Page Nav

10

Grid

SNIPSET

true
true

Pages

Breaking News:

latest

Belajar Memaknai Desa

Oleh: Rikardus Yonogas Goa  DESA dalam terminologi kuno bahkan sekarang sering dikonotasikan dengan lebih rendah dari desa. Betapa tidak des...




Oleh: Rikardus Yonogas Goa 
DESA dalam terminologi kuno bahkan sekarang sering dikonotasikan dengan lebih rendah dari desa. Betapa tidak desa selalu disandingkan dengan pembangunan yang lamban akan perubahan dan tuntutan zaman. Apalagi dengan era globalisasi sekarang mengharuskan sekelompok manusia terintegrasi dalam cara pandang Go ahead, who are you.
Akan tetapi belakangan ini sejak diundangkannya UU No. 6 Tentang Desa, orang kemudian beramai-ramai berbondong ke desa. Tidak lagi yang hanya tamatan pendidikan SMP yang mengurus desa, tetapi juga para sarjana yang ingin mengharuskan desa terintegrasi secara sosial, ekonomi, budaya maupun politik.
Secara historis desa adalah lahan basah yang dulunya jarang dilirik pemangku kepentingan. Namun, yang terjadi sekarang desa bagaikan perawan yang diburu para lelaki ‘jahanam’ (baca; elite berkepentingan). Desa sekarang menurut pepatah kuno “dimana ada gula disitu ada semut” adalah pukulan telak buat para pemburu dana desa yang hanya memburu kepentingan saja tanpa imbas apa yang mau dibuat di desa.
Secara tersirat desa menginginkan agar orang atau oknum yang ingin kembali ke desa tahu memaknai desa. Desa, dalam artian sebagai subjek apa yang mau dilakukan dan pembangunan apa yang menjadikan desa sebagai obyek pembangunan desa dalam bingkai membangun Indonesia.
Karena, penggunaan istilah “pembangunan Desa” atau “Desa membangun” merupakan pilihan para digmatis yang sarat makna. “Pembangun Desa “ menempatkan desa sebagai objek merupakan cara pandang kuno dan tidak lagi berimplikasi pada tataran pembangunan desa.
Sedangkan “Desa Membangun” adalah cara pandang brillian yang menepatkan desa pada porsi dan kedudukannya. Apalagi pengakuan dan penghormatan negara kepada desa yang disertai dengan redistribusi sumber daya dan kewenangan pembangunan secara penuh sebagaimana mandat UU No. 6 Tahun 2014, memberikan tanda yang jelas bahwa dari situlah desa harus menjadi tumpuan untuk membangun Indonesia.
Tumpuan untuk membangun Indonesia dari desa adalah beban berat bagi siapa saja yang ingin berkontribusi terhadap desa dan memaknai desa. Sepakat, jika kemudian kita menjadikan desa sebagai Indonesia mini dalam hal pemerataan pembangunan nasional.
Sebab pada hakekatnya desa merupakan entitas bangsa yang telah membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Melalui pengembangan paradigma dan konsep baru tata kelola desa secara nasional, berlandaskan prinsip keberagaman serta mengedepankan asas rekognisi dan subsidiaritas, tidak lagi menempatkan desa sebagai “latar belakang Indonesia”, melainkan sebagai “halaman depan Indonesia” (Marwan Jafar, mantan Menteri Desa, PDTT).
Tantangan Berdesa
Hambatan berdesa sekarang adalah bagaimana mentransformasikan pemikiran tentang desa dalam nuansa pemberdayaan. Pemberdayaan dalam artian luas menjadikan stakeholderdesa kaya manfaat bukan pemburu kepentingan semata. Di sisi lain desa yang belum siap akan perubahan yang signifikan menjadi rumit untuk menuju kemajuan.
Secara prosedural UU Desa merupakan jawaban agar desa harus mandiri baik secara ekonomi, sosial maupun budayanya dalam asas rekognisi dan subsidiaritas. Seperti yang diungkapkan Menteri Desa PDTT Eko Putro Sanjojo dalam RAPIMNAS Pemuda Katolik di Surakarta mengatakan bahwa dari 255 juta penduduk di Indonesia 50,21 % adalah bertempat tinggal di desa. Setengah dari jumlah penduduk Indonesia adalah hidup di desa.
Bahkan dalam catatan historis kota adalah pelarian dari ketidakterimaan seseorang pada situasi hidup di desa. Maka, sangat disayangkan apabila setengah dari penduduk Indonesia ini hidup dan tak terurus. Akan, tetapi disatu sisi desa ramai diperbincangkan berbagai pihak. Antisipasi akan perubahan kultur atau cara hidup desa mau tak mau harus digalakan sekarang.  Karena itu memakanai desa adalah pilihan pasti dan menjadi momentum berharga kita perjuangkan saat ini.
