( SEBUAH KAJIAN PROSPEK PEMBANGUNAN DALAM IMPLEMENTASI UU NO 6 TAHUN 2014) Oleh : Hironimus Lagadoni Tukan, S.So s Sebuah P...
( SEBUAH KAJIAN PROSPEK
PEMBANGUNAN DALAM IMPLEMENTASI UU NO 6 TAHUN 2014)
Oleh :
Hironimus Lagadoni
Tukan, S.Sos
Sebuah
Pengantar:
UU
N0 6 tahun 2014 tentang desa merupakan sebuah
instrumen kebijakan formal
pembangunan bangsa yang meletakan desa sebagai sebuah komunitas
masyarakat indonesia yang mesti diberdayakan guna mencapai kemandirian dan
kesejateraan masyarakat.dengan demikian UU tersebut merupakan sebuah ruang
kebijakan yang memberikan otoritas kepada desa untuk mengeksplorasi potensi
lokalnya untuk pembangunan masyarakat baik secara pribadi maupun kolektif.
Pembangunan
bangsa selama ini dengan sistem sentralistik dan top down oleh banyak kalangan
dipandang sebagai sistem yang telah menciptsksn kegagalan dan ketergantungan
bagi masyarakat. Implementasi selama ini sekan mengeksploitasi sumber daya
masyarakat yang telah mendiskreditkan masyarakat khususnya masyarakat desa.
Berbagai persoalan muncul seperti ketidak adilan, ketidakmerataan atau
kesenjangan pembangunan yang kurang memberikan ruang eksplorasi sumber daya
lokal sehingga kehadiran UU desa no 6 tahun 2014 merupakan sebuah regulasi
bangsa yang mencoba untuk mendesain pembangunan desa berbasis kearifan
lokalnya.
Untuk
itu Pembangunan desa sebagaimana UU no 6 tahun 2014 tentang desa tersebut
menurut Tri Nugroho dalam pemaparan materi perkuliahan menjelaskan ada sejumlah
paradigma pembangunan yang terdapat didalam UU tersebut antara lain: Rekognisi
atau pengakuan terhadap hak asal usul desa, Subsidiartitas, Keberagaman bukan
penyeragaman, Kebersamaan, Kegotongroyongan, Kekeluargaan, Musawarah,
demokrasi, kemandirian, Partisipasi, Kesetaraan,Pemberdayaan, dan Keberlanjutan.
Sementara Sutoro Eko dalam Regulasi baru,desa baru ( 2015), menyebutkan bahwa uu No 6 tahun 2014
memiliki dua paradigma yaitu paradigma Rekognisi dan paradigma Subsiadiritas.
Sejumlah
paradigma ini menjadi intisari spirit pembangunan desa dalam UU tersebut.
Diharapkan bahwa UU Desa menjadi seperangkat regulasi yang legal formal yang
mengakui dan memberi kewenangan kepada desa untuk mengatur dan menurus rumah
tangganya berdasarkan hak asal usul desanya serta mengakomodir potensi loklnya
yang sangat multikuluralis. Dengan demikian pembangunan desa diharapkan pula
dapat memberika aura baru pembangunan desa yang lebih partisipatif dan
akomodatif dalam pencapaian kemandirian dan kesejatraan masyarakat ditengah
pengalaman ketidak adilan, ketidakmerataan serta kesenjangan dalam sejarah
pembangunan bangsa khususnya dalam hubungan antara desa dengan pemerintahan
supra desa, antara desa dengn masyarakat desa.
Untuk
itu UU desa No 6 Tahun 2014 adalah sebuah bentuk pengakuan yang melegitimasi
posisi dan kedudukan desa dan komunitasnya berdasarkan hak asul usulnya
sekaligus mendorong perubahan desa sebagai sebuah identitas ke arah kemajuan.
Walau demikian kehadiran UU desa disatu sisi menjadi suatu harapan tetapi
disisi lain menjadi sebuah tantangan yang mesti dibangun dalam sebuah
sinergisitas yang kolaboratif antar elemen masyarakat guna mencapai visi dan
misi kemandirian dan kesejateraan masyarakat.
