Sejak Aliansi Forum Pendamping Dana Desa (AFPDS) melakukan aksi damai di depan Istana Negara dan dilanjutkan ke depan Gedung MPR-DPR R...
Sejak Aliansi Forum
Pendamping Dana Desa (AFPDS) melakukan aksi damai di depan Istana Negara
dan dilanjutkan ke depan Gedung MPR-DPR RI, 23 Maret lalu, kisruh
terkait pendamping dana desa tampaknya semakin memanas. AFPDS, yang
merupakan tenaga pendamping dana desa yang berasal dari Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MPd), menuduh bahwa
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tidak
becus menjalankan amanah implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa.
Setidaknya, ada dua hal besar yang menjadi pemicu kisruh ini terjadi. Pertama, proses rekrutmen pendamping desa yang dianggap penuh kecurangan dan berbau KKN. Kedua, adanya rencana seleksi ulang bagi para pendamping dan tenaga ahli dengan latar belakang PNPM Mandiri yang akan berakhir masa kontraknya pada 31 Maret 2016.
Untuk yang pertama, penulis sangsi kalau dalam pelaksanaan rekrutmen pendamping desa banyak terjadi kecurangan dengan meloloskan orang-orang yang tidak kompeten dan tidak memenuhi kualifikasi yang berasal dari organisasi penulisp Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tempat Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi bernaung. Di era digital sekarang, di mana semua orang bisa berbicara, bahkan memaki presiden sudah menjadi hal biasa, informasi mudah tersebar ke jaring-jaring media online dan media sosial, sangat naïf apabila Kementerian Desa melakukan hal yang dituduhkan. Terlalu besar taruhannya: Jabatan Menteri Desa yang dipegang kader PKB terancam lepas.
Namun, mengabaikan suara-suara sumbang terkait proses rekrutmen yang dinilai tidak transparan, tidak sesuai prosedur dan sarat KKN, yang berseliweran hingga menembus tembok istana, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bantahan para pejabat di Kementerian Desa tidak cukup mampu meredamnya. Perlu ada proses klarifikasi yang dilakukan oleh pihak netral yang ditugaskan Presiden langsung agar isunya tidak berkembang dan dimainkan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan.
Penulis yakin, Presiden Joko Widodo akan sangat responsif terhadap isu yang menggangu pelaksanaan Nawacita ketiganya. Apalagi, Menseskab Pramono Anung telah berjanji kepada perwakilan pengunjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada Presiden.
Mengenai yang kedua, yaitu seleksi ulang pendamping dan tenaga ahli dengan latar belakang PNPM MPd, kegelisahan para pendamping dana desa eks PNPM MPd terkait rencana rekrutmen setelah berakhir masa kontrak beberapa hari ke depan menarik untuk diulas. Selintas, tampak mereka minta diistimewakan. Tentu ada alasan ketika mereka menuntut privilege tersebut. Proses rekrutmen yang tidak mereka percayai akan berlangsung fair, sebagaimana isu pertama di atas, menjadi salah satu alasannya.
Namun, sebelum lebih lanjut membahas masalah ini, penulis terlebih dulu ingin mengulas tentang PNPM. Hal ini penting, karena dari kisruh yang terjadi, "serangan" kemudian dialamatkan ke PNPM. Banyak pengamat yang kemudian memojokkan PNPM. Sebagai pelaku PNPM, penulis merasa perlu untuk memberi penjelasan tentang PNPM dan pandangan pribadi tentang kisruh yang terjadi.
Metamorfosis PPK menjadi PNPM
Setidaknya, ada dua hal besar yang menjadi pemicu kisruh ini terjadi. Pertama, proses rekrutmen pendamping desa yang dianggap penuh kecurangan dan berbau KKN. Kedua, adanya rencana seleksi ulang bagi para pendamping dan tenaga ahli dengan latar belakang PNPM Mandiri yang akan berakhir masa kontraknya pada 31 Maret 2016.
