oleh. Dr. Muhadam Labolo Pendahuluan Pasca kenaikan kelas PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menjadi UU Nomor 6 Ta...
oleh. Dr. Muhadam Labolo
Pendahuluan
Pasca kenaikan kelas PP Nomor 72 Tahun
2005 tentang Desa menjadi UU Nomor 6 Tahun 2014,
eksistensi desa tampak memperoleh derajat
keninggratan sebahu dengan entitas pemerintahan
daerah. Secara historis, posisi desa sebenarnya pernah sederajat lewat
Undang-Undang 5 Tahun 1979, bahkan UU 19 Tahun 1965 yang
segera layu sebelum berkembang. Pasca reformasi 1998,
pengaturan soal desa seakan turun ranjang lewat
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang ditindaklanjuti lewat peraturan
daerah masing-masing. Dengan harapan besar yang disandarkan pada UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi desa dibayangkan tumbuh kembali
sebagaimana masa sebelum 1979. Sayangnya, otonomi desa justru mengalami
penyusutan akibat ekspansi otonomi daerah. Semakin luas hak
mengatur dan mengurus yang dikembangkan pemerintah daerah atas nama hak dan
kewajiban otonomi, bersamaan dengan itu menyusut pula makna otonomi desa. Desa
menjadi powerless, kehilangan
kewenangan sekalipun secara ekpslisit dikatakan memiliki otonomi asli. Otonomi
desa yang awalnya asli ketika itu berubah menjadi palsu. Harus
diakui bahwa pemalsuan otonomi desa sebenarnya telah terjadi sejak
diterapkannya UU 5/1979. Orde baru praktis memalsukan semua kumpulan warga
dalam bentuk apapun kedalam identitas bernama desa. Kebijakan uniformitas mengakibatkan musnahnya
sistem sosial mikro yang menjadi penunjang bagi upaya penyelesaian masalah
sosial secara fungsional. Desa dan semua perangkatnya
berubah menjadi mesin birokrasi yang efektif dalam menjalankan semua kebijakan
rezim berkuasa secara top down.
Dengan sendirinya peran dan kedudukan desa mengalami pergeseran dari entitas
sosial yang bertumpu pada kehendak basis alami terkecil
masyarakat menjadi unit pemerintahan mikro
yang bersandar bagi kepentingan pemerintah.
Kini desa seakan siuman kembali
setelah mengalami tidur panjang (1979-1999),
serta pelucutan sebagian besar otonomi aslinya pasca reformasi (1999-2013).
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 setidaknya ingin menjawab dua problem utama, yaitu mengembalikan otonomi asli desa sebagaimana pernah
dirampas orde baru, serta pada saat yang sama mengembangkan
otonomi desa untuk membatasi intervensi
otonomi daerah pasca reformasi. Jika mempelajari substansi pengaturan soal desa
dalam batang tubuh, tampak bahwa rezim desa kali ini dengan jelas menjawab
persoalan pertama, yaitu menegaskan kembali keragaman desa sebagaimana lebih
awal telah dikoreksi oleh UU 22/1999 dan UU 32/2004. Desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal usul
yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18B
ayat (2) UUD 1945. Bahkan lebih dari itu rezim
ini memberi tempat bagi tumbuhnya desa adat diluar desa administratif. Terhadap
persoalan kedua tampak bahwa desa diharapkan mampu mengembangkan otonomi
aslinya untuk membatasi kuasa otonomi daerah yang mengancam hingga ke
pori-pori desa. Untuk mewujudkan harapan tersebut rezim kali ini memberi
senjata yang lebih efektif digunakan desa dalam
meningkatkan bargaining position ketika berhadapan dengan supradesa. Persoalannya
adalah apakah pengaturan soal desa kedepan akan memberi peluang ataukah menjadi
ancaman nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa? Tulisan ini akan
melihat akar pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa di Indonesia serta sejumlah
catatan penting bagi peluang tumbuhnya otonomi desa. Uraian ini juga akan
menyertakan beberapa catatan kritis terhadap pengaturan desa yang berpotensi
menjadi ancaman dikemudian hari.