Berangkat
dari gambaran singkat tersbut diatas, UU desa no 6 tahun 2014 memiliki sejumlah
prospek yang cukup inspiratif sekaligus reflektif dalam menjawabi mimpi dari
visi dan misinya baik diranah konseptual maupun praksis implementatifnya. Dalam
menjawabi pertanyaan besar Bagaimana prospek kemajuan pembangunan desa
ditengah pelaksanaan UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang kini berpihak pada
desa. Pertanyaan besar ini akan dijawab dalam sebuah elaobarsi
pemahaman penulis tentang berbagai amanat UU No 6 tahun 2014 tentang desa.
Prospek dan Dinamikanya :
Berbicara
tentang undang undang tersebut, jelas terlihat bahwa UU tersebut memberikan
peluang bagi otonomi desa. Beberapa keistimewaan dari UU ini antara lain:
pengalokasian dana miliaran ruupiah ke desa dari APBN dan APBD, Penghasilan
kepala desa dan aparat desa,Kewenagan kepala desa, masa jabatan Kepala desa
yang bertambah hingga tiga periode, Penguatan fungsi BPD.
Dengan mengacu pada paradigma pembangunan
yang terkatub dalam UU Desa tersebut diatas, yakni Rekognisi dan asas
subsiadiritas maka kehadiran UU desa no 6 tahun 2014 memberikan pengakuan
kepada desa berdasarkan hak asal usul desa. Pengakuan akan otonomi desa
sebenarnya telah ada sejak
diterapkannya UU 5/1979 dan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, otonomi desa saat itu seakan tumbuh kemali namum tidak
diimplementasikan secara lebih spesifik.
Saat itu otonomi desa justru mengalami penyusutan akibat adanya ekspansi otonomi
daerah. Semakin luas hak mengatur dan mengurus yang dikembangkan pemerintah
daerah atas nama hak dan kewajiban otonomi, bersamaan dengan itu menyusut pula
makna otonomi desa. Desa menjadi powerless, kehilangan kewenangan
sekalipun secara ekpslisit dikatakan memiliki otonomi asli. Kini
desa melalui Undang-Undang
Nomor 6 tahun 2014 muncul kembali dan semakin eksplisit
dengan mendasar pada dua pendekatan yaitu Rekognisi dan subsiadiritas.
Kehadiran UU desa ini setidaknya ingin menjawab dua problem utama, yaitu mengembalikan
otonomi asli desa , serta pada saat yang sama mengembangkan otonomi desa untuk membatasi intervensi otonomi
daerah pasca reformasi.
Jika mempelajari substansi pengaturan soal desa dalam batang tubuh, tampak
bahwa rezim desa kali ini dengan jelas menjawab persoalan pertama, yaitu
menegaskan kembali keragaman desa sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh
UU 22/1999 dan UU 32/2004. Desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya
masing-masing berdasarkan hak asal usul yang diakui dan dihormati oleh negara
berdasarkan amanah konstitusi pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Bahkan lebih dari itu rezim ini memberi
tempat bagi tumbuhnya desa adat diluar desa administratif.
Terhadap persoalan kedua tampak bahwa desa diharapkan mampu mengembangkan
otonomi aslinya untuk membatasi kuasa otonomi daerah yang mengancam hingga ke
pori-pori desa dalam praktek
sebelumnya. Untuk
mewujudkan harapan tersebut rezim kali ini memberi senjata yang lebih efektif digunakan desa dalam meningkatkan bargaining
position ketika berhadapan dengan supradesa. Persoalannya adalah apakah pengaturan
soal desa kedepan akan memberi peluang ataukah menjadi ancaman nyata bagi
pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa?
Beberpa prospek pembangunan melalui UU
No 6 tahun 2014 bagi desa dalam implementasinya ialah, Melalui kewenangan yang
diberikan kepada desa, maka kreativitas dan inovasi akan menjadi lebih
menggelora karena didasari adanya demokratisasi desa dengan sedikit
meninggalkan intervensi supra desa.Artinya bahwa selama ini segala bentuk
aspirasi kreativ dan inovasi yang muncul didesa cenderung bergantung pada
petunjuk atau regulasi yang datang dari supra desa dengan sifatnya yang sangat
universal dan kurang membumi pada kondisi desa.