Melihat kondisi desa berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) dimana jumlah desa di Indonesia sekarang ini adalah 74.754 desa dan hampir 46 % (33.948 desa) diantaranya merupakan desa tertinggal. Sementara desa yang sangat tertinggal berada pada 22.916 (30.66%) desa. Dalam hal ini cita-cita Jokowi membangun Indonesia dari pinggiran masih belum terasa efeknya.
Separuh dari jumlah desa merupakan bukti ketimpangan cara memaknai desa. Dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa kita mendapati ada dua jenis desa. Dalam pasal 1 ayat 1 menyebutkan “Desa adalah desa dan desa adat atau  yang  disebut dengannamalain,  selanjutnya disebut Desa,  adalah kesatuan masyarakat hukum  yang  memiliki batas wilayah  yang  berwenang untuk mengatur dan mengurus urusanpemerintahan,  kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,  hak asal usul,  dan/atau hak tradisional yang  diakui dan dihormati dalam sistempemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Disini menegaskan bahwa desa diberi hak penuh untuk menjalankan roda pembangunannya.
Secara, sosial prakarsa masyarakat adalah jaminan nomor satu mau dibawa kemana sebuah desa. Desa Adat misalnya, dituntut untuk mempertahankan adat dari integrasi zaman. Desa juga dalam hal ini dituntut mandiri. Mandiri adalah desa yang mampu memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan yang dimiliki.
Dibawah payung UU No 6/2014 tentang Desa, keinginan untuk menjadi desa mandiri sejatinya menemukan secercah harapan yang terang benderang. Adanya dana desa yang dimandatkan UU Desa kepada desa adalah peluang baru bagi desa untuk lebih leluasa mengalokasikan uang untuk mengatasi persoalan dan kebutuhan yang dihadapi desa.
Desa akan lebih memiliki keleluasaan untuk membahas program dan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan warga desa. Untuk menuju desa mandiri, jalannya tentu saja tidak mudah. Tetapi tentu saja bukan hal mustahil untuk dilaksanakan. Hal utama yang penting dilakukan tentu saja menyamakan persepsi dan komitmen untuk bersama-sama dari warga dan pemerintah desa (Marwan Jafar, mantan Menteri Desa).
Tanpa adanya niat yang sama, maka tidak akan mungkin aset dan potensi desa bisa di optimalkan. Untuk bisa optimal, maka kesadaran tentang desa sebagai sumber penghidupan harus terus digaungkan.
Memaknai Desa
Dalam buku “Desa Membangun” karangan Sutoro Eko, dkk mengaskan bahwa kedudukan (posisi) desa dalam bangunan besar tata negara Indonesia, sekaligus relasi antara negara, desa dan warga merupakan jantung persoalan  UU  Desa. Jantung persoalan UU Desa yang dimaksudkan disini adalah kejelasan mengenai “desa mau dibawa kemana”.
Masyarakat kota dalam memperbincangkan desa, yang pasti adalah merindukan kampung halamannya masing-masing. Betapa tidak, kerinduan paling pertama adalah kesejukan akan hawa, suasana desa yang gaya hidupnya tidak sekompetitif hidup di kota. Desa, dalam kenyataannya memang memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Hal serupa dilontarkan secara tersurat pengakuan negara terhadap desa dengan hadirnya UU No.6 tahun 2014 pasal  4 menghendaki agar jiwa sosial desa tidak luntur dimakan zaman. Pasal 4 huruf (e) menegasakan untuk “melestarikan dan memajukan adat,  tradisi,  dan budaya masyarakat desa;”.
Melestarikan desa tidak menjerumus ke dalam keegoisan invidual. Memajukan adat menjadi poin penting hadir dalam segenap tradisi turun-temurun yang menjadi budaya masyarakat desa. Gotong royong menjadi nomor satu dalam mengakomodir partisipasi warga desa. Jadi, betapa istimewanya desa jika kita bayangkan sekarang.

Mempertahankan seluruh potensi, kultur desa bukan menjadi hal tawar lagi. Modal sosial masyarakat desa dalam tahapan sekarang adalah memberdayakan desa sebagai upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.
Sebab memaknai desa adalah memaknai struktur atau pola dinamika masyarakat yang erat akan persaudaraan dan gotong-royong.*
(*Rikardus Yonogas Goa adalah mahasiswa Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta dan Anggota Kelompok Studi tentang Desa (KESA).



Sumber : http://floresindependen.com/OPINI-Belajar-Memaknai-Desa

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.