Akar Pertumbuhan dan
Perkembangan Otonomi Desa
Secara umum tidak ada satupun sumber yang memberi
informasi pasti tentang awal tumbuhnya desa atau semacamnya. Entitas mikro
demikian pada awalnya hanyalah kumpulan individu yang terikat menurut
kekerabatan keluarga. Perluasan keluarga melalui proses biologis, tuntutan ekonomi
dan insting politik kemudian membentuk marga yang semakin ekslusif dengan ciri
tertentu misalnya keluarga besar Chaniago di Sumatera Barat atau keluarga
Latunrung di Sulawesi Selatan. Dalam perspektif sosiologi pemerintahan, entitas
pemerintahan terendah semacam desa diakui merupakan basis tumbuhnya
pemerintahan yang lebih luas dan kompleks sebagaimana pemerintahan modern
dewasa ini.[3]
Desa-desa yang telah ada jauh sebelum itu memiliki konstruksi organisasi paling
minimalis dimana kepala desa merupakan simbol dalam semua entitas pemerintahan,
ekonomi, sosial budaya dan politik. Integrasi semua fungsi dalam personifikasi
kepala desa merupakan konstruksi sistem politik totaliter klasik yang cenderung
memberi diskresi bagi kepala desa dalam memainkan peran dominan bagi kehidupan
kelompok. Secara kelembagaan kepala desa menjadi representasi politik sebab ia
secara traditional dilahirkan untuk memimpin kelompok masyarakat dalam sebutan
yang tertua (tetua).[4] Sekalipun
terjadi diferensiasi semacam lembaga ekonomi desa yang berfungsi mengelola
kekayaan desa, lembaga sosial mengatur perilaku masyarakat desa, serta lembaga
keamanan yang bertanggungjawab terhadap ancaman pihak luar, namun secara
keseluruhan semua keputusan menjadi otoritas tunggal kepala desa. Keputusan
yang berkaitan dengan alokasi sumber daya bagi kepentingan orang banyak,
pemberian hukuman yang setimpal bagi pelanggar sistem sosial, serta keputusan
strategis dengan alasan keselamatan anggota keluarga tetap saja ditentukan
secara sentralistik kepala desa. Oleh karena desa berada dalam cakupan
pemerintahan yang lebih luas, maka peranan kepala desa dalam aspek budaya seringkali
menjadi simbol bagi integrasi kepentingan makro-kosmos (alam atas, supradesa),
dan mikro-kosmos (alam bawah, infradesa). Dalam hubungan itu Theodore Smith
(1985) menegaskan bahwa kepala desa di Indonesia pada hakekatnya memiliki dua
aspek penting yaitu pengakuan secara traditional masyarakat sekaligus mewakili
pemerintah di desa. Penting dipahami bahwa aspek terakhir menjadi titik
tumbuhnya otonomi desa, dimana pengakuan masyarakat secara de fakto adalah
spirit utama bagi pemimpin di desa untuk mengembangkannya kedalam urusan
pemerintahan yang semakin kompleks sebagai tuntutan yang terus berkembang baik
internal maupun eksternal. Pada titik
tertinggi entitas semacam itu berubah menjadi pemerintahan yang lebih kompleks
seperti negara. Oleh karena negara merupakan refleksi paling sempurna yang
lahir dari rahim desa, maka tidaklah salah jika negara penting mengakui dan
menghormati eksistensi desa atau semacamnya sebagai akar-akar pemerintahan.
Desa dengan berbagai aspek diatas pada pokoknya menjadi basis
bagi representasi semua entitas dalam batas kumpulan individu yang memiliki
karakteristik homogen, terikat kuat secara emosional dalam suatu sistem sosial
budaya serta memiliki organisasi yang bersifat primitif dimana kepala desa
menjadi sentral gravitasi politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam batasan
Beratha (1982:26), desa dimaknai sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan
bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal,
kebanyakan hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha yang dapat
dipegaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat
ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah-kaidah
sosial.[5] Batasan
tersebut setidaknya menggambarkan karakteristik desa yang menurut Ferdinand
Tonies (1887) sejalan dengan karakteristik gemenschaft
dibanding gesselschaft.[6]
Secara historis jejak pertumbuhan dan perkembangan desa
di Indonesia setidaknya dapat ditelusuri dari catatan Muntinghe kepada Raffles
(1811-1817).[7]
Namun jauh sebelum temuan tersebut diyakini terdapat desa atau dengan beragam
nama lain seperti Dusun, Marga, Kampung, Gampong, Dati, Nagari dan Wanua yang
tersebar di wilayah Jawa dan luar Jawa.[8] Hingga
memasuki politik etik Belanda, catatan Van der Wals dkk (1872) ketika bertugas
sebagai Pamongpraja muda di beberapa daerah menunjukkan bahwa diferensiasi
tersebut secara perlahan mengalami perkembangan, dimana pengambilan keputusan
menjadi bagian yang diputuskan oleh lembaga hukum tersendiri semacam unit mahkamah
syariah di Aceh atau unit kerapatan
khusus di Minangkabau. Sekalipun