Untuk yang pertama, penulis sangsi kalau dalam pelaksanaan rekrutmen pendamping desa banyak terjadi kecurangan dengan meloloskan orang-orang yang tidak kompeten dan tidak memenuhi kualifikasi yang berasal dari organisasi penulisp Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tempat Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi bernaung. Di era digital sekarang, di mana semua orang bisa berbicara, bahkan memaki presiden sudah menjadi hal biasa, informasi mudah tersebar ke jaring-jaring media online dan media sosial, sangat naïf apabila Kementerian Desa melakukan hal yang dituduhkan. Terlalu besar taruhannya: Jabatan Menteri Desa yang dipegang kader PKB terancam lepas.
Namun, mengabaikan suara-suara sumbang terkait proses rekrutmen yang dinilai tidak transparan, tidak sesuai prosedur dan sarat KKN, yang berseliweran hingga menembus tembok istana, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bantahan para pejabat di Kementerian Desa tidak cukup mampu meredamnya. Perlu ada proses klarifikasi yang dilakukan oleh pihak netral yang ditugaskan Presiden langsung agar isunya tidak berkembang dan dimainkan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan.
Penulis yakin, Presiden Joko Widodo akan sangat responsif terhadap isu yang menggangu pelaksanaan Nawacita ketiganya. Apalagi, Menseskab Pramono Anung telah berjanji kepada perwakilan pengunjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada Presiden.
Mengenai yang kedua, yaitu seleksi ulang pendamping dan tenaga ahli dengan latar belakang PNPM MPd, kegelisahan para pendamping dana desa eks PNPM MPd terkait rencana rekrutmen setelah berakhir masa kontrak beberapa hari ke depan menarik untuk diulas. Selintas, tampak mereka minta diistimewakan. Tentu ada alasan ketika mereka menuntut privilege tersebut. Proses rekrutmen yang tidak mereka percayai akan berlangsung fair, sebagaimana isu pertama di atas, menjadi salah satu alasannya.
Namun, sebelum lebih lanjut membahas masalah ini, penulis terlebih dulu ingin mengulas tentang PNPM. Hal ini penting, karena dari kisruh yang terjadi, "serangan" kemudian dialamatkan ke PNPM. Banyak pengamat yang kemudian memojokkan PNPM. Sebagai pelaku PNPM, penulis merasa perlu untuk memberi penjelasan tentang PNPM dan pandangan pribadi tentang kisruh yang terjadi.
Metamorfosis PPK menjadi PNPM
Perjalanan panjang PNPM dimulai dari pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), sejak dari pilot project tahun 1997 hingga 2007, dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang dimulai dari 1999 hingga 2007. PNPM Mandiri diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 30 April 2007 di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Program ini merupakan pengembangan yang lebih luas (scaling up) dari program-program penanggulangan kemiskinan pada era-era sebelumnya.
PNPM Mandiri digagas untuk menjadi payung (koordinasi) dari puluhan program penanggulangan kemiskinan dari berbagai departemen yang ada pada saat itu, khususnya yang menggunakan konsep pemberdayaan masyarakat (community development) sebagai pendekatan operasionalnya. Pilar utama PNPM Mandiri adalah PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM MPd), yang merupakan pernyempurnaan dari PPK, dan PNPM Mandiri Perkotaan, yang merupakan penyempurnaan dari P2KP.
Kedua progam tersebut merupakan program inti (core). Artinya, program yang membangun sistem, proses, dan prosedur, serta wadah bagi pemberdayaan masyarakat di setiap desa. Sejak 2008, program inti bertambah menjadi lima dan pemerintah juga menambahkan program-progam lain yang dikelompokkan dalam PNPM yang bersifat sektoral. Selain itu, terdapat pula PNPM yang skema kegiatannya terfokus pada kelompok sasaran tertentu yang ditambahkan pada PNPM inti, seperti PNPM Generasi Sehat dan Cerdas (GSC), yang merupakan program pendukung PNPM MPd.
