Oleh : Sutoro Eko *Untuk semua, khusus untuk seorang sahabat. Dipengaruhi oleh para ilmuwan sosial yang antipolitik, para birokrat lebih ban...
Oleh : Sutoro Eko
*Untuk semua, khusus untuk seorang sahabat.
Dipengaruhi oleh para ilmuwan sosial yang antipolitik, para birokrat lebih banyak bicara masyarakat ketimbang bicara rakyat. Hanya segelintir birokrat idealis yang suka bicara rakyat, dengan intonasi yang lantang bertenaga. Mengapa demikian? Konsep masyarakat direproduksi bukan tanpa makna. Sebagai konsep antipolitik, masyarakat digunakan untuk menyembunyikan subyek politik, sekaligus untuk menghindari keberpihakan pada rakyat.
Segelintir birokrat yang sukses berkarir menjadi politisi eksekutif tampaknya mulai insyaf secara politik. Mereka mulai menanggalkan konsep masyarakat dan beralih bicara konsep rakyat. Politisi eksekutif kadang bicara masyarakat ketika memberi sambutan resmi, yang membacakan naskah pidato buatan para staf atau pejabat. Mereka banyak bicara konsep rakyat karena mereka hadir menjadi orang mulia berkat rakyat. Mereka juga banyak merepresentasikan kepentingan rakyat dalam kebijakan, agar senantiasa dicintai rakyat. Kalau kebijakan mereka itu berdampak baik pada rakyat, hal itu merupakan bonus.
Dalam dunia politik-pemerintahan, bicara konsep rakyat tentu jauh lebih baik ketimbang konsep masyarakat, tetapi yang terbaik adalah konsep warga. Kelak republik ini harus move on ke konsep kewargaan. Warga bukan sekadar identitas yang dibubuhkan dalam KTP. Warga adalah orang yang ditempatkan sebagai pribadi yang utuh, sebagai pemilih absah atas negara. Basis kepemilikan negara ini adalah hak dan kewajiban.
Warga memiliki negara, negara memiliki warga. Politisi memiliki rakyat, rakyat memiliki politisi. Birokrat mengatur, mengendalikan dan melayani masyarakat, tetapi masyarakat tidak bisa berbuat banyak kepada birokrat.
Konsep warga sungguh mampu melampaui konsep bangsa, rakyat dan masyarakat. Bangsa adalah sebuah imajinasi kolektif yang diikat dengan nama Indonesia beserta sejarah, simbol-simbol dan nilai. Tetapi imajinasi bangsa itu sulit dibangun sekalipun menggunakan indoktrinasi wawasan kebangsaan. Sebab setiap komponen memiliki identitas parokhial yang begitu kuat, yang kerap dihadirkan untuk representasi politik dan pertarungan politik. Ketimbang melakukan indoktrinasi wawasan kebangsaan yang akan terus menyajikan beban sejarah, lebih baik move on menuju visi dan kebajikan kewargaan. Melampaui identitas bangsa yang terus dipertengkarkan, warga dirajut atas dasar persamaan hak kewajiban di hadapan negara. Warga adalah pemilik absah republik yang tidak lagi membedakan identitas bawaan yang sulit move on menjadi bangsa.
Itu bukan hanya teori. Kesulitan membangun bangsa bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dihadapi oleh banyak negeri yang punya kemajemukan identitas. Sebagai contoh, dulu PM Singapura, Lee Kuan Yew, berujar bahwa identitas Singapura bukan masa lalu tetapi masa depan. Identitas masa depan itu adalah warga, tanpa membedakan ras China, India dan Melayu.
Kebajikan kewargaan tidak cukup hanya dengan retorika seperti retorika kebangsaan. Inti kewargaan adalah kehadiran negara menjaga dan mewujudkan hak dan kewajiban warga, sekaligus partisipasi dan emansipasi warga dalam setiap urusan (re)publik. Ingatlah petuah filsof Prancis abad pencerahan, JJ Rousseasu: "Manusia terkuat sekalipun tidak pernah sanggup menjadi penguasa abadi, kecuali ia mengubah kekuatan menjadi hak dan kepetahan menjadi kewajiban".
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.