif (Kepala Desa beserta pamong desa), sayangnnya UU No 22 tahun 1999 tidak memberi mandat desa untuk mempunyai Badan Yudikatif seperti UU 19/1965. Walaupun demikian sudah cukup memberikan hak, kewenangan dan tanggung jawab desa untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan desa secara berdaulat.

Pelaksanaan UU Nomor 22 tahun 1999 terseok-seok bagaikan nafsu besar tenaga kurang, semangat desa mempunyai hak dan kewenangan tidak diimbangi dengan karakter dan keterampilan mengelola pembiayaan pemerintahan secara mandiri dan maksimal. Hal ini terlihat dari komposisi APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) sebagian desa masih menggantungkan pendapatan desa dari pasokan pemerintah melalui dana ADD (Alokasi Dana Desa). Konsekuensinya adalah kemandirian desa terciderai dengan berbagai arahan penggunaan dana ADD dari pemerintah daerah.

Pada periode Undang-Undang Nomor 32 tahun 2015, tema desa lebih dibicarakan pada level Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk pelaksana yakni Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005. Definisi desa menurut PP No. 72 tahun 2005 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Secara tersurat, PP ini mengakui adanya otonomi desa dalam bingkai NKRI. Dapat disimpulkan, baik UU No.32/2004 maupun PP No. 72 /2005  ini  memang mengamanatkan adanya desentralisasi kekuasaan bagi pemerintahan desa. Selain itu, PP 72/2005  juga  melegitimasi peran BPD sebagai lembaga representatif rakyat desa untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah desa.

Tetapi, Peraturan Pemerintah itu tetap memunculkan masalah terkait peran BPD. Peraturan Pemerintah ini masih memposisikan kewenangan BPD di bawah pemerintah desa. Hal itu tampak pada pasal 29 yang menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Sementara itu, bagi Pemerintah Desa, selain memberikan peluang bagi terwujudnya kemandirian desa, era otonomi daerah juga mensyaratkan kesiapan desa dalam menghadapi beragam tantangan.

Berangkat dari berbagai permasalahan desa pada peraturan perundangan sebelumnya, hadirnya UU No 6 Tahun 2014 memberi angin segar dalam pengelolaan desa. Hal ini dapat ditakar melalui beberapa indikator Pertama, tiap desa mendapatkan alokasi APBN sebesar 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).

Nilainya disesuaikan geografis, jumlah penduduk dan jumlah kemiskinan. Kedua, kepala desa dan perangkat desa mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan jaminan kesehatan. Ketiga, masa jabatan kepada desa selama 6 tahun.

Dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Dari ketiga indikator sederhana ini dapat disimpulkan beberapa poin penting yakni kebebasan, partisipasi, ekonomi maupun sosial budaya. Ketiga hal inilah yang kemudian memberi jalan kepada penataan desa menuju institusi negara (baca desa) paling mandiri.

Dapat dikatakan pula, kehadiran UU Desa ini memiliki sifat tepat guna. Tepat pada waktu yang tepat dan tepat pada substansi yang tepat pula. Desa dapat diberdayakan dan cita-cita menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dapat dimulai dari kemandirian unit paling kecilnya bernama desa.

Dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa ini terdapat beberapa poin penting yaitu; pertama, memberikan pengakuan dan penghormatan kepada Desa yang sudah ada dengan keberagamananya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedua, memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketiga, melestarikan dan memajukan adat, tradisi dan budaya masyarakat Desa. Keempat, mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama.

Kelima, membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggungjawab.

Keenam, meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum.

Ketujuh, meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional.

Kedelapan, memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional dan kesembilan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. 


Disarikan dari artikel :  Desa: Dari Revolusi Industri Hingga Lahirnya UU Desa yang ditulis oleh Evan Lahur, Mahasiswa Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta. 



No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.