Melalui kewenangan tersebut, Pemerintah
desa dan masyarakat desa akan lebih kreatif dalam mendesain pembangunan desa
berdasarkan kearifan-kearifan desa. Berbagai kondisi dan potensi yang ada
didesa dapat dikembangkan sesuai kebutuhan riil masyarakat dengan mengacu pada
keadaan geografis, lingkungan, kelembagaan, nilai-nilai yang dianuti serta
keyakinan yang dianuti oleh masyarakat desa.
Kondisi ini diyakini akan lebih
aspiratif dan akomodatif karena dapat memungkinkan proses pembangunan yang
partisipatif dan berkelanjutan.
Dalam melaksanakan kewenangan desa
tersebut khususnya dalam peningkatan pelayanan publik dibidang pemerintahan,
pembangunan dan kemsayarakatan, didukung dengan alokasi anggaran yang cukup
signifikan.
Dengan kewenangan yang demikian serta dukungan
dana desa maka desa dalam upaya pelayanan publik dapat menjadi semakin optimal.
Dengan demikian prospek lanjutan dari undang undang desa ini akan lebih
menghidupkan kondisi atau potensi desa yang selama ini tertidur. Ada banyak
potensi desa yang selama ini tertidur yang disebabkan karena kurangya dukungan
dana serta mekanisme aturan yang sangat uniformalis sehingga kurang adaptif dan
akomodatif terhadap potensi desa.
Artinya bahwa dalam mekanisme regulasi
yang selama ini terjadi lebih cenderung bersifat umum dan sangat parsial bila
dikaji dari persoalan desa per desa.atau sebut saja ada penyeragaman aturan
atau regulasi yang bersekala nasional dan regional. Semakin besar dan umum sifat dari suatu
aturan atau regulasi semakin pula menciptakan kesenjangan penanganan potensi,
dan semakin kecil ruang lingkup atau basis sebuah komunitas maka regulasi yang
diperuntukan bagi komunitas itu semakin lebih kompleks, lebih mendalam dan
menjangkau.
Dengan adanya kewenangan dan dukungan
dana tersebut desa menjadi leluasa dalam menentukan pilihan serta kreatif
mendesain pola pembangunan berdasarkan identifikasi persoalan dan kebutuhan
dari persoalan yang paling kecil yang selama ini tidak diakomodir karena lebih
memprioritaskan peroslan lain ditengah kebutuhan prioritas sekumpulan desa atau
daeerah yang ditangani secara luas.
Hal yang akan muncul dari sisi fisik
bisa kita lihat ialah pembangunan sarana dan prasarana disegala bidang, upaya
pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang semakin lebih terarah dan
produktif karena cakupannya hanya berskala desa dan ditangani sendiri oleh desa
bersangkutan.Pengembangan pembangnan lain seperti pengelolaan aset wisata,
produk-produk lokal, pengembangan
kesempatan kerja, pengembangan penamabatan perhau, pengembangan
kelompok-kelompok usaha, pengelolaan pasar desa dan sebagainya.
Selain kewenangan desa, ada prospek lain
yang akan muncul ialah adanya motivasi pemerintah desa dalam dari anmemberikan
pelayanan publik karena secara ekonomi pemerintah desa memperoleh gaji dari
APBN yang dialokasokan ke APBD. Debngan pendapatan yang pastih serta setiap
bulan, serta pendapatan lain yang sah akan mendorong kinerja kepala desa dan
aparatnya untuk semakin lebih bertanggung jawab. Disini akan akan mampu
meminimalisir kecenderungan aparat pemerintah untuk melakukan penyelewengan
seperti korupsi. Hal ini berbeda dengan kehidupan pemerintahan desa sebelum
adanya UU No 6 tahun 2014.
Sementara itu amanat UU No 6 tahun 2014
yang mewajibkan setiap desa untuk memiliki badan usaha milik desa Atau BUMDES
menjadi sebuah terobosan yang akan menghidupkan perekonomian desa. Misalnya
melalui BUMDES, berbagai usaha ekonomi masyarakat dapat menjadi lebih
diberdayakan, berbagai potensi desa dapat dikelola secara bersama yang hasilnya
akan dimanfaatkan untuk pembangunan desa dan kesejatraan ekonomi masyarakat.
Melalui unit-unit pengelolaan Bumdes yang akan dikembangkan akan memungkinkan
terserapnya tenaga kerja serta tereksplorasinya potensi desa.
