Oleh : Sutoro Eko Begitu membaca perintah padat karya dalam proyek dana desa, saya langsung mengingat kembali pengalaman 29 tahun silam. Sel...
Oleh : Sutoro Eko
Begitu membaca perintah padat karya dalam proyek dana desa, saya langsung mengingat kembali pengalaman 29 tahun silam. Selepas lulus SMA pada tahun 1988, saya ikut bekerja sebagai buruh dalam proyek pembangunan saluran/selokan irigasi yang membentang panjang dari Waduk Gajah Mungkur Wonogiri menuju Sukoharjo dan Klaten. Meski termasuk berskala besar, namun proyek irigasi teknis itu tetap ditempuh dengan padat karya, sebagai bentuk katup pengaman bagi rakyat, yakni dengan membuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang desa yang bekerja srabutan maupun pengangguran. Lumayan, setelah bekerja selama 30 hari, saya memperoleh upah sebesar Rp 60.000,-, lalu saya pakai sangu untuk berangkat sekolah ke Bulaksumur.
Sayang, dari awal sampai sekarang, selokan irigasi itu tidak bersfungsi secara baik seperti yang diproyeksikan sejak awal, jika tidak bisa disebut “istana pasir”. Ini berbeda dengan Selokan Mataram di DIY. Yang di wilayah Klaten, selokan sudah lama mangkrak, tidak berfungsi, tanpa air yang mengalir. Ada dua masalah yang hadir sebagai penyebab. Pertama, kelayakan teknis yang lemah. Di banyak titik dan tempat, air tidak bisa dimanfaatkan untuk mengairi sawah. Selokan yang terpotong sungai, seperti perbatasan antara Sukoharjo dan Klaten, tidak sanggup mengalirkan air melewati sungai. Kedua, salah urus institusi. Sejak awal distribusi air tidak merata dan adil. Pihak-pihak yang di atas menyedot air secara berlebihan, sehingga yang di bawah hanya memperoleh sisanya-sisa. Tidak jarang pembagian air itu menimbulkan sengketa antarpetani. Pada tahun 2001, saya menyaksikan sejumlah kepala desa berunding untuk mengatasi sengketa pembagian air. Tetapi upaya ini tidak membuahkan hasil secara permanen. Karena saluran irigasi melintasi kecamatan dan kabupaten, maka kerjasama antar kepala desa sulit mengatasi masalah. Intinya, tidak ada institusi pemegang otoritas dan akuntabilitas, yang hadir untuk mengatur, mengurus, merawat dan membagi air dengan baik.
Tenyata membangun irigasi lebih mudah ketimbang membangun institusi yang mengatur, mengurus dan mengelola irigasi. Ini sering disebut salah urus. Atau, menurut cara pandang saya, salah urus itu relevan dengan jungkir balik pendekatan teknis dalam pembangunan. Irigasi, sebagai domain teknis, tidak diselesaikan dengan teknis secara detail dan sempurna. Sebaliknya pendekatan teknis (teknikalisasi) malah dominan di ranah politik, manusia dan institusi, yang menjelma menjadi teknokrasi.
Sumber : Facebook SutoroEko tanggal 05 November 2017
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.