demikian tetap saja pengambilan keputusan akhir memberi peluang bagi
keterlibatan pihak eksekutif kepala desa dalam kolektivitas hakim yang
disepakati melalui hukum adat setempat. Dalam proses semacam itu desa tampak
memperlihatkan bibit demokrasi, dimana pengambilan keputusan dilakukan secara
kolektif, bersifat kelembagaan (adhoc),
melibatkan beberapa tokoh yang merepresentasikan kepentingan tertentu, serta
dalam suatu wadah yang relatif terpisahkan dari eksekutif. Namun demikian
meskipun pelembagaan politik memperlihatkan perubahan kearah deferensiasi,
namun kebiasaan pemilihan kepala desa yang awalnya bersifat turun-temurun
(tradisionalistik) dikemudian hari berubah pula lewat pemilihan secara tak
langsung yang diwakili oleh sekelompok orang. Fenomena tersebut cukup menarik
dalam pandangan Raffles (1811), sehingga pola demokrasi representatif oleh sekelompok
pengurus desa yang memilih kepala desa kemudian diubah menjadi mekanisme
demokrasi langsung dimana kepala desa dipilih oleh masyarakat dari beberapa
orang yang dipandang mampu (Nurcholis, 2013:68). Upaya demikian bukan tanpa
maksud sama sekali, Raffles berkeinginan memutus jenjang hirarkhi yang selama
ini terbentuk antara kaum ninggrat Jawa dengan basis sosial sebagai produk
peninggalan kebijakan kolonialisme Belanda mendekati kebangkrutan VOC di
Indonesia tahun 1798.[9] Terlepas
dari itu, hingga tahun 1854 desa kemudian memperoleh pijakan lewat Regeringsreglement (RR) yang kemudian
melahirkan peraturan pelaksanaan berbentuk Inlandse
Gemeente Ordonantie (IGO) dan Inlandse
Gemeente Ordonantie Buitengewesteen (IGOB).[10]
Pada masa pendudukan Jepang pengaturan soal desa relatif tak mengalami
perubahan signifikan kecuali pembatasan soal masa jabatan kepala desa yang
selama ini bergantung pada konsensus dalam masyarakat.
Pasca kemerdekaan Indonesia (1945), pengaturan soal desa
sebenarnya tak memperoleh landasan konstitusional yang bersifat eksplisit,
kecuali kesatuan masyarakat hukum adat yang telah tumbuh dan berkembang jauh
sebelum Indonesia merdeka. Satuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati sebagaimana
terlihat dalam pengaturan pasal 18B ayat (4) hingga amandemen terakhir pasal
18B ayat (2). Hal ini menyiratkan bahwa hanya satuan masyarakat hukum adat
sajalah yang diakui dan dihormati negara, selain satuan daerah yang bersifat
khusus/istimewa sebagaimana diatur pula dalam pasal 18B ayat (1). Oleh karena
konstitusi tak menyebut jelas eksistensi desa-desa bentukan yang bersifat
administratif (desa dinas) setelah kemerdekaan Indonesia, maka sejauh ini harus
diakui bahwa logika konstitusi hanya memberi landasan kuat bagi satuan
masyarakat hukum adat yang dalam hal ini di sebut desa adat sesuai penjelasan
konstitusi awal.[11]
Konsekuensi dari hal itu maka pengaturan selanjutnya oleh UU Nomor 22 Tahun
1948, UU Nomor 1 Tahun 1957 dan UU Nomor 19 Tahun 1965 menempatkan desa sebagai
lokus otonomi tingkat tiga. Dengan alasan desa dan semua entitas semacamnya
adalah sendi-sendi negara maka perluasan dan dinamisasi desa dibutuhkan untuk
mendorong kemajuan negara secara umum. Sekalipun keinginan untuk meningkatkan
desa memperoleh pijakan yang cukup, namun keadaan negara yang tak begitu stabil
mengakibatkan upaya mewujudkan desa sebagai entitas otonom selain daerah otonom
tingkat satu dan dua tak dapat direalisasikan.
Memasuki tahun 1979, desa mengalami degradasi dari desain
awal sebagai daerah otonom tingkat tiga. Rezim orde baru lewat UU Nomor 5/1979 meletakkan
desa sebagai instrumen birokrasi melalui kebijakan uniformitas terhadap semua entitas mikro di level bawah dengan
istilah desa. Sepanjang kebijakan ini diterapkan, desa-desa adat mengalami proses
transisi dari suatu sistem nilai lama yang bertumpu pada kepentingan sosial
mikro menjadi satu sistem nilai yang bertumpu bagi kepentingan penguasa dan
birokrasi. Akibatnya seluruh tatanan desa asli berangsur-angsur mengubah diri
secara sistemik atau terpaksa menjadi desa bergaya administratif. Dalam kondisi
semacam itu sekalipun tetap bernama desa, namun secara cepat kehilangan
otonomi, berorientasi keatas, serta praktis tak tumbuh sebagai entitas yang
diharapkan dapat menyelesaikan masalah desa secara fungsional. Sebenarnya,
hancurnya sistem nilai desa dalam 30 tahun terakhir pasca kejatuhan orde baru
disadari oleh rezim orde reformasi yang kemudian mencoba memulihkan realitas
desa melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Sayangnya, upaya menghadirkan wajah desa yang lebih merdeka dalam aspek
otonomi aslinya tak juga memperlihatkan hasil yang maksimal. Hal ini justru
disebabkan oleh kuatnya ekspansi otonomi daerah yang memasuki pori-pori desa.