Dalam pelaksanaan pembangunan desa, dari
kategori desa seperti desa administratif dan desa adat sebenarnya sebuah
konfigurasi sistem yang sangat relevan karena desa adat yang diamanatkan secara
tidak langsung negara telah mengakui akan hak asal usulnya.Sederetan nilai dan
spiritualitas adat yang kini masih kuat di tingkat desa menjadi lebih hidup
kembali sekaligus menjadi pilar yang menopang proses pembangunan dan pelayanan
publik. Di beberapa daerah seperti DI NTT,Di Papua atau di daerah lain
masyarakatnya masih kuat dengan tradisi budaya serta nilai-nilai lokal yang
terkandung di dalamnya. Ada nilai kebersamaan, solidaritas, toleransi serta
kekeluargaan juga struktur-struktur sosial lokal yang masih memiliki pengaruh
yang kuat akan menjadi lebih diberdayakan.
Dengan memberikan kewenangan kepada
desa, maka sebenarnya prospek lain yang juga akan muncul ialah adanya kesadaran
kolektif komunitas yang merasa memiliki dan menghargai dalam proses
pembangunan. Selama ini pembangunan desa yang di desain dari atas telah membuahkan kerapuhan sistem sosial.
Banyak fenomena yang muncul ialah keberpihakan kepada desa melalui daerah atau
sekelompok dari luar disatu sisi mendorong perubahan desa tetapi disii lain
telah memboncengi kepentingan luar yang didominasi oleh sejumlah elemen.
Misalnya pemerintah daerah, politikus dan sebagainya.dengan kewenangan dan
alokasi dana desa ini secara tidak langsung telah meminimalisir ketergantungan
desa terhadap pemerintahan supra desa khususnya di daerah , sekaligus memangkas
rantai politik dewasa ini yang notabene money politik terselubung melalui
sejumlah program pendanaan atau modal.
Ada banyak program yang turun ke desa
menjelang pemilihan umum dengan harapan akan mendapatkan dukungsan konstituen
atau adanya program dana aspirasi dewan legislatif misalnya. Hal ini akan
memicu persoalan transparansi, akuntabilitas serta memandang desa sebagai basis
politik dengan cara politisasi dan sebagainya. Dalam konteks rekognisi refleksi
atas kondisi ini secara lebih mendalam Sutoro Eko (41:2015), mengungkapkan
rekognisi dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas,adat
istiadat,serta pranata dan kearifan lokal sebagai bentuk tindakan keadilan.
Disisi lain demikian Sutoro Eko bahwa
redistribusi uang negara kepada desa
merupakan resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial ekonomi karena
intervensi,eksploitasi dan marginalisasi yang dilakukan oeh negara. Bahkan UU
desa juga melakukan proteksi terhadap desa, bukan hanya proteksi kultural
tetapi juga proteksi desa dari imposisi dan mutilasi yang dilakukan
supradesa,politisi dan investor.
Kehadiran UU ini mempertegas posisi desa
sebagai sebuah identitas.dengan adanya
kewenangan desa dan sejumlah hal lain seperti mengakui hak asal usul desa serta dukungan dana dan penghasilan
aparatur desa akan mendorong terjadinya pembangunan desa yang lebih
partisipatif serta transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pembangunan
desa.
Dalam kaitan dengan kondisi desa yang
saat ini telah terkikis oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semisal
gotong royong, musawarah,partisipasi, solidaritas, pemberdayaan, komunalitas,
kesetaraan dan demokrasi. Semua spirit budaya ini sadar atau tidak sadar telah
luntur oleh adanya sistem pembangunan yang selama ini mengedepankan program
pembangunan ala proyek, sentralist dan top down yang pada ujung-ujungnya adalah
uang.Segala sesuatu dihargai uang. Dengan demikian orientasi uang telah merubah
mindset masyarakat sehingga apapun bentuk kegiatan yang menghendaki partisipasi
selalu dituntut dengan uang. Masyarakat sudah terkontaminasi dan tergantung
dengan uang. Akibatnya modal sosial masyarakat menjadi luntur walaupun uang
adalah hal yang memang harus dimiliki.
