REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar Kependudukan & Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Sukamdi menuturkan, ke...
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN
-- Pakar Kependudukan & Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM, Sukamdi menuturkan, kebijakan batas waktu rekam e-KTP harus
dikaji kembali. Menurutnya, masih ada warga yang menghadapi persoalan akses
karena berada di wilayah yang sulit dijangkau seperti di perbatasan maupun
pelosok atau perdalaman.
Mereka
bahkan harus mengeluarkan ongkos transportasi yang tidak sedikit, meski biaya
pendaftaran e-KTP gratis. Ia mengatakan, proses merekam data hingga pencetakan
e-KTP sendiri masih bermasalah. Seperti blangko kurang, mesin rusak, sampai
pelayanan yang lama.
"Ini
adalah PR pemerintah sehingga konsekuensi yang harus ditanggung warga akibat
tenggat waktu tadi cenderung melanggar. Hak konstitusionalnya
dihilangkan," kata Sukamdi.
Ia
berpendapat, jika mekanisme tenggat waktu masih diterapkan, jangan sampai
bentuk disinsentif atau konsekuensi yang diterima warga malah menghilangkan hak
mereka. Bentuk disinsentif yang bisa ditekankan misalnya, pada prosedur yang
lebih banyak atau panjang apabila belum mendaftar e-KTP hingga melebihi tenggat
waktu.
Surat
edaran mendagri pun akan lebih baik apabila fokus pada upaya-upaya memperbesar
kemampuan pemerintah dalam memberikan layanan administrasi. Misalnya,
kelonggaran pendanaan atau budgeting oleh pemda, gerakan jemput bola dan
memperluas penggunaan alat baca e-KTP atau card reader.
Menurutnya,
hal ini yang sering luput dari perhatian. Karena penggunaan e-KTP tidak bisa
maksimal apabila card reader belum tersedia. Pemerintah sudah harus menentukan
pihak atau unit layanan apa saja yang bisa menggunakan card reader.
Bagaimanapun, pemerintah harus bertanggung jawab untuk melindungi kerahasiaan
data penduduk.
“Peraturan
seperti surat edaran dari pusat sifatnya generik. Pada implementasinya pemda
kabupaten/kota sebaiknya diberikan diskresi atau keleluasaan untuk
menerjemahkan kebijakan generik ke dalam keputusan-keputusan yang lebih
responsif terhadap kondisi wilayahnya," Sukamdi.
Sumber :
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/09/01/octac0365-batas-waktu-perekaman-ektp-dinilai-perlu-kajian-ulang