Page Nav

10

Grid

SNIPSET

true
true

Pages

Breaking News:

latest

Belajar Demokrasi Dari Desa Rantau Kermas

Ilustrasi gambar : regulasidesa.blogspot.com Geotimes.co.id - Di celah lereng perbukitan yang tertutup hutan Taman Nasional Kerinci Sebelat...


Ilustrasi gambar : regulasidesa.blogspot.com



Geotimes.co.id - Di celah lereng perbukitan yang tertutup hutan Taman Nasional Kerinci Sebelat, terdapat lembah sempit tempat sebuah desa berdiri sebagai enclave. Desa itu, Rantau Kermas, dapat dicapai dalam sekira delapan jam dari ibukota Provinsi Jambi. Di tengah belantara itu saya belajar bagaimana demokrasi bekerja. Saya belajar bahwa demokrasi butuh latihan, butuh pranata untuk merawat prosesnya, dan butuh harta milik bersama sebagai alasan kehadiran pranata tersebut.

Setiap usai perayaan Idul Fitri, warga Rantau Kermas, bagian dari rumpun Masyarakat Adat Serampas, mengadakan rapat adat. Rapat itu melibatkan hampir seluruh warga, tua muda, laki perempuan, berlangsung di satu bangunan besar yang memang dibuat untuk pertemuan publik. Di sana mereka melakukan kodifikasi dan pembaruan peraturan adat. Mereka menamainya Kenduri Sko. Mendengar cerita tentang Kenduri Sko, kita mudah membayangkan betapa warga Rantau Kermas sudah terlatih berkumpul dan bermusyawarah, terbiasa membicarakan isu bersama secara kolektif. Tradisi itu membentuk tindakan kolektif yang demokratis, sebuah kondisi yang dicita-citakan Undang-Undang Desa No. 6 tahun 2014 (selanjutnya UU Desa).

***
UU Desa disusun di atas landasan tiga belas asas yang intinya menginginkan agar warga desa mengurus diri sendiri secara demokratis menurut konteks lokal masing-masing. Untuk menyebut beberapa, di sana ada asas rekognisi, subsidiaritas, kemandirian, demokrasi, kesetaraan, dan partisipasi. Melihat deretan asas tersebut, kita bisa membaca UU Desa sebagai kitab yang membentangkan peta jalan menuju sebuah cita-cita bahwa kelak warga desa secara kolektif akan bisa menjalankan demokrasi, bahwa partisipasi warga dalam pengambilan keputusan publik demi kesejahteraan bersama yang berkelanjutan akan terwujud.

Hal ini dapat kita temukan, antara lain, dalam Pasal 34 (tentang pemilihan kepala desa), Pasal 54 (tentang musyawarah desa), atau Pasal 57 (tentang pemilihan anggota BPD). Pasal-pasal ini mengurai rangkaian mekanisme pengambilan keputusan publik secara demokratis yang akan dijalankan warga desa. Undang-undang ini memang dibuat antara lain untuk membuka ruang bagi demokratisasi desa.

Tetapi bila aturan ini diperhadapkan dengan kenyataan, ia akan tampak sebagai pekerjaan rumah yang sungguh berat. Demokrasi perdesaan di banyak bagian Indonesia tak bisa langsung bergerak begitu UU Desa ditetapkan.

Untuk menjalankan rangkaian mekanisme demokratis yang disediakan Undang Undang itu, dibutuhkan kemampuan warga mengorganisir diri dalam kerja kolektif berjangka panjang—bukan sekadar kemampuan untuk secara kolektif merespons kejadian insidentil atau menyelenggarakan kegiatan eventual. Agar terbebas dari jebakan ‘demokrasi prosedural’—cuma menjalankan prosedur demi menggugurkan kewajiban administratif, laku demokrasi butuh latihan jangka panjang. Lewat praktik berkesinambungan, tindakan kolektif itu akan menjadi kebiasaan, menjadi tradisi, menjadi pranata. Hal inilah yang alpa di banyak desa.