Dengan diberlakukan UU no 6 tahun 2014
yang mengamanatkan kewenangan kepada desa untuk mengatur dan mengontrol desanya
sendiri barangkali menjadi suatu prospek konstruktif untuk membangun kembali
kekuatan kekuatan desa seperti modal sosial. Modal sosial menjadi sumber utama
terlaksananya pembangunan desa. Hal ini diperkuat lagi dengan desa adat dan
prinsip pembangunan berbasis kearifan lokal. Artinya bahwa dengan kewenangan
diserahkan kepada desa serta pengakuan atas hak asal usul desa memungkinkan
desa dapat menghidupkan kembali prinsip pembangunan di
desa dengan mengacu pada tuntutan administrasi, tuntutan kearifan lokalnya.
Walaupun
demikian prospek pembangunan kedepan dalam semangat UU No
6 tahun
2014, sejumlah tantangan mesti juga ditelusuri guna menemukan sebuah
upaya antisipatif dan solusi, sehingga kedepannya dapat dilakukan upaya - upaya
prefentif.
Tantangan atau Hambatan
Persoalan Sumber Daya
Manusia: persoalan pendidikan yang rendah serta minimnya Persoalan
sumber daya manusia aparatur desa dalam memahami undang-undang desa serta
penjelasan tentang undang undang desa masih sangat minim. Selain itu
pengetahuan tentang manajemen kepemimpinan, pola dan pendekatan serta strategi
pembangunan dan persoalan lain yang mempengaruhi seperti persoalan politik yang
kadang mempolitisasi desa.
Sementara itu fenomena pengalaman sistem
pembangunan dari masa orde baru hingga masa reformasi saat ini masih kuat dalam
memori masyarakat desa. Fenomena tersebut seperti adanya presepsi bahwa program
pemberdayaan masyarakat masih dipandang sebagai sebuah proyek yang berujung
pada uang.Persoalan dilematis yang lain ialah hilangnya kepercayaan masyarakat
atas pengalaman umum adanya kasus korupsi serta merosotnya moralitas pemimpin
atas komitmen transparansi dalam pelayanan publik. Faktor keteladanan dan
panutan menjadi salah satu faktor penentu partisipasinya masyarakat dalam
pembangunan..
Disisi lain tantangan datang dari adanya
sistem pembangunan yang selama ini terkesan top down dan lebih di dominasi oleh
elite desa, walaupun banyak pihak yang mengatakan reformasi telah merubah
tatanan pemerintahan tetapi dilevel desa khususnya desa-desa yang sangat jauh
dari kondisi perkotaan, masih sangat nampak. Hal ini berkaitan dengan budaya
yang sudah terbentuk selama ini.
Faktor berikutnya adalah besarnya
kewenangan yang diberikan kepada desa melalui UU no 6 tahun 2014 akan pula
memicu persoalan baru. Misalnya dalam uu tersebut walau telah memberi penguatan
kepada BPD dalam melakukan pengwasan tetapi BPD hanya membahas dan menerima
laporan dari masyarakat serta mengawasi kinerja pemerintah desa tanpa adanya
suatu ketegasan yang bersifat punisment akan membuka peluang bagi ksewenangan
administratif pemerintah desa dalam melakukan ketimpangan. Artinya keterlibatan
BPD yang terbatas dan kurang mendetail dalam UU tersebut akan mengurangi sistem
kontrol dari masyarakat melalui wakilnya di BPD. Hal ini beralasan sebab di
dalam Dalam undang-undang tersebut, BPD berada diluar batasan pengertian
pemerintahan desa. sebab pertanggungjawaban akhir tahun anggaran dan akhir masa
jabatan kepala desa disampaikan kepada kepala daerah, dan bukan kepada BPD.
Hal lain yang juga menjadi tantangan
ialah masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dan selama tiga periode. Lamahnya
masa jabatan ini baik secara berturut turut maupun tidak akan membuka ruang
yang memungkinkan terjadinya kesewenangan.
Berbagai persoalan ini menjadi suatu kekuatiran yang akan menjadi
tantangan kedepan ketika negara menghendaki adanya otonomi desa.
Strategi Antisipatif dan solusif
Agar akselerasi pembangunan sebagaimana
semangat UU No 6 tersebut berjalan secara baik dan benar-benar substantif maka
upaya antisipatif dan solusi mesti dicermati
terutama dalam bingkai regulasi, serta agenda pemberdayaan masyarakat.