Lima Keunggulan
Sebagai konsultan PPK dan kemudian PNPM MPd serta terakhir di GSC, penulis menilai bahwa setidaknya ada lima hal yang menjadi keunggulan PPK, yang menjadikan program ini pantas untuk dicontoh dan diangkat Presiden SBY menjadi program nasional untuk penanggulangan kemiskinan:
Pertama, alokasi dana simpan pinjam untuk kelompok perempuan (SPP). Dana bantuan langsung masyarakat (BLM), salah satunya, digunakan untuk membiayai kegiatan SPP. Konsepsi SPP menurut penulis sangat luar biasa. SPP dirancang agar para perempuan di desa mempunyai solusi cepat atas masalah keuangan dalam rumah tangganya dan terhindar dari jerat rentenir. Istilah yang digunakan adalah mendekatkan "bank" kepada masyarakat miskin.
Pilihan hanya kepada kelompok perempuan didasarkan pada penilaian bahwa perempuan dianggap paling miskin di antara yang miskin karena peran gandanya dalam rumah tangga. Sebagai pengatur pengeluaran rumah tangga, perempuan sering dihadapkan pada kenyataan bahwa dia tidak mempunyai uang untuk membayar anak sekolah, biaya berobat, atau bahkan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Karena itulah SPP dihadirkan dengan memberdayakan kelompok-kelompok perempuan yang ada di desa untuk membuat kegiatan simpan pinjam.
Cikal bakal kelompok-kelompok itu bisa dari kelompok pengajian, arisan, dan lain-lain, yang memiliki kegiatan simpan pinjam. Kelompok-kelompok ini diberdayakan dan diberikan pinjaman modal agar menjadi berkembang. Kegiatan simpan pinjam dalam kelompok SPP ini yang kemudian menjadi tumpuan anggota ketika secara mendadak membutuhkan uang untuk kebutuhan rumah tangganya.
Tidak banyak yang tahu tentang konsepsi awal dari SPP, karena memang kegiatan SPP yang berjalan tidak sebagaimana konsep di atas. Bukan karena adanya distorsi pemahaman, tapi memang konsep itu sulit dijalankan karena di semua desa hampir tidak ditemukan kelompok perempuan yang memiliki kegiatan simpan pinjam. Akhirnya, proses pendampingan dilakukan dengan mengadvokasi para perempuan berhimpun membangun kelompok simpan pinjam.
Pinjaman kemudian diberikan langsung kepada individu dalam kelompok, namun pengembalian dilakukan melalui kelompok dengan memperbolehkan kelompok menambah bunga selain bunga yang dikembalikan kepada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) guna pemupukan modal kelompok.
Dari kegiatan SPP yang berkembang di lapangan, program membedakan kelompok SPP menjadi dua, yaitu kelompok channeling dan kelompok executing. Sebagaimana diharapkan dalam penyusunan awal konsep kegiatan SPP, keberadan kelompok executing akan menjadi jawaban anggota kelompok yang terjepit masalah keuangan.
Kedua, pandangan terhadap pengaduan dan masalah. Pengaduan dan masalah dalam PPK bukanlah hal yang tabu untuk diungkap dan diekspose. Program menyediakan PO Box khusus bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduan. Belakangan, pengaduan juga bisa disampaikan melalui fasilitatas SMS Gateway. Selain itu, secara khusus, PPK melibatkan LSM dan media massa untuk melakukan kegiatan pemantauan. BPKP juga dilibatkan untuk melakukan audit program.
Ketiga institusi tersebut sengaja dilibatkan untuk melihat, melaporkan, dan mengekspose penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan program. Ditambah dengan aktivitas supervisi dan monitoring konsultan dan fasilitator PPK, tercatat ada ribuan peyimpangan dalam matriks masalah PPK. Kondisi ini tidak lantas menjadikan pelaksana program kebakaran jenggot. Justru hampir 70% masalah yang ada, ditemukan dan diungkap oleh fasilitator dan konsultan PPK sendiri. Tentu ini sangat berbeda dengan program lain. Pelaksana program tidak akan pernah mengungkap boroknya sendiri.
Dalam PPK, masalah tidak pernah dipandang sebagai hal yang memalukan dan akan merusak citra program. Sebaliknya, PPK sebagai sebuah program pemberdayaan dianggap tidak akan pernah berhasil mencapai tujuannya tanpa adanya masalah dalam pelaksanaan programnya. Karena, masalah adalah wahana bagi pemberdayaan itu sendiri.
