Pada dasarnya padat karya bukanlah istilah baru di bangsa Indonesia. Bahkan sejarah mencatat padat karya merupakan salah satu pilar yang men...
Pada dasarnya padat karya bukanlah istilah baru di bangsa Indonesia. Bahkan sejarah mencatat padat karya merupakan salah satu pilar yang menyukseskan pembangunan Indonesia pada masa sebelumnya khususnya dalam program swasembada pangan. Saat ini pun, padat karya masih dilaksanakan pada berbagai program pemerintah dalam bentuk pemberdayaan masyarakat yang banyak menghasilkan infrastruktur kebutuhan dasar bagi masyarakat, khususnya di pedesaan.
Kesuksesan ini pula yang menjadi daya pikatnya sehingga Pemerintah Indonesia menggiatkan dan men - canangkan kembali padat karya pada program p e m b a n g u n a n nasional di tahun 2018 dengan nama Padat Karya Tunai. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan padat karya sebagai (1) pekerjaan yang berasaskan pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia (dalam jumlah besar) dan (2) kegiatan p e m b a n g u n a n proyek yang l e b i h b a n y a k menggunakan tenaga manusia jika dibandingkan dengan modal atau mesin. Kedua definisi tersebut menitikberatkan adanya suatu pekerjaan yang mengoptimalkan penggunaan sumber daya manusia dalam kuantitas yang besar.
Artinya, padat karya menciptakan suatu lapangan kerja, apakah itu baru atau sifatnya perluasan, yang benar-benar dapat menyerap potensi tenaga kerja yang ada sehingga tingkat pengangguran berkurang dan tingkat kemiskinan dapat ditekan. Itu pulalah harapan yang hendak dicapai oleh Pemerintah di tahun 2018 dalam rangka merealisasikan target pertumbuhan ekonomi di angka 5,6%. Namun seperti halnya sarang lebah, untuk mendapatkan manisnya madu terkadang sakitnya sengatan lebah tak terhindarkan.
Padat karya juga membawa isu dan problematika sensitif di seputar ketenagakerjaan, yaitu upah. Pada awal mulanya, padat karya berasal dari kebijakan pemerintah dalam rangka menggiatkan Industri Substitusi Impor (ISI), yang membatasi impor dan menggantikannya dengan barang produksi dalam negeri. Tujuannya adalah untuk membangun industri dalam negeri yang kuat dan berfokus ke dalam melalui pengembangan industri-industri hulu. Namun seiring merosotnya harga minyak, pemerintah menempuh kebijakan pengembangan industri yang berorientasi ekspor/Industri Orientasi Ekspor (IOE).
Tujuannya hampir sama dengan ISI, namun IOE lebih berfokus pada pemanfaatan potensi tenaga kerja yang besar dan meminimalisir penggunaan mesin sebagai efisiensi operational cost. Di sinilah lahir berbagai program pemerintah berbasis padat karya pada masa itu. Program padat karya pada masa itu dapat dikatakan berhasil. Apabila kita menelisik pada masa awal REPELITA II berjalan, angka kemiskinan di Indonesia berada di atas 40%. Kemudian, angka tersebut secara berangsur-angsur turun hingga mencapai 11,34% pada tahun 1996 sebagai efek positif dari terciptanya lapangan kerja baru yang menghasilkan lapisan buruh industri secara signifikan, khususnya di sektor manufaktur.
Namun, jumlah tenaga kerja buruh yang melimpah ini kemudian menjatuhkan nilai upah buruh. Pada era padat karya saat itu, upah pekerja padat karya berada di angka USD1,4 per hari yang disebut-sebut sebagai upah terendah di dunia. Oleh karenanya, banyak yang mengkritik padat karya pada pemerintahan saat itu sebagai eksploitasi sumber daya manusia demi efisiensi biaya operasional yang mengarah ke kerja paksa. Pemerintah ingin mengaplikasikan kembali padat karya di tahun 2018. Isu upah pun kembali mengemuka.
Lalu apa beda program-program pemberdayaan masyarakat, dan padat karya tunai pada tahun 2018 ini? Pertama, padat karya sebelumnya dan program pemberdayaan masyarakat yang ada saat ini, jenis kegiatan atau pembangunan yang dipadatkaryakan pada umumnya homogen sesuai dengan jenisnya. Sebagai contoh, padat karya sebelumnya menitikberatkan pada industri manufaktur.
Kemudian, program-program pemberdayaan yang ada saat ini berfokus pada pembangunan infrastruktur sesuai dengan jenis dan pendanaan kontrak programnya seperti Program PAMSIMAS untuk penyediaan sarana air minum dan sanitasi, PNPM untuk infrastruktur desa sebagaimana ditentukan oleh program dan lainnya. Artinya, desa dibatasi dalam opsi pembangunan yang dapat dilaksanakan, tergantung program apa yang saat itu mereka terima. Sedangkan padat karya tunai yang dicanangkan di tahun 2018 ini, lebih komprehensif, holistik, dan integratif.
Komprehensif dan holistik artinya desa (dalam hal ini masyarakat), pembangunan y a n g d i l a k s a n a k a n di desa direncanakan dan dilaksanakan oleh desa sendiri serta mengakomodir berbagai pilihan dan kesempatan bagi masyarakat berbasis kearifan lokal yang produktif dan bernilai ekonomis. Integratif berarti pembangunan padat karya yang dilaksanakan melibatkan koordinasi dari berbagai pihak, baik desa sendiri, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat (kementerian/lembaga) Hal ini terlihat dari penganggaran untuk mendukung kegiatan padat karya tunai yang tidak hanya bersumber dari dana desa saja, melainkan dari anggaran pemda, dan kementerian/lembaga terkait.