Desa dan atau nama lain semestinya dapat ditumbuh-kembangkan oleh pemerintah
daerah melalui kebijakan yang sesuai dengan karakternya masing-masing.
Faktanya, semua kebijakan pemerintah daerah relatif melalui peraturan daerah
semakin membatasi otonomi desa, bahkan melenyapkan peluang otonomi yang diakui
dan dihormati negara dalam konstitusi. Penempatan sekretaris desa dari pegawai
negeri sipil serta longgarnya konsistensi daerah dalam alokasi dana desa
membuat desa semakin terpojok dalam kemiskinan otonomi. Akhirnya desa tampak
seperti keluar dari himpitan negara selama 30 tahun dalam kerangka local state government, tiba-tiba berada
dibawah ketiak pemerintah daerah dalam pendekatan yang lebih interventif atas nama otonomi daerah (local self government). Harus dikatakan
bahwa episode desa dalam kurun waktu otonomi daerah dilaksanakan tak memberi
perubahan signifikan, kecuali sejumlah daerah yang secara politis mencoba
mengintrodusir desa lewat bantuan diatas 1 milyar.[12]
Peluang Tumbuhnya Otonomi Desa
Pengaturan eksistensi desa melalui Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 mesti diakui memberi peluang bagi tumbuhnya otonomi desa. Sejumlah
tekanan dalam beberapa pasal memberi diskresi yang memungkinkan otonomi desa
tumbuh disertai beberapa syarat yang mesti diperhatikan oleh pemerintah desa,
masyarakat desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Syarat tersebut
penting menjadi perhatian utama jika tidak ingin melihat kondisi desa bertambah
malang nasibnya. Dari aspek kewenangan, terdapat tambahan kewenangan desa selain
kewenangan yang didasarkan pada hak asal usul sebagaimana diakui dan dihormati
negara. Tampak bahwa asas subsidiaritas yang melandasi undang-undang desa
memberikan keleluasaan dalam penetapan kewenangan
berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan
masyarakat desa. Kewenangan lokal berskala desa adalah kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa, atau yang muncul karena perkembangan desa dan prakasa masyarakat desa, antara lain tambatan
perahu, pasar desa, tempat pemandian
umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni
dan belajar, serta perpustakaan desa, rembung desa dan jalan desa. Konsekuensi dari
pertambahan kewenangan tersebut memungkinkan desa dapat mengembangkan otonomi
yang dimiliki bagi kepentingan masyarakat setempat. Implikasinya desa dapat
menggunakan sumber keuangan yang berasal dari negara dan pemerintah daerah
untuk mengembangkan semua kewenangan yang telah ada, yang baru muncul, dan
sejumlah kewenangan lain yang mungkin merupakan penugasan dari supradesa. Untuk
mendukung pelaksanaan sejumlah kewenangan tersebut, desa dan kepala desa
memiliki kewenangan
yang luas guna mengembangkan otonomi asli melalui sumber
keuangan yang tersedia. Sterilisasi desa dari perangkat desa yang berasal dari pegawai negeri sipil
menjadi momentum bagi pemerintah desa untuk mengembangkan otonominya sesuai
perencanaan yang diinginkan tanpa perlu takut di sensor ketat oleh sekretaris
desa. Selain kewenangan berdasarkan hak asal-usul yang telah ada dan kewenangan
berskala lokal desa, semua kewenangan tambahan yang ditugaskan oleh pemerintah
daerah maupun pusat hanya mungkin dilaksanakan jika disertai oleh pembiayaan
yang jelas. Terkait dengan itu, undang-undang desa menentukan bahwa sumber
