Page Nav

10

Grid

SNIPSET

true
true

Pages

Breaking News:

latest

Reformasi Birokrasi dari Desa

Oleh : Budiman Sujatmiko             ( Anggota DPR-RI )             Pada suatu rapat dengar pendapat antara Menteri Pendayaguna...


Oleh : Budiman Sujatmiko
            ( Anggota DPR-RI )

            Pada suatu rapat dengar pendapat antara Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan Komisi II DPR-RI, dimunculkan gagasan mengenai reformasi birokrasi yang menargetkan Indonesia memiliki birokrasi kelas dunia.
            Saaat itu penulis menungkapkan, untuk mencapai tujuan besar itu hanya mungkin dengan strategi “menjepit” yakni selain dari level paling atas, juga harus mulai dari level paling bawah secara berbarengan.
            Right man on the right place adalah jargon populer dari doktrin birokrasi. Doktrin ini meilihat individu sebagai faktor kunci dalam perbaikan organisasi sosial. Doktrin ini percaya bahwa pemimpin yang baik atau tepat (right man) akan membawa organisasi kearah kebaikan.
            Namun, ada tantangan dari perspektif lain yang menekankan sistem dalam tata organisasi modern. Mereka melihat, yang terpenting adalah “membuat sistem yang didalamnya dapat mengubah orang yang buruk menjadi baik”, bukan “menghabiskan waktu mencari orang baik saja”. Jikaa dikaji mendalam, sesungguhnya doktrin mengenai individu yag tepat dan baik berada dalam posisi lebih lemah. Ada beberapa proposisi yang cukup sulit, misalnya asumsi keterukuran kebaikan, asumsi orang baik tak akan berubah dalam sistem yang buruk dan sebagainya.
            Ini ditunjukkan pada kasus korupsi, misalnya. Kajian Situngkir dan Khanafiah (2006) dari Bandung Fe Institute memperlihatkan, pendekatan sistem (seerti penegakan supremasi hukum) jauh lebih efektif untuk mengurangi korupsi dibandingkan doktrin individual (seperti mekanisme seleksi atau penegakan etika pribadi semata).
            Perlu diingat, demokrasi adalah sebuah sistem tanpa kartu garansi. Tidak ada jaminan kita bisa selalu mendapatkan pemipin yang baik. Demokrsi dapat melahirkan Barrack Obama, tetapi bisa juga meloloskan seorang Aldof Hitler sebagai pemenang proses demokrasi. Sistem garansi secara mandiri rupanya haru kita lacak di tempat lain.
            Sayangnya, 12 tahun pasca-Reformasi, kita hanya sibuk “mencari orang baik” dan mengabaikan “pengembangan sistem”. Pemerintah dan DPR terus didapati agenda fit and proper tes. Dana APBN banyak dialokasikan untuk penyelenggaraan pilkada. Media massa dipenuhi berbagai versi hasil jajak pendapat popularitas individu dari lembaga survei yang berbeda. Di warung-warung, mitologi Ratu Adil atau Satria Piningit terus menjadi kisah tanpa epilog yang menemani tukang ronda minum kopi.
            Sementara alokasi energi untuk pengembangan sistem begitu sedikit. Reformasi birokrasi yang sering didengung-dengungkan masih sebatas permukaan. Ia baru sebatas unsur-unsur bersifat formal, sperti prosedur, aturan hukum, remunerasi, dan anggaran.
            Unsur-unsur formal ini sejatinya hanya jembatan, bukan tujuan reformasi birokrasi. Namun,  entah mengapa, kita sering mengalami disorientasi sehingga lebih banyak mengagumi jembatan dari pada melihat tujuan. Hakikat reformasi birokrasi sejatinya menghasilkan sebuah tata kelola pemerintahan yang mampu menyelesaikan permasalahan dengan cepat, akurat, komprehensif, dan terkoordinasi.
            Tuntutan ini sulit dipecahkan dengan menggunakan paradigma birokrasi hierarkis tradisional yang ada sekarang. Rantai birokrasi yang panjang menyebabkan informasi mengalami delay  dan noise untuk tiba ke pusat kendali birokrasi. Rangkaian rapat  yang bertele-tele dan diwarnai jugdment  subyektif yang begitu kental mengahasilkan solusi kebijakan yang tidak akurat dan sepotong-potong. Penerapan kebijakan kemudian diberlakukan dengan tidak terkoordinasi dan berserak.
            Permasalahan ini dapat diselesaikan lewat perspektif sibernetika, sebuah studi interdisiplin yang mengkaji permasalahan struktur dan manajemen sistem informasi dengan dilandasi perspektif teori kendali, perspektif sistemik dan ilmu biologi. Proyek ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ia sudah diterapkan dalam mengelola perang ataupun manajemen perusahaan. Pada tingkat negara, ia pernah dirintis sebelumnya di Rusia dan Cile.
            Seibernetika memjungkinkan kita melihat masalah di daerah, seperti potensi krisis ekonomi, bencana alam, kriminalitas, konflik sosial, busung lapar atau persebaran penyakit, yang dapt dideteksi dengan cepat oleh “radar siber”. Data tesebut lalu dikalkulasi secara real time dengan perangkat komputasi. Proses ini akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang akan berguna dalam pengambil keptusan di level yang berbeda-beda. Jadi hakikat sibernetika ini melampaui konsep e-goverment atau ruang situasi (situation room) ala pemerintahan sekarang.
            Dari Desa
            Dalam sebuah perbincangan penulis dengan seorang staf ahli Senat AS yang pernah menggagas reformasi birokrasi di negara bagiannya di Texas, didapat penjelasan ini merupakan perkara yang pelik. Gagasan ini baik sering ditafsirkan sebagai bentuk intrik politik kantoran (office politics) ketika upaya perbaikan birokrasi melalui mutasi maupun promosi demi meningkatkan kualitas pelayanan publik berdampak kepada orang-orang tertentu. Ini makin diperparah ketika birokrasi di banyak negeri berkembang kerap kali ditingkahi oleh melilitnya kepentingan-kepentingan politik, terutama dari partai yang sedang berkuasa, baik dilevel nasional maupun daerah.
            Fenomena ini sangat mencolok terutama di lapisan eselon satu depertemen hingga birokrasi di level kabupaten, dimana birokrasi berdempetan secara erat (presiden hingga walikota maupun bupati). Jika demikian halnya, dari mana seharusnya reformasi birokrasi, yang terutama berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik secara efisien itu, bisa dimulai dengan resistensi paling rendah?
            Mulai dari desa. Mengapa? Karena di desalah umpan balik terhadap pelayanan publik, entah baik atau buruk, langsung bisa dirasakan oleh kepala dan perangkat desa secara real time dari masyarakat (sebagai pihak yang harus dilayani). Hal ini dimungkinkan karena tak ada jarak sosiologis, kultural bahkan fisik antara kepala dan perangkat desa dengan masyarakat. Meraka adalah bagian integral dari komunitas mereka sendiri,
Dalam delapan bulan terkhir, hampir setiap akhir minggu penulis bersama rekan-rekan di organisasi kepala dan perangkat desa merintis beberapa pekerjaan awal dari visi ini di sejumlah kabupaten. Pada jangka menengah dan panjang, penulis membayangkan desa-desa di Nusantara dapat terhubung, berkomunikasi, berbagi informasi dan data, berkonsultasi dan berbagi pengetahuan mengenai permasalahan desa, serta melayani kebutuhan masyarakat. Jika terwujud, desa-desa kita akan bertransformasi jadi kekuatan sosial, ekonomi, dan pengetahuan sebagai cetak biru desain tata negara sibernetika kelas dunia.


No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.