Selain itu, kementerian/lembaga diwajibkan untuk melaksanakan padat karya tunai di desa. Kedua, padat karya tunai yang dilaksanakan pada tahun 2018 ini bersifat multi outcome yang mendorong tercapainya tujuan makro yaitu peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 (UU 6/2014) tentang Desa. Multi outcome dapat tercapai karena di padat karya tunai ini selain mengatasi ketercapaian pembangunan infrastruktur, program padat karya t u n a i juga menciptakan lapangan kerja baru yang menyasar kepada kelompok penganggur.
Upah yang diterima pekerja dari padat karya tunai ini akan meningkatkan daya beli masyarakat yang kemudian meningkatkan konsumsi rumah tangga secara kumulatif. Dengan lapangan kerja baru ini, maka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan tingkat kemiskinan akan turun. Selain itu, peningkatan daya beli masyarakat akan menurunkan angka ketimpangan pendapatan di masyarakat (Gini Ratio).
Di sisi lain, infrastruktur yang terbangun mengundang investor swasta untuk berani berinvestasi di wilayah padat karya. Optimalnya investasi swasta dan investasi pemerintah dari perputaran ekonomi konsumsi rumah tangga akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional. Terkait dengan isu upah yang merupakan risiko bawaan (inherent risk) dari program padat karya, Pemerintah telah menetapkan kebijakan pengupahan untuk program padat karya sebagai komitmen dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Hal itu diwujudkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Penyelarasan dan Penguatan Kebijakan Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyebutkan bahwa desa wajib memenuhi minimal 30% dari keseluruhan alokasi kegiatan pembangunan untuk membayar upah masyarakat dalam rangka menciptakan lapangan kerja di desa, di mana besaran upah ditentukan dengan musyawarah (bukan sepihak).
Sejauh ini, Pemerintah telah berada di jalur yang tepat dalam pencapaian kesejahteraan negara. Jika kita melihat statistik, upaya Pemerintah untuk merealisasikan peningkatan kualitas hidup dan kehidupan tersebut memperlihatkan progres yang menjanjikan. Sebagai contoh, Pemerintah berhasil menekan tingkat kemiskinan dari angka 11,13 di tahun 2015 berturut-turut menjadi 10,70 di tahun 2 0 1 6 d a n 10,12 di tahun 2 0 1 7 . Angka tingkat pengangguran Terbuka juga berangsur-angsur turun dari 6,18 di tahun 2015 menjadi 5,61 di tahun 2016 dan 5,50 di tahun 2017. Kemudian, tingkat ketimpangan pendapatan juga turun dari angka 0,402 di tahun 2015 menjadi 0,394 di tahun 2016 dan 0,391 di tahun 2017.
Angka ini berpotensi untuk dapat terus ditekan turun, namun juga tidak menutup kemungkinan dapat menanjak naik. Di sinilah pentingnya sebuah pengawasan terhadap akuntabilitas program padat karya untuk memastikan kete p a t a n sasaran, ketepatan pelaksanaan, dan ketepatan manfaatnya.
Pengawasan Padat Karya Pengawasan terhadap ketepatan sasaran dimaksudkan untuk memastikan bahwa program memang dilaksanakan pada desa-desa dengan tingkat stunting (angka gizi buruk) yang tinggi, desa-desa kantong kemiskinan, dan desa-desa dengan angka pengang gur yang tinggi, sehingga pada akhirnya pembangunan dapat dilakukan dan dirasakan secara merata di seluruh desa di Indonesia tanpa terkecuali.
P e - ngawasan terhadap ketepatan pelaksanaan dimak sud - k a n u n t u k memastikan bahwa pelaksanaan program sesuai d e n g a n aturan dan tata cara yang berlaku dan tidak cacat hukum. Titik kritis dalam pengawasan terhadap ketepatan pelaksanaan ini yaitu pada pelaksanaan di tingkat masyarakat. Program padat karya melibatkan masyarakat desa dengan berbagai tingkat pendidikan yang belum merata. Dengan kata lain, ada risiko ketidaksesuaian pelak - sanaan pekerjaan di lapangan dengan aturan dan ketentuan yang berlaku karena kekurangpahaman masyarakat terhadap regulasi tersebut. Oleh karena itu, pengawasan pada tahap pelaksanaan ini juga menitikberatkan pada pembinaan terhadap sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya (dalam hal ini masyarakat), baik melalui sosialisasi, pelatihan, bimbingan teknis, dan lainnya.
Pengawasan terhadap ketepatan manfaat dimaksudkan untuk memastikan bahwa ketepatan sasaran dan pelak - sanaan dari program padat karya telah dapat memberikan manfaat, bukan hanya dengan terbangunnya infrastruktur, namun juga dengan terbangunnya ekonomi masyarakat yang fundamental melalui penurunan jumlah penganggur dan mening - katnya produktivitas dan daya beli dari masyarakat desa (lihat grafik tingkat pengguran terbuka di bawah) Dengan adanya program padat karya tunai yang terkawal efekttif, diharapkan padat karya tunai ini dapat menjadi solusi untuk menekan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan.
Diolah dari Majalah WARTA PENGAWASAN VOL XXV/ NOMOR 1/TAHUN 2018
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.