keuangan desa secara umum berasal
dari APBN,
APBD, PAD dan sumber lain yang sah. Jika diperkirakan pemerintah
mampu menggelontorkan setiap desa sebanyak 10% dari total APBN, plus ADD sebesar 10% dari Pajak/Retribusi/DAU/DBH, ditambah Pendapatan Asli Desa dan
sumbangan lain yang sah, maka setiap desa kemungkinan akan
mengelola dana di atas
1 Milyar perdesa pada 72.944 desa di Indonesia.[13] Dengan sumber keuangan yang relatif cukup dibanding kuantitas urusan yang
akan dilaksanakan, desa sebetulnya dapat lebih fokus dalam mengintenfisikasi
pelayanan publik serta pembangunan dalam skala yang lebih kecil. Kenyataan
tersebut setidaknya mendorong otonomi yang dimiliki untuk menjadikan semua
urusan yang telah diakui dan dihormati negara, ditambah urusan skala lokal
bukan sekedar pajangan, tetapi akumulasi dari seluruh aset yang memungkinkan
desa bertambah kaya dengan modal yang dimilikinya. Sumber asli yang berasal
dari desa dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik agar masyarakat
dapat lebih efisien dan efektif dilayani oleh pemerintah desa. Penyelenggaraan pemerintahan
desa selama ini menggambarkan rendahnya dukungan sarana dan prasarana sehingga
pelayanan di desa tak maksimal. Kantor desa bahkan secara umum tak berfungsi
kecuali pada waktu-waktu tertentu. Dalam banyak hal desa harus diakui tertinggal
dari berbagai aspek disebabkan rendahnya dukungan pemerintah daerah sekalipun
dalam semangat otonomi. Sementara sumber keuangan yang berasal dari APBN dapat
diarahkan bagi kepentingan pembangunan
desa. Tentu saja selain alokasi pembangunan yang berasal dari pemerintah, desa
dapat mempercepat pembangunan infrastruktur dalam jangka panjang sehingga
terjadi pembangunan desa yang berkelanjutan. Realitas desa sejauh ini
menunjukkan lemahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya kemiskinan dan pengangguran
sehingga menurunkan daya saing desa dibanding kota. Sumber keuangan negara
setidaknya berpeluang mendorong laju pertumbuhan ekonomi desa sehingga tak jauh
ketinggalan dibanding kota. Sekalipun
demikian, alokasi APBN tidaklah merupakan wujud dari pendekatan local state government semata, tetapi
lebih merupakan tanggungjawab negara yang diamanahkan konstitusi. Demikian pula
alokasi APBD bukanlah merupakan manifestasi dari pendekatan local self government semata, namun perintah
undang-undang pemerintahan daerah. Jadi, sekalipun desa dalam undang-undang ini
bersifat self governing community,
namun negara dan pemerintah daerah tetap bertanggungjawab untuk mengakui,
menghormati dan memelihara keberlangsungan pemerintahan, pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat di desa. Bentuk
pengakuan negara terhadap desa dapat dilihat dari pengakuan atas realitas keberagaman
desa di berbagai daerah (asas rekognisi). Sedangkan konkritisasi dari
penghormatan negara terhadap desa adalah terbukanya kran alokasi negara secara
langsung yang akan dikelola desa (asas subsidiaritas). Penggunaan kedua asas
tersebut sekalipun didahului oleh pengakuan konstitusi atas keragaman dan
batasan desa dalam pengertian umum (desa, desa adat dan atau nama lain),
setidaknya menjadi pijakan konkrit dalam pengaturan desa lebih lanjut di
tingkat daerah masing-masing.
Terkait postur organisasi pemerintahan desa, batasan
pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa semata tanpa posisi BPD.