Proses-proses penanganan masalah menjadi ruang advokasi masyarakat. Penanganan masalah prinsip dan prosedur serta intervensi negatif contohnya. Kedua kategori masalah tersebut mensyaratkan untuk mengulang kegiatan apabila diketahui telah menyimpang dari prinsip dan prosedur atau karena adanya intervensi dari para elite.
Namun, apabila tidak memungkinkan kegiatan diulang, masyarakat harus dipahamkan bahwa kegiatan yang sudah dilakukan menyalahi prinsip dan prosedur atau telah diintervensi elite sehingga hal yang sama tidak boleh terjadi lagi di masa yang akan datang. Dari sini ruang advokasi terbuka lebar melalui proses pemahaman tentang prinsip-prinsip dan prosedur yang memang dirancang agar program dilaksanakan secara transparan, akuntabel dan melibatkan partisipasi seluruh masyarakat, terutama perempuan, masyarakat miskin, dan kaum marginal.
Ketiga, kultur dan norma yang berlaku bagi pelaku program. PPK mengatur kode etik yang menjadi norma, nilai, dan aturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh konsultan dan fasilitator. Pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran kode etik ini tidaklah main-main. Tidak ada grade pelanggaran kode etik yang akan membedakan bentuk hukuman. Besar maupun kecil pelanggaran yang dilakukan maka hukumannya adalah sama, yaitu PHK.
Selama PPK berjalan, tidak kurang 200 orang konsultan dan fasilitator yang terkena PHK. Ada yang karena menggunakan uang (mengambil atau meminjam) atau menjadi supplier barang untuk kegiatan PPK di desa. Beberapa orang juga tercatat terkena PHK hanya karena membiarkan dan tidak melaporkan pelanggaran kode etik yang diketahuinya dilakukan oleh rekan fasilitatornya.
Selain itu, konsultan dan fasilitator juga dilarang untuk terlibat dalam politik praktis. Konsultan dan fasilitator yang ketahuan menjadi anggota partai politik atau terlibat dalam kegiatan politik, misalnya menjadi tim sukses salah calon gubernur, bupati, atau wali kota, akan terkena sanksi PHK.
Keempat, seratus persen bantuan langsung masyarakat (BLM) turun ke masyarakat. Salah satu keunggulan PPK adalah penyediaan dana blockgrant sebagai dana BLM yang ditransfer langsung dari pusat, tanpa melalui birokrasi yang panjang/ berjenjang dari nasional, provinsi, dan kabupaten, sebagaimana lazim terjadi pada masa Orde Baru. Mekanisme penyaluran dana BLM dirancang sedimikian rupa sehingga tidak ada celah birokrat turut "menikmati" dana yang diperuntukkan bagi masyarakat tersebut.
Dana program langsung masuk ke dalam rekening UPK dan kemudian disalurkan kepada rekening tim pelaksana kegiatan (TPK) di desa untuk digunakan membiayai kegiatan yang telah direncanakan secara partisipatif bersama masyarakat desa. Tidak ada potongan dan pungli di dalamnya. Jika diibaratkan sebuah batu, dana BLM PPK adalah batu kali yang apabila dibawa dari pusat tetap berbentuk batu kali ketika sampai ke desa, bukan batu es di mana ketika sampai di desa, masyarakat hanya mendapat sisa lelehannya.
Kelima, hasil program. PPK adalah program pemerintah yang banyak dicontoh dan diadopsi. Tidak saja oleh pemerintah daerah, tapi juga oleh negara lain. Hasil pembangunan infrastruktur, yang secara spesifikasi dan kualitas sama dengan proyek infrastruktur yang dibangun oleh kontraktor, namun dengan nominal yang jauh lebih murah, bahkan tiga kali lipat lebih rendah dari yang biasa dibangun kontraktor, menjadi salah satu alasan mengapa PPK banyak direplikasi menjadi program pemerintah daerah.
