gambar : depokpos.com Oleh Andi Firdhaus Lancok SEJAK berlakunya Undang-undang (UU) No.6 Tahun 2014 tentang Desa, desa telah diberikan kewen...
gambar : depokpos.com
Oleh Andi Firdhaus Lancok
SEJAK berlakunya Undang-undang (UU) No.6 Tahun 2014 tentang Desa, desa telah diberikan kewenangan dalam mengelola keuangan secara mandiri. Ini baru terjadi sejak 72 tahun Indonesia merdeka. Di sisi yang lain, kewenangan ini tentu tidak mudah, apalagi baru tiga tahun desa belajar mengelola keuangan dan pembangunan secara mandiri dan swakelola.
Seiring dengan itu pula, sejak 2015, 2016 dan tahun 2017, berbagai masalah terjadi. Konflik antarkelompok masyarakat terbangun. Di sisi yang lain, hubungan sosial menjadi renggang. Potensi konflik bukan hanya saja dipicu oleh kurangnya sumber daya aparatur dalam pengelolaan keuangan desa, tapi juga akibat moralitas yang minim serta kecurigaan masyarakat meningkat akibat kurangnya transparansi. Efek tersebut bukan hanya berefek pada konflik sosial, tetapi juga berimbas pada terbukanya ruang korupsi di desa dengan berbagai bentuk dan pola. Di samping kontrol dan pengawasan masyarakat yang lemah. Bahkan secara nasional menurut ICW (Indonesian Corruption Watch), hingga akhir 2017 lalu tercatat ada 900 kepala desa yang bermasalah dengan hukum. Angka ini tentu menjadi keprihatinan bersama.
Sebagian lainnya terpaksa masuk dalam jeruji besi akibat terbukti menyalahkan pengelolaan keuangan desa yang tidak sesuai dengan aturan. Kasus ini terjadi di hampir kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Bila dilihat dari banyaknya pola korupsi dana desa, memang sulit dihindari dengan berbagai faktor. Terutama minimnya pengawasan dan kemampuan mengawasi dengan 74 ribu lebih desa di Indonesia.
Selain pengawasan, minimnya pengetahuan dan kapasitas aparatur dalam melakukan pelaporan keuangan desa sesuai dengan aturan yang berlaku menjadi penyebab, termasuk lemahnya penggunaan aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) yang sudah diluncurkan oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT).
Banyaknya penyelewengan dana desa, membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai adanya modus dan pola yang sama. Misalnya, pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai ketentuan, fiktif. Selain itu juga terjadinya mark up anggaran, mulai dari proses perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat hingga memasukkan program yang sifatnya mengarah pada kepentingan pribadi.
Modus korupsi
Sebagai seorang Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP), saya mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi aparatur dalam melakukan penyelewengan dana desa, sehingga modusnya menjadi sangat beragam. Salah satunya adalah terbukanya peluang penyelewengan akibat pengawasan masyarakat yang lemah, sehingga berbagai metode penyelewengan terjadi.
Seperti halnya korupsi yang dilakukan dengan membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar. Cara ini terjadi karena kong kalikong antara aparatur dengan konsultan perencana, sehingga penggelembungan harga pun terjadi. Pada proses ini, pengawasan tidak maksimal dilakukan, sehingga terbuka ruang mark up yang berpotensi pada kerugian desa secara menyeluruh. Ini pola awal yang bisa terlihat.
Modus lainnya adalah, sisa dana yang terpakai sementara, atau meminjam tanpa mengembalikan kepada rekening kas desa. Ini juga terjadi dan sulit terendus, karena faktor hana mangat jika persoalan ini ditanyakan. Pungutan dan pemotongan lainnya dengan berbagai modus, baik oleh oknum tertentu di level kecamatan maupun dengan dalih pelaksanaan program peningkatan kapasitas serta studi banding. Ini juga terendus ada indikasi penyelewengan dana desa masuk dalam kantong pribadi.
Jika dilihat sejak diberlakukannya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, maka ada tiga kelemahan pengawasan yang bisa disimpulkan secara garis besar: Pertama, lemahnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD), ini terlihat dari tingkat kapasitas BPD yang masih belum mamahami secara detail dan menyeluruh mengenai mekanisme pengelolaan dana desa.
Kedua, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang ada di desa tidak efektif mengambil peran pengawasan. Apalagi desa yang sama sekali belum adanya lembaga-lembaga pemberdayaan, ini akan menjadi lebih mudah terbukanya peluang penyalahgunaan keuangan desa. Termasuk lemahnya asistensi lembaga pengawasan di tingkat kabupaten. Dan, ketiga, menjadi penentu lemahnya pengawasan akibat budaya kita yang masih feodalistik serta masih mengakar di kalangan masyarakat desa. Jika ada tokoh dan warga yang melakukan pengawasan, maka dengan mudah menjadi lawan atau “musuh” bersama dengan perangkat atau kelompok lainnya.
Kondisi ini membuat sebagian warga akan bersikap pesimis, lalu tidak aktif menjadi kontrol dan pengawasan yang seharusnya menjadi milik warga. Kondisi feodalisme ini kerap berimbas kepada persoalan sosial lainnya. Sehingga penerapan Pasal 68 UU No.6 Tahun 2014 yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan perlu dilibatkan dalam pembangunan desa tidak berjalan maksimal.
Padahal dalam kontek ini, pelibatan masyarakat menjadi faktor penting dan mendasar karena mereka bagian yang paling mengetahui kebutuhan di desa secara langsung, baik pemetaan kebutuhan, perencanaan, pengelolaan hingga pertanggungjawaban.
Upaya pencegahan
Berbagai upaya pencegahan korupsi dana desa perlu diupayakan oleh berbagai pihak. Paling tidak, tiga tahun pertama dapat menjadi pelajaran awal untuk meminimalisir potensi kerugian keuangan negara pada tahun berikutnya. Untuk itu, selain melibatkan warga desa lebih pro-aktif dan diberikan kewenangan dalam pengawasan, juga diberikan peningkatan kapasitas kepada BPD atau lembaga pemberdayaan yang ada di desa.
Selain itu, peningkatan penguatan lainnya diberikan kepada aparatur pemerintahan dan pengelola teknis yang terkait dengan keuangan desa. Termasuk penguatan untuk memantapkan dan sosialisasi regulasi terkait dengan dana desa.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu juga diberikan fasilitas dan difasilitasi mengenai bantuan pengamanan, jika ada tindakan maupun laporan terkaitan adanya indikasi penyelewengan. Selanjutnya, ruang fasilitasi penanganan masalah dan penegakan hukum terhadap pengelolaan dana desa. Hal ini terkait juga dengan informasi dan peraturan data dana desa.
Untuk yang terakhir, keterbukaan akses informasi terkait dana desa harus terpublikasi dengan detail. Ini berkaitan dengan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU ini memang dibuat dengan tujuan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif, efisien, bersih, dan akuntabel, yang dirancang untuk mencegah korupsi di lingkungan badan publik pemerintahan desa. Semoga!
* Andi Firdhaus Lancok, Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP) pada Program Pemberdayaan dan Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD) Aceh. Email: andi.firdaus@gmail.com
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Pola Korupsi dan Pengawasan Dana Desa, http://aceh.tribunnews.com/2018/07/19/pola-korupsi-dan-pengawasan-dana-desa?page=2.
Editor: bakri
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.