1.
Upaya solusif teknis regulasi:
Dalam bingkai regulasi UU desa mesti
dipertegas lagi dengan regulasi turunan ditingkat daerah dengan menempatkan persoalan
persoalan substantif yang terjadi dilapangan. Ambiugitas pemahaman terhadap isi
UU desa akan melahirkan multitafsir ditingkat masyarakat dalam pelaksanaannya.h
bentuk pertanggungjawaban secara moril)
Adanya kejelasan aturan aturan teknis yang berkaitan
dengan:
·
Hubungan kewenangan antara pemerintah
desa dengan lembaga lembaga internal Desa, serta lembaga supra desa.
·
Adanya sebuah bentuk chek and balance
dalam pertanggungjawaban Kepala desa dalam hal keuangan dari APBN dan APBD atau
sumber lain kepada pemerintah supra desa tetapi juga perlu adanya suatu
konsensus bersama diantara pemerintah desa dengan masyarakat sesuai mekanisme
lokal atau kearifannya ( sebu h bentuk pertanggungjawaban secara moril). Selama
ini kepala desa mempertanggungjawabakan LKPJ nya kepada Bupati melalui camat
sementara BPD hanya sebagai bentuk keterangan pertanggungjawaban. Hal ini
memicu persoalan dimasyarakat karena ada praktek konspirasi antara lembaga
lembaga desa.
·
Perlu adanya ketegasan aturan yang
berkaitan dengan keterlibatan pemerintah desa dengan partai politik.Demi
menjaga konsistensi serta keseimbangan pemerintahan desa dan hakikat otonominya
maka hendaknya pemerintah desa bersifat otonom dan dilarang secara ketat untuk
terlibat dalam kepengurusan partai.
·
Perlu adanya aturan teknis yang mengatur
tentang kerja sama pemerintah desa dengan tokoh adat demi keberlangsungan
proses pembangunan. Hal ini mengingat eksistensi desa adalah sebuah wilayah
administratif pemerintahan tetapi juga komunitas adat. Kendatipun sudah ada
lembaga adat, namun lembaga adat yang ada adalah bentukan dari sebuah struktur
pemerintah yang memungkinkan intervensi internal antara lembaga tersebut.
Lembaga adat harus menjadi lembaga yang independet yang di bentuk oleh
masyarakat adat berdasarkan struktur sosialnya dan pemerintah desa hanya
sebagai lembaga yang mensahkan. Hal ini harus diikuti dengan aturan teknisnya
secara formal.Lembaga adat tersebut nantinya akan diposisikan sebagai
sataekholders yang bermitra tetapi
bersifat otonom untuk konteksnya.
·
Adanya aturan teknis harus dapat memperjelas kewenangan lokal selain kewenangan
berdasarkan asal-usul, dan kewenangan yang diperbantukan oleh pemerintah
daerah, provinsi dan pemerintah pusat. Hal ini penting sebab kewenangan desa
berskala lokal di setiap daerah sifat tidak seragam, bahkan mungkin tidak ada
kecuali yang telah ada sebelumnya.
Akhirnya, suka atau tidak, ketika desa memiliki kewenangan yang luas, sumber keuangan yang
menjanjikan, masa jabatan yang relatif lama, minimnya kontrol dari masyarakat
dan supradesa, serta
meningkatnya rangsangan pembentukan desa disamping kompetisi sumber daya, maka otonomi desa sekaligus demokrasi desa akan
mengalami cobaan berat yang mungkin akan mendewasakannya, atau sekaligus
mendegradasikannya ketitik nadir yang paling lemah.
2. Strategi Pemberdayaan:
Pemberdayaan merupakan konsep alterntaif pembangunan
yang sudah sejak tahun 1980-an digerakan oleh berbagai kalangan.Walau demikian
ada banyak gerakan pemberdayaan masyarakat melalui sejumlah program pembangunan
selama ini belum juga mengatasi persoalan dan problematika pembangunan
khususnya masyarakat pedesaan. Banyak kesan yang muncul dari berbagai kalangan
yang mengatakan bahwa program pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat saat
ini lebih berorientasi kepada persoalan pembangunan fisik. Agus Purbahari
misalnya mengungkapkan sejumlah pendapat dari berbagai kalangan termasuk
kalangan birokrasi pemerintahan terhadap pelaksanaan program PNPM yang sebaran
kegiatannya didominasi oleh pembangunan fisik sebesar 70 %.