Proses perencanaan yang partisipatif, taat pada prinsip, prosedur, dan aturan progam yang kemudian menghasilkan kegiatan-kegiatan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dalam mengatasi masalah hidupnya, menjadi hal yang menarik banyak negara untuk belajar dan membuat program semacam PPK. Tercatat ada banyak negara yang datang, seperti Bangladesh, Pakistan, Afghanistan, India, Srilanka, Filipina, dan beberapa negara lainnya. Bahkan, Filipina berkali-kali mengirimkan ahli-ahinya untuk belajar tentang PPK. Konon, ketika bertemu dengan Presiden Megawati, Presiden Filipina Cory Aquino secara khusus menyampaikan kekaguman karena Indonesia mempunyai program yang bagus seperti PPK dan berterima kasih karena negaranya banyak belajar dari program tersebut.
Untuk masyarakat desa sendiri, secara umum, hasil PPK tentu sangat dirasakan manfaatnya, walaupun harus diakui ada beberapa hasil dari kegiatan PPK yang mengecewakan dan tak termanfaatkan. Banyak kegiatan PPK yang hasilnya spektakuler dan mencengangkan. Tapi, satu kelemahan dari pelaksana progam, termasuk penulis, kurang mampu mendokumentasikan dan menampilkan kisah sukses PPK ke banyak pihak di negeri ini.
Penulis sendiri pernah sangat takjub pada kegiatan penyediaan sarana air bersih di suatu desa di atas bukit yang penulis tak ingat lagi namanya, di satu kecamatan di Kabupaten Dompu, NTB, dengan cara mengalirkan air dari sumber mata air dari desa lain di kaki bukit. Air dialirkan melalui pipa-pipa yang disanggah tiang-tiang bambu melewati jalanan menanjak ke arah bukit dan berkelok dengan jarak tak kurang dari dua kilo meter.
Logika awam penulis tak mampu mencerna penjelasan tentang teknologi yang digunakan fasilitator PPK setempat untuk mengalirkan air tersebut. Hanya satu yang penulis tahu, air itu benar-benar mengalir dan memberikan kebahagiaan pada penduduk desa di atas bukit karena penantian berpuluh-puluh tahun lamanya tunai sudah.
Seorang ibu setengah baya bercerita dengan haru, sejak 70-an mereka mengusulkan penyediaan air bersih kepada pemerintah. Namun, baru di tahun 2006 terlaksana berkat PPK. Sayangnya, cerita ini mengendap di ingatan penulis saja. Dalam database PPK, kegiatan ini hanya tercatat sebagai kegiatan penyediaan sarana air bersih, tidak lebih dan tidak kurang. Penulis berharap, semoga saja air tetap menggalir hingga sekarang.
Dari PPK ke PNPM
Lantas bagaimana ketika PPK berganti dengan PNPM MPd? Secara konsep, tidak banyak yang berubah. Alur dan tahapan kegiatan pun masih sama. Hanya cakupan wilayah dan nilai BLM yang samakin besar jumlahnya yang membedakan. Kalau diukur dengan lima keunggulan PPK, penulis menilai terjadi penuruan pada poin kedua. Pandangan pelaksana program terhadap pengaduan dan masalah telah berubah. Penanganan masalah sebagai wahana pemberdayaan kurang dimanfaatkan. Masalah penyimpangan prinsip dan prosedur serta intervensi negatif sudah tidak banyak, bahkan tidak dilaporkan lagi. Ruang advokasi yang tersisa hanya pada proses penanganan masalah penyimpangan dana saja.
Selain penuruan nilai di satu poin di atas, empat keunggulan PPK lainnya menurut penulis tetap menjadi keunggulan PNPM MPd. SPP, meskipun tidak banyak terbentuk kelompok executing, pemupukan modal di UPK yang mencapai 12 Triliun di seluruh Indonesia adalah hal yang membanggakan. Tidak ada satupun program kegiatan dana bergulir yang pernah dilaksanakan pemerintah tetap eksis dan berjalan hingga sekarang seperti yang terjadi di PNPM MPd. UPK, meskipun berada di kecamatan, dananya cukup mudah diakses kelompok SPP di desa.
