Oleh : Sutoro Eko Pertama, alokasi dana desa (ADD) dan dana desa (DD) tidak boleh diklaim secara tunggal sebagai “uang negara”, melainkan j...
Oleh : Sutoro Eko
Pertama, alokasi dana desa (ADD) dan dana desa (DD) tidak boleh diklaim secara tunggal sebagai “uang negara”, melainkan juga “uang warga” atau “uang rakyat”. Desa yang menjadi beban negara, maupun orang desa yang tidak pernah membayar pajak sekalipun, mempunyai hak atas uang warga atau uang rakyat yang dikumpulkan negara dan diklaim sebagai uang negara itu. Dana Desa bukanlah proyek pemerintah, melainkan merupakan dana transfer yang menjadi hak dan kewajiban desa.
Kedua, ADD dan DD merupakan wujud “politik perubaban”, bukan “teknokrasi penyelamatan”. Cara pandang “teknokrasi penyelamatan” selalu berpikir secara sempit sebatas uang, yang harus dijaga dan diselamatkan dengan payung akuntabilitas. Karena khawatir dan tidak percaya akan efektivitas yang rendah dan risiko yang tinggi, maka cara pandang “teknokrasi penyelamatan” hanya berpikir dan bekerja dengan pengawasan dan pelaporan. Sebaliknya cara pandang “politik perubahan” memandang bahwa ADD dan DD merupakan wujud resolusi perubahan menuju desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis.
Ketiga, teknologi adalah perangkat untuk memfasilitasi perubahan, bukan sebagai teknokrasi yang menghambat perubahan. Silakan perlakukan Siskeudes sebagai teknologi, bukan sebagai teknokrasi, apalagi sebagai regulasi.
Keempat, teknologi merupakan pilihan manusia, bukan paksaan. teknologi adalah kreasi manusia yang patut dihargai, dan tentu kreasi itu sangat beragam dan kompetitif. Tidak boleh ada monopoli teknologi secara tunggal, seraya meggunakan kekuasaan untuk menghadang kreasi teknologi yang lain. Manusia mempunyai hak untuk memilih atau menolak teknologi. UU Desa juga sama sekali tidak memaksa desa menggunakan teknologi tertentu, malah memberi ruang dan kewenangan kepada kepala desa menggunakan dan mengembangkan teknologi tepat guna. Desa tentu berhak mengembangkan teknologi keuangan desa sendiri, atau mengadaptasi kreasi teknologi lain yang dianggap relevan dengan konteks dan pilihan desa. Karena itu, Siskeudes tidak boleh dipaksa sebagai teknologi tunggal, dan tidak boleh dipaksa secara seragam ke seluruh desa. Silakan desa dikasih ruang untuk memilih, apakah menggunakan teknologi atau tidak, serta menggunakan Siskeudes atau perangkat lain.
Kelima, orang yang mabuk teknologi pasti antisosial dan antidesa, sebaliknya orang yang anti teknologi pasti akan ditelan oleh kemajuan zaman. Desa sebaiknya memperoleh edukasi dan dorongan untuk memanfaatkan teknologi, tetapi jangan dipaksa untuk mabuk teknologi.
Keenam, yang simpel tidak tepat, yang rumit tidak berguna. Atas nama akuntabilitas dan menyelamatkan uang negara, rezim keuangan sengaja dibuat rumit, dan karena itu tidak berguna untuk “politik perubahan” desa. Sebaliknya yang terlalu simpel, pasti tidak tepat, karena tidak memberi edukasi, melainkan hanya menyenangkan desa, tetapi tidak menolong desa.
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.