Batasan tersebut berbeda jika dibandingkan dengan
pengaturan dalam PP Nomor 72 tahun 2005, dimana
pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan BPD. Pemisahan posisi kepala
desa beserta perangkatnya dari BPD memungkinkan pemerintahan desa lebih efektif
dalam melaksanakan otonomi desa selain kewajiban dari supradesa. Pengalaman
menunjukkan bahwa kolektivitas kepala desa dan BPD sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan desa sulit dilaksanakan karena kedua lembaga tak selalu sejalan
dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan. Terpisahnya posisi BPD memungkinkan
pemerintah desa dapat lebih leluasa mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
tanpa pengawasan ketat BPD yang selama ini relatif
sulit hidup sekamar dengan pemerintah desa. Bias dari kondisi semacam itu tak jarang membuat desa
kurang dinamis, bahkan statis karena saling menunggu persetujuan yang
berlarut-larut. Selain itu, separasi semacam itu bertujuan untuk menciptakan
pemerintahan desa yang lebih modern, dimana secara politik terjadi diferensiasi
antara desainer kebijakan (BPD) dan implementator kebijakan (kepala desa). BPD
setidaknya mewakili masyarakat yang dipilih secara demokratis untuk membahas
suatu kebijakan sebelum dilaksanakan oleh pemerintah desa. Kebijakan desa dimulai dari tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Perencanaan desa merupakan perencanaan jangka menengah yang dijabarkan dalam
bentuk perencanaan pembangunan tahunan. Perencanaan desa dapat dikembangkan
sejalan dengan periodisasi kepemimpinan kepala desa yang dapat mencapai tiga
kali masing-masing selama enam tahun. Artinya, perencanaan menengah desa dapat
berjalan selama 18 tahun bergantung pada elektabilitas kepala desa. Dengan
demikian selama periodisasi yang relatif lebih lama dibanding kepala daerah yang
hanya dua periode, desa dengan sendirinya berpeluang meletakkan perencanaan
secara berkelanjutan melalui prioritas yang disepakati bersama masyarakat
setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan pembangunan, desa membutuhkan
partisipasi aktif masyarakat. Peluang bagi pengembangan otonomi desa yang
demokratis tampak terbuka lebar dimana masyarakat berhak memperoleh informasi,
melakukan pemantauan serta melaporkan semua aktivitas yang dinilai kurang
transparan kepada pemerintah desa dan BPD. Proses semacam ini merupakan bentuk
pembelajaran partisipasi demokrasi melalui siklus perencanaan, implementasi dan
evaluasi pembangunan di desa. Dengan demikian tercipta mekanisme bottom up yang senyatanya, bukan
rekayasa musyawarah pembangunan desa seperti yang terjadi selama ini.
Pembangunan desa sejauh ini tak memperlihatkan hasil signifikan karena tak
jelas darimana sumber penunjangnya. Alokasi dana desa yang semestinya terjadi
tampak bergantung pada kemurahan hati pemerintah daerah. Sementara pendapatan
asli desa menyusut hingga tak bersisa akibat meresapnya peraturan daerah hingga
ke kawasan desa yang paling strategis. Dalam regulasi inilah pembangunan desa diharapkan
dapat ditopang lewat aset desa, termasuk sumber keuangan desa dan Badan Usaha
Milik Desa (BUMD). Aset Desa dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar
desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan
hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum, dan
aset lainnya milik desa. Sumber keuangan desa berasal dari pendapatan asli
desa, negara, pemerintah daerah dan pendapatan lain yang sah. Sedangkan BUM
desa dapat digunakan untuk pengembangan usaha, pembangunan desa, pemberdayaan
masyarakat desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah,
bantuan sosial dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa. Pembangunan desa juga meliputi upaya pengembangan
kawasan desa dengan maksud untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas
pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Desa memiliki hak untuk
dilibatkan dalam perencanaan makro pemerintah daerah sehingga desa tak sekedar
menjadi objek pembangunan semata. Selain itu desa berhak memperoleh akses
informasi yang dapat dikelola bagi kepentingan stakeholders terkait. Hal itu mendukung terciptanya proses
pemerintahan yang lebih transparan dalam kerangka good governance. Lebih dari itu peluang pengembangan otonomi
memungkinkan desa dapat meluaskan pembangunan melalui strategi kerjasama dengan
desa lain yang saling menguntungkan.
Ancaman Otonomi Desa
Besarnya kewenangan desa dan kepala desa dalam hal luas
dan isi disatu pihak memberi peluang bagi upaya mendorong tumbuh dan
berkembangnya otonomi desa, namun disisi lain bukan mustahil menjadi ancaman
bagi perkembangan desa dimasa akan datang. Kewenangan desa yang luas ditunjang oleh
sumber keuangan yang menjanjikan tampak seperti pisau belati bermata dua. Dalam konteks BPD misalnya, sekalipun dinyatakan
dalam undang-undang BPD berada diluar batasan pengertian pemerintahan desa,
namun praktis BPD tak memiliki fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas kepala
desa. Kekuatiran tersebut bukan tanpa alasan, sebab pertanggungjawaban akhir
tahun anggaran dan akhir masa jabatan kepala desa disampaikan kepada kepala
daerah, dan bukan kepada BPD. Tugas BPD selain berfungsi sebagai lembaga pemerintahan
hanya melakukan pembahasan dan menerima laporan dari masyarakat, tanpa
kewenangan yang bersifat punishment.
Kondisi semacam itu dapat melemahkan BPD sekaligus pada saat yang sama
menguatkan kepala desa (executive heavy).