Kesimpulan ini saya peroleh dari empat penelitian di mana saya terlibat menjelang penetapan dan pemberlakuan UU Desa, dalam kurun antara 2012 dan 2015. Penelitian-penelitian itu berlangsung di lima provinsi, membentang dari Maluku sampai Jambi. Satu dari rangkaian penelitian inilah yang membawa saya ke Rantau Kermas.

***

Pranata tempatan warga di Rantau Kermas jelas dirawat oleh kebutuhan untuk menata penggunaan tanah dan air milik bersama.
Warga Rantau Kermas punya aturan bahwa satu keluarga boleh menguasai sebidang tanah selama bertahun-tahun, tapi status tanah tersebut tetap ‘milik adat’ dan status keluarga petani yang mengelolanya hanya sebagai penggarap. Mereka boleh memiliki seluruh hasil dari tanah garapan tanpa perlu bagi hasil dengan pihak pemangku adat, tapi tidak memiliki tanah itu sendiri. Aturan adat melarang mereka menjual tanah kepada orang luar. Di sana tak ada pemilik tanah guntai (absentee).

Setiap keluarga baru akan mendapatkan sebidang tanah, dan mereka diberi batas waktu beberapa bulan untuk memanfaatkannya. Apabila batas waktu terlewati, keluarga baru tersebut dianggap tak berminat mengolahnya, mungkin memutuskan memilih penghidupan lain, dan tanah itu akan kembali menjadi tanah cadangan milik adat. Jika keluarga lama tak lagi menggunakan tanah yang mereka garap, tanah itu kembali menjadi milik adat dan dapat didistribusikan kembali kepada keluarga baru.

Dengan begitu penguasaan tanah menjadi setara dan tanah cadangan masih cukup luas karena tak ada keluarga yang menguasai lahan yang terlalu luas. Aturan adat ini mengikat warga untuk mengatur kesetaraan akses dan kelestarian sumberdaya milik bersama.
Bersamaan dengan itu, Kenduri Sko juga mengatur tata ruang seperti letak rumah dan kebun, serta kawasan mata air dan hutan. Mereka pun mengatur perlakuan berbeda terhadap kawasan berbeda itu. Mereka, bisa dikatakan, mengatur seluruh elemen utama ruang hidup yang mereka kelola bersama, mereka mengatur commons.

Tetapi pranata yang mengatur pengelolaan sumberdaya bersama ini juga kemudian menjalankan fungsi-fungsi lain. Frances Cleaver memakai konsep “brikolase pranata” (institutional bricolage) untuk menjelaskan dengan baik gejala ini. Brikolase pranata adalah sebentuk pranata yang mewujud dalam organisasi informal masyarakat tempatan, senantiasa melakukan improvisasi dengan ide baru, mengadaptasi inovasi dari tempat lain sesuai konteks dan kebutuhan lokal, dan dapat berfungsi ganda.

Di Rantau Kermas, Kenduri Sko juga menentukan aturan untuk menjamin penghidupan warga, seperti aturan tanam kopi bagi keluarga baru atau pelarangan praktik meracun ikan di sungai. Semua ini merupakan inovasi yang datang kemudian, meminjam pengetahuan tentang komoditas yang paling memungkinkan dan menguntungkan bagi mereka, serta pengetahuan tentang praktik-praktik penangkapan ikan menggunakan zat-zat baru yang sebelumnya tak dikenal.

Kenduri Sko juga membicarakan perencanaan pembangunan berikut aturan-aturan seperti batas waktu bagi rencana tersebut, sanksi-sanksi, pengawasan dan evaluasi. Rangkaian keputusan ini kemudian dibuat dalam bentuk tertulis sebagai peraturan adat sekaligus menjadi Peraturan Desa. Kenduri Sko juga memilih ninik-mamak yang sekaligus menjabat Badan Permusyawaratan Desa yang berperan membuat dan mengevaluasi aturan-aturan yang sudah mereka tetapkan.