Dengan demikian fenomena ini menempatkan orientasi
pemberdayaan masyarakat menjadi suatu kajian menarik. Hal ini menjadi relevan
ketika hadirnya UU No 6 tahun 2014 yang memandang UU desa sebagai sebuah
peluang dan tantangan. Dari sisi
peluang, UU desa merupakan sebuah
strategi negara dalam memberdayakan masyarakatnya. Dari sisi tantangan, strategi pemberdayaan menjadi sebuah
pendekatan dalam mengantisipasi implementasi UU desa tersebut.
Hal yag perlu
diperhatikan ialah orientasi daripada gerakan pemberdayaan masyarakat.
Pergeseran paradigma pembangunan ke paradigma pemberdayaan telah menempatkan
masyarakat yang dulunya dipandang sebagai obyek pembangunan bergeser menjadi
subjek pembangunan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.Walau demikaian
peratanyaan mungkin bisa mendorong apa yang semestinya di buat dengan
pemberdayaan dalam implementasi UU no 6 Tahun 2014 bila realitasnya masih tetap
seperti sebelum hadirnya UU ini ?
Mengacu pada pergeseran paradigma pemberdayaan
masyarakat Sutoro Eko (2004: 249) mengatakan bahwa orientasi pemberdayaan adalah
masyarakat dan institusi lokal. Hal ini menjadi titik krusial dalam pembangunan
khususnya dalam implementasi UU No 6 tahun 2014. Rasionalisasi yang sangat
sederhana ialah bahwa perubahan yang mendasar dalam menciptakan kemandirian
masyarakat khususnya amanat dari UU tersebut bukan terletak pada alokasi
anggaran miliaran rupiah ke desa, bukan pula terletak pada pemberian kewenangan
desa yang cukup besar atau otonomi desa, bukan pula terletak pada mendorong
penghasilan kepala desa dan aparat melalui APBN dan APBD, atau bukan pula
karena penambahan masa jabatan kepala desa hingga tiga periode atau penambahan
tugas dan fungsi BPD. Perubahan desa juga tidak saja hanya karena UU desa
tersebut mewajibkan setiap desa memiliki BUMdes sebab semua ini boleh dikatakan
sebagai sebuah instrumen yang ikut mendorong perubahan desa tetapi hal yang
paling mendasar adalah bagaimana manusia atau masyarakat yang menggerakan semua
itu termasuk institusi lokal dimana manusia menjalankan tugas dan fungsinya.
Margot Berton dalam Sutoro Eko ( 2004: 249) mengatakan
bahwa gagasan pemberdayaan berangkat dari realitas objektif yang merujuk pada
kondisi struktural yang timpang dari sisi alokasi kekuasaan dan pembagian akses
sumberdaya masyarakat. Pemahaman ini setidaknya merupakan sebuah refleksi
kritis atas ketimpangan sistem pembangunan yang merekomendasikan kepada semua
pihak untuk menempatkan orientasi pemberdayaan yang lebih substantif ditengah
hadirnya UU no 6 tahun 2014.
Masyarakat atau
manusia adalah subjek pembangunan dan institusi lokal adalah sebuah wadah
dimana manusia mengakomodasi dan membobilisasi kepentingan yang bersifat
publik.Dengan demikian maka gerakkan pemberdayaan mesti memperlihatkan manusia
sebagai sebuah “institusi” yang otonom sekaligus yang dinamis.Artinya manusia
adalah sebuah struktur kehidupan yang mewakili dirinya sebagai sebuah
eksistensi. Disisi lain ditengah eksistensinya sebagai manusia yang pribadi
itu, manusia memiliki kedinamisannya ditengah lingkungannya yang selalu
diadaptasinya.
Oleh arena itu gerakan pemberdayaan diarahkan kepada
upaya pengkapasitasan dirinya melalui sejumlah aspek yaitu aspek kognitif,
aspek afeksi dan aspek prilaku. Ketika aspek ini diberdayakan maka harapan
pembangunan yang partisipatif, mandiri dan berkelanjutan akan menjadi jawaban.