Kode etik fasilitator dan konsultan tetap tajam. Sanksi PHK bagi pelanggaran kode etik tetap tegas dilaksanakan. BLM tetap seperti batu kali. Entah PNPM mana yang dimaksudkan Adhie Massardie yang menuding bahwa dana PNPM didesain untuk menjadi bancakan sejak awal dan menjadi lahan korupsi di segala level. Yang penulis tahu pasti, dana PNPM MPd, sejak bernama PPK , dari zaman Presiden Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan terakhir Jokowi, tidak pernah berubah dari batu kali menjadi batu es.
Penulis tidak menampik bahwa tidak ada penyelewengan dana yang dilakukan baik oleh fasilitator maupun pelaku dari unsur masyarakat. Tapi penyelewengan di sini masih pada tahap wajar dan apabila dikalkulasi dari dana keseluruhan PNPM yang turun dari pemerintah, jumlahnya tidak lebih dari 1%. Terkait dana Rp. 12 triliun milik UPK, adalah merupakan dana hibah pemerintah ke masyarakat untuk kegiatan SPP yang alokasinya 10% dan meningkat menjadi 25% dari keseluruhan total BLM yang masuk ke kecamatan. Jika dananya terhimpun menjadi sebesar sekarang, itu merupakan buah keberhasilan pengelolaan kegiatan SPP. Dana ini bukan milik pemerintah, tapi seluruh masyarakat kecamatan.
Terkait hasil program, lihatlah ke desa-desa di seluruh Indonesia tercinta ini. Akan mudah ditemukan prasasti-prasasti di depan jalan, jembatan, bangunan sekolah, bangunan untuk layanan kesehatan, dan banyak bangunan infrastruktur lainnya bertuliskan PNPM Mandiri Perdesaan. Prasasrati-prasasti itu membuktikan negara hadir di desa. Memanusiawikan masyarakat desa dengan pembangunan yang mereka rencanakan dan laksanakan sendiri. Penantian panjang terhadap usulan pembangunan yang tak kunjung terwujud, meskipun melewati mekanisme Musrenbang, dijawab dengan kehadiran PNPM. Dan, PNPM seperti manjadi mantra sakti bagi masyarakat desa untuk mengubah nasibnya; jalanan menuju akses produksi, sarana dan prasarana kesehatan masyarakat, ruang-ruang sekolah, jembatan penghubung, adalah sebagian kecil kegiatan PNPM yang mampu mengubah masyarakat desa menjadi lebih sejahtera.
Perahu PNPM
Setelah 8 tahun PNPM berjalan dan ditambah 10 tahun pelaksanaan PPK, sudah waktunya PNPM naik peraduan. PNPM harus berakhir, bukan karena memang secara keproyekan berakhir pada 2015, tetapi harus berakhir agar ada ruang untuk me-recharge makna pemberdayaan yang hakiki, yang mungkin akan luntur apabila aktivitas pendampingan sudah seperti sebuah rutinitas yang dihapalkan.
Karena program terlalu lama dijalankan, roh pemberdayaan bisa menjadi luntur dan kegiatan pemberdayaan menjadi tak bermakna. Harus ada ruang juga untuk me-recheck apakah proses pemberdayaan yang terjadi selama ini telah memperkuat atau melemahkan modal sosial yang ada di masyarakat.
Implementasi UU Desa (UU No. 6/2014) menjadi momentum berakhirnya PNPM. Sesungguhnya, diakui atau tidak, pelaksanaan PNPM menjadi inspirasi bagi para penggagas UU Desa dalam merumuskan UU tersebut. Pengakuan tidak malu-malu disampaikan Budiman Sudjatmiko, inisiator UU Desa, yang menegaskan bahwa pemberdayaan dalam PNPM menjadi rujukan para legislator di Komisi II DPR dalam membuat UU Desa. Menurutnya, UU Desa merupakan PNPM plus. Plus karena dari segi besaran anggaran dan berkesinambungan karena UU harus dijalankan siapa pun yang berkuasa.