Seluruh aturan pengelolaan sumberdaya bersama juga menjadi Peraturan Desa (Perdes). Artinya, sistem tempatan ini sangat memungkinkan aspirasi warga menjelma menjadi aturan formal di tingkat desa. Semua ini sudah berlangsung sebelum pemberlakukan Undang-Undang Desa, menunjukkan bagaimana sebuah pranata tempatan berinovasi dengan mengadopsi aspek-aspek baru yang datang dari luar “sesuai konteks dan kebutuhan setempat, dan dapat berfungsi ganda.”

Kenduri Sko menampakkan bagaimana commons yang dikelola pranata tempatan berkembang menjadi brikolase pranata, dan menciptakan sebuah masyarakat yang nisbi siap menjalankan demokrasi yang dicita-citakan UU Desa.

***

Dari Rantau Kermas kita belajar bahwa demokrasi membutuhkan harta milik bersama. Demokrasi efektif—bukan prosedural—hanya hadir dalam masyarakat dengan pranata yang berkembang lewat prakarsa dari dalam. Dan pranata semacam itu paling mungkin dibangun lewat kepemilikan sumberdaya bersama. Sumberdaya bersama—tanah, sungai, danau, atau wilayah tangkapan di laut—mensyaratkan hadirnya pranata yang berperan untuk mengatur penggunaan dan perawatannya.

Sumberdaya semacam ini harus diatur bersama agar seluruh warga penggunanya bisa mendapatkan manfaat yang nisbi setara. Orang-orang harus berkumpul membicarakan aturan-aturan pemanfaatan sembari menimbang keberlanjutan sumberdaya itu sendiri, agar pemanfaatannya bisa lestari. Tanpa itu, warga hanya puny sedikit alasan untuk duduk bersama secara berkala dalam jangka panjang.

Namun kita tahu, di banyak desa Indonesia commons telah mengalami kerusakan atau lenyap akibat eksploitasi destruktif berskala besar, semisal penangkapan ikan destruktif yang memanfaatkan konvensi akses laut yang terbuka (open access). Atau, yang paling banyak terjadi, commons mengalami pengkaplingan atau privatisasi (enclosure) dengan tanah, sungai, danau, atau bahkan air tanah yang tadinya milik bersama kemudian ditutup untuk dikuasai secara privat.

Dalam keadaan seperti ini, sulit mengharapkan munculnya pranata warga yang berkembang dari pengelolaan sumberdaya bersama yang bersifat alamiah. Di titik inilah UU Desa dengan prosedur pengambilan keputusan yang demokratis membuka peluang. Memang, banyak desa tak lagi punya sumberdaya bersama, tetapi UU Desa datang dengan fasilitas dan wewenang yang memungkinkan desa untuk membangun harta milik bersama, bila dikelola dengan baik.

Tapi ruang yang disediakan negara (invited space) ini pun punya tantangannya sendiri.

Salah satu masalah utamanya ialah pengangkangan wewenang dan sumberdaya oleh lingkaran elite (elite capture). Persoalan ini disokong oleh masih kuatnya jejaring patronase yang membentang dari tingkat atas sampai desa. Pada masa sebelum UU Desa, warga dari kelompok-kelompok marjinal jarang dilibatkan atau sudah jera terlibat dalam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Usulan-usulan mereka sangat jarang atau malah tak pernah menjadi kenyataan. Itu bila usulan mereka memang terdengar.

Maka, rangkaian kerja panjang dibutuhkan agar pemerintahan desa berikut lembaga-lembaga desa lain dapat bertransformasi menjadi pranata lokal yang demokratis, sesuatu yang bekerja bagi seluruh warga dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Seluruh warga desa perlu kembali diajak untuk melihat kewenangan dan dana desa sebagai commons, harta bersama seluruh warga desa.

Mereka perlu diyakinkan bahwa sekarang suara mereka sungguh punya pengaruh dalam menentukan bagaimana harta bersama itu didistribusikan. Dan mereka perlu mengalaminya berkali-kali sampai betul-betul yakin.

Oleh : Nurhady Sirimorok
(Peneliti isu-isu perdesaan; Pegiat di komunitas Ininnawa, Makassar) .

Tulisan ini disalin untuk kepentingan penyebaran informasi dan pengetahuan,  diakses pada tanggal 05/08/2018.



No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.