Harus diakui bahwa batasan tentang
pemerintahan desa disatu sisi memberi keleluasaan bagi pemerintah
desa dalam menjalankan program desa, namun disisi
lain cenderung mengurangi chek and
balance system sehingga pemerintah desa berpeluang absen dari pengawasan wakil masyarakat. Luasnya kewenangan pemerintah
desa tanpa pengawasan kuat BPD pada akhirnya membuka peluang korupsi di desa
disebabkan sumber daya aparatur yang minim, apalagi jika pemerintah
lalai dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana amanat undang-undang desa. Secara logika
pengelolaan otonomi desa yang menjanjikan semacam itu tanpa pembinaan lewat pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan
keuangan desa justru dapat mendorong desa keruang tahanan kejaksaan.
Peluang korupsi tidak saja terbuka lebar secara internal pemerintah desa,
demikian pula faktor eksternal berupa rent
seeking pemerintah daerah. Diluar itu, potensi
terjadinya korupsi secara sistemik dimungkinkan karena peluang seorang kepala
desa dapat bertahan selama 6 kali 3 periode sehingga dengan mudah dapat melanggengkan kekuasaan lewat penggunaan
sumber keuangan dan kewenangan yang luas. Semakin rendah pendidikan masyarakat
semakin rendah pula daya kritis mereka terhadap pemerintah desa. Keadaan
demikian akan memudahkan pemerintah desa melakukan berbagai modus yang
menguntungkan diri dan keluarga dekatnya. Kecenderungan demikian semakin sering
terjadi pada sebagian besar desa yang tak cukup memiliki integritas moral dan
derajat pendidikan yang memadai. Dalam banyak kasus
pemerintah desa seringkali berselingkuh
dengan pemerintah daerah untuk saling menutupi berbagai kelemahan
pertanggungjawaban, sekaligus merawat hubungan patron clien dengan sejumlah pejabat yang bertanggungjawab dalam
distribusi alokasi dana desa. Secara historis bakat feodalisme
pemerintah desa adalah produk kolonial yang cenderung lebih berorientasi pada kepentingan majikan/tuannya daripada kepentingan masyarakat. Kondisi demikian
seringkali menjebak pemerintah desa lupa diri hingga
terciptanya
oligarkhi, nepotisme, bahkan otoritarianisme pemerintahan desa. Terciptanya gejala demikian dimulai sejak era Raffles
berkuasa (1811-1816), dimana sistem seleksi kepala desa
tampak berjalan secara demokratis setelah melalui serangkaian
manipulasi untuk kepentingan politik penjajah. Namun
harus disadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan demokrasi desa di Indonesia
menurut Nurcholis (2012:68) tidaklah sama sebagaimana pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi di dunia barat. Perbedaan pendidikan dan kedewasaan
politik masyarakat barat dan Indonesia mengakibatkan demokrasi di tingkat desa
hingga dua ratus tahun lamanya tak menghasilkan
demokrasi substansial, kecuali demokrasi prosedural. Inilah yang menjadi salah
satu sebab mengapa desa tak dapat tumbuh dan berkembang
dengan sehat meskipun mekanisme demokrasinya bekerja
mendahului demokrasi langsung dewasa ini.
Disisi lain, bersamaan dengan menguatnya
kewenangan desa dan
meningkatnya sumber-sumber keuangan desa dalam
jangka panjang dapat mendorong peningkatan kuantitas desa
kalau tidak perubahan status kelurahan menjadi desa dan desa adat. Tingginya diskresi dalam penataan desa dapat membuat sibuk pemerintah
daerah dalam mengatur lalu lintas perubahan status jenis kelamin kelurahan
menjadi desa atau desa adat, desa menjadi desa adat dan atau sebaliknya sesuai
kebutuhan politik elite desa. Dengan pertimbangan pragmatis akan datangnya subsidi desa maka birahi memekarkan desa kemungkinan
dapat menjadi trend dimasa mendatang. Realitas semacam ini cenderung melahirkan
konflik horizontal dan vertikal di tingkat desa akibat lambatnya pembentukan
desa serta sejumlah ketidakpuasan akibat kompetisi yang ketat dalam pemilihan kepala desa. Apalagi transisi dari status desa persiapan ke desa defenitif yang hanya
membutuhkan usia 1-3 tahun, tentu saja bukan halangan berarti dalam
memperbanyak desa baru atas nama kehendak masyarakat setempat.