Selain pernyataan Budiman, dari ruang-ruang publik yang selama ini penulis ikuti, senyatanya UU Desa memang disiapkan sebagai pelabuhan terakhir dari perjalanan panjang PNPM (Perdesaan). Perahu untuk ke sana telah lama dipersiapkan. Terakomodasinya syarat pendamping dana desa harus memiliki sertifikasi kompetensi yang tertuang dalam Pasal 129 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa salah satu contohnya.
Sebagaimana diketahui, pelaku PNPM MPd di tingkat pusat, yang dimotori Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa (Ditjen PMD) Kemendagri, dan Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI) serta didukung pendanaannya oleh World Bank, telah menginisiasi pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (BNSP).
Terlepas dari pro dan kontra terhadap perlu tidaknya fasilitator disertifikasi, karena masih menyisakan perdebatan apakah fasilitator adalah sebuah profesi atau bukan, ide pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (LSP-FPM) patut diapresiasi. Pengalaman selama mengelola PPK dan PNPM MPd yang harus menganggarkan ratusan miliaran rupiah untuk kegiatan pelatihan fasilitator yang banyak diisi dengan muatan materi pemahaman dan teknik pemberdayaan dan pendampingan masyarakat dinilai Ditjen PMD sebagai pemborosan uang negara.
Seyogianya, proses rekrutmen telah menjaring calon fasilitator yang memiliki pengalaman pemberdayaan dan memilki kompetensi dan kualifikasi pendampingan. LSP-FPM inilah kemudian diharapkan menjadi lembaga yang akan mencetak fasililator-fasilitator andal yang tersertifikasi dan siap diterjunkan ke masyarakat. Sayangnya, aturan bahwa pendamping dana desa harus bersertifikat diubah dengan diterbitkannya PP No. 47 Tahun 2015.
Sayangnya lagi, di akhir pelaksanaanya, PNPM MPd tidak berakhir "khusnul khotimah". Pada akhir 2014, perahu PNPM MPd oleng dihantam ombak. Strategi yang telah disusun untuk menyandarkan perahu dengan mulus di pelabuhan menjadi berantakan. Keputusan Presiden Joko Widodo untuk membentuk kementerian yang fokus mengurusi desa guna menjalankan amanah implementasi UU Desa menyebabkan Ditjen PMD terpaksa menghentikan pelaksanaan PNPM MPd secara mendadak. Rencana pengakhiran PNPM MPd di tahun 2015 kemudian dilaksanakan di Kementerian Desa.
Tanpa Diskriminasi
Kembali pada penolakan rencana seleksi ulang bagi pendamping dana desa yang berlatar belakang PNPM MPd di atas, secara pribadi, dengan dasar pertimbangan efektivitas dan efisiensi, penulis menyampaikan bahwa seleksi tersebut tidak perlu dilakukan sekarang. Proses seleksi membutuhkan waktu dan sumber daya yang tidak sedikit. Padahal, Menteri Marwan Jafar dalam banyak kesempatan menyampaikan bahwa dana desa sudah akan turun pada Maret 2016.
Sebaiknya Kementerian Desa menyudahi "konflik" ini dengan memperpanjang kontrak mereka. Toh mereka tidak minta perpanjang secara gratis. Mereka siap dievaluasi. Tentu dengan instrumen evaluasi yang transparan dan akuntabel.
Dengan demikian, energi lembaga kementerian yang usianya masih seumur jagung ini bisa digunakan untuk melakukan pembenahan internal. Masih banyak persoalan-persoalan internal kelembagaan yang perlu dibenahi dan ditata. Sembari itu, lembaga organik di kementerian yang mengurusi dana desa dapat menyusun langkah dan strategi menyeluruh dalam melakukan pendampingan penggunaan dana desa, termasuk di dalamnya strategi pengelolaan SDM-nya.
Jika strategi itu hendak dijalankan, dan salah satu cara untuk mencapai tujuan adalah harus dilakukan rekrutmen ulang terhadap pendamping dana desa, maka lakukan rekrutmen ulang tanpa harus membedakan latar belakang pendamping dari PNPM atau bukan PNPM.***
Oleh Widya W. Harun
Penulis adalah Konsultan PNPM; Penulis Novel Batavia 1936, Mendung di Langit Menteng [Sumber: Detik]