Disisi lain ia memiliki sebuah daya yang selektif dalam mengembangkan potensi
diri dan lingkungan dari pengaruh dan perkembangan lingkungan sekitarnya
termasuk institusi sosial lainnya. Harapannya ia akan menjadi lebih kritis,
lebih cerdas, lebih selektif, lebih peka,lebih meras memiliki dan menghargai
dan kemudian mampu mengarahkan bagaimana ia harus bertindak.
UU desa dengan segala rekomendasinya hanya bisa
dilaksanakan manakala manusia dan institusi lokal mampu membangun kekuatan
dirinya untuk mengembangkan dan memanfaatkannya. Untuk itu proses pemberdayaan
masyarakat menjadi sangat penting untuk dilakukan. Terlepas dari hiruk pikuknya
perdebatan yang mencari prioritas pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat
desa, konsep governance menjadi sebuah konsepsi pembangunan yang sinergi dan
kolaboratif.
Hetifa Sj
Sumarto ( ) menyebutkan governance
sebagai sebuah konsep dimana negara mesti membagi peran baik kepada pemerintah, civil society dan
swasta atau pasar. Kondisi ini telah terelisir hampir disemua daerah namun bila
dikritisi lebih jauh, penerpan konsep ini masih menjadi penerapan yang parsial
dan kurang mendekatkan pada realitas lokal. Dalam kaitan dengan implementasi UU
No 6 tahun 2014 maka konsep governance dapat diterapkan ke desa sebagai unit
terkecil dengan memadukan berbagai elemen masyarakat yang ada di desa. Ruang
ini mesti dibuka guna menjawabi kegalauan ditengah hadirnya UU No 6 tersebut.
Walau demikian desa tetap membangun hubungan timbal balik dengan pihak
staekholders luar yang lebih besar.
Memadukan lembaga lembaga sosial desa dalam kearifan
lokalnya menjadi sebuah kekuatan institusional yang non formal itu mesti
diformalkan melalui regulasi di tingkat desa. Hal ini diikuti dengan pembagian
tugas dan fungsi yang dilegalkan melalui keterpaduan legitimasi adat dan desa
sebagai wilayah administrasi pemerintahan. Institusi sosial masyarakat seperti
Pemerintah desa, Tokoh adat dan tooh agama serta organisasi sosial desa yang
ada.
Dalam menerapkan pemberdayaan masyarakat di tengah
hadirnya UU No 6 tahun 2014, Pemerintah di level desa perlu diberikan
sosialisasi, pendidikan dan pembekalan serta pembinaan yang berkelanjutan.
Pihak supra desa adalah fasilitator yang membuka ruang untuk kegiatan ini. Disisi
lain penguatan institusi melalui kesadaran personil kelembagaan menjadi
kekuatan yang menggerakan akselerasi pembangunan secara menyeluruh.
Kreativitas dan inovasi pemerintah desa sangat
diharapkan dan tidak hanya mengacu pada persoalan rutinitas yang formal tetapi
setidaknya dapat lebih agresif dalam membangun desanya. Bagi desa yang sangat
kuat adat budayanya tetapi belum memenuhi syarat sebagai desa adat sebagaimana
amanat UU No 6 karena persyaratan lainnya maka pemerintah desa dan atau
pemerintah supra desa perlu memperhatikan beberapa aturan teknis yang dapat
mengakomodir keterlibatan adat dalam urusan pemerintahan.
Hal ini penting
guna mengkolaborasikan semangat pembangunan yang berbasis kearifan loal. Hal
ini dilandasi pemikiran bahwa dalam uu tersebut telah menyebutkan pembangunan
desa berbasis kearifan loal tanpa ada suatu ketegasan yang jelas.
Arah pemberdayaan masyarakat
diarahkan kepada persoalan ini yakni persoalan manusia dan institusi lokalnya.
Semua ini bertujuan untuk mengaplikasikan UU no 6 tahun 2014 menuju perubahan
desa yang mandiri dan sejahtera. Penulis memandang bahwa berbagai uraian
tersebut diatas merupakan pengalaman yang ada di sejumlah daerah dan desa.
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.