Kearah Antisipatif
Dengan bersandar pada prinsip kewenangan yang luas
ditambah sifat monopolistik tanpa akuntabilitas, maka pemerintah desa bukan mustahil dapat terjebak pada masalah kejahatan
korupsi diluar konfrontasi yang akan semakin gaduh dengan masyarakat
dilingkungan desa. Menyadari hal itu, sejumlah rekomendasi akhir dalam makalah
ini setidaknya dialamatkan pada pemerintah (redesain peraturan pemerintah
tentang desa) dan pemerintah daerah (redesain peraturan daerah tentang desa). Pertama,
aturan teknis harus mampu memperjelas hubungan kewenangan antara pemerintah
desa dengan BPD, kecamatan, dan pemerintah daerah. Menihilkan pengaturan soal
hubungan kewenangan di antara entitas tersebut dapat mendorong konflik latent dalam jangka panjang. Kedua,
aturan teknis harus mendesain suatu mekanisme kontrol yang jelas untuk mencegah
meningkatnya peluang korupsi di desa. Pengaturan harus memperjelas
pertanggungjawaban keuangan yang berasal dari sumber APBN, APBD dan sumber lain
yang dianggap sah. Jika tidak, akan banyak kepala desa dan perangkatnya yang
akan berurusan dengan pihak berwajib, demikian pula konflik dengan masyarakat. Ketiga,
sekalipun mekanisme akuntabilitas akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatan
kepala desa dilakukan langsung kepada kepala daerah, namun mengingat banyaknya
desa di setiap daerah maka secara teknis perlunya pendelegasian sebagian
kewenangan kepala daerah kepada camat dalam hal pengawasan yang bersifat
administratif. Dapat dipahami bahwa mekanisme ini bertujuan meringkas
pertanggungjawaban melalui hirarkhi birokrasi, namun
efek lebih jauh dari mekanisme demikian memungkinkan kepala desa hanya di
kontrol kepala daerah yang notabene
secara politik relatif diuntungkan bagi kepentingan
mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Pada sisi lain tanpa
pendelegasian kewenangan untuk mengontrol kepala desa oleh kepala daerah kepada
camat, maka relasi antara pemerintah desa dan camat akan
kian memburuk. Keempat, aturan teknis harus mampu menciptakan syarat yang ketat dalam pembentukan
desa, termasuk upaya mengkonversi kelurahan menjadi desa untuk mencegah nafsu
menggandakan desa sebanyak mungkin bagi kepentingan jangka pendek. Dampak lain
adalah lembaga pemerintahan khusus seperti Mukim di Aceh dapat kehilangan pamor
karena hilangnya perhatian desa (Keuchik)
akibat transfer dana yang menimbulkan diskriminasi. Kelima, aturan teknis
harus dapat memperjelas masa depan desa persiapan yang setelah melewati 1-3
tahun dinyatakan tidak layak menjadi desa defenitif. Apakah harus dikembalikan
ke masyarakat atau dapat diajukan kembali dalam waktu tertentu. Keenam,
aturan teknis harus dapat memperjelas status keanggotaan calon kepala desa
maupun perangkat desa dalam organisasi partai politik, apakah boleh sebagai
anggota tanpa menjadi pengurus, atau boleh kedua-duanya, atau mungkin tak boleh
kedua-duanya. Hal ini untuk mencegah politisasi desa bagi kepentingan politik
praktis. Ketujuh, aturan teknis harus dapat menjawab masa jabatan kepala
desa secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Demikian pula yang pernah
menjabat sebagai kepala desa di desa lain selama tiga periode apakah dapat
mencalonkan lagi di desa lain. Kedelapan, aturan teknis harus
memberi batasan tentang kewenangan desa dalam kaitan dengan pengaturan kawasan
khusus/strategis sehingga tak kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah
daerah. Kesembilan, aturan teknis harus dapat memperjelas kewenangan
lokal selain kewenangan berdasarkan asal-usul, dan kewenangan yang
diperbantukan oleh pemerintah daerah, provinsi dan pemerintah pusat. Hal ini
penting sebab kewenangan desa berskala lokal di setiap daerah sifat tidak
seragam, bahkan mungkin tidak ada kecuali yang telah ada sebelumnya. Kesepuluh,
selain aturan teknis harus menjawab amanah undang-undang desa dalam bentuk
peraturan pemerintah, juga diperlukan inventarisasi masalah yang telah terjadi
atau mungkin akan terjadi dalam bentuk simulasi untuk mengantisipasi ketegangan
yang akan muncul dikemudian hari. Kesebelas, dalam kesadaran semacam
itu diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai secara terus-menerus
kepada pemerintah desa, BPD dan stakeholders terkait guna menyambut semua
kejutan yang akan tiba di desa. Akhirnya, suka atau tidak,
ketika desa memiliki kewenangan yang luas, sumber keuangan
yang menjanjikan, masa jabatan yang relatif lama,
minimnya kontrol dari masyarakat dan supradesa,
serta meningkatnya rangsangan pembentukan desa disamping
kompetisi sumber daya, maka otonomi desa sekaligus demokrasi
desa akan mengalami cobaan berat yang mungkin akan mendewasakannya, atau
sekaligus mendegradasikannya ketitik nadir yang
paling lemah.
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.