Pernyataan Pers Indonesia Corruption Watch - Selama 2016-2017 terdapat 110 kasus korupsi Dana Desa dan Kerugian Negara mencapai Rp 30 Miliar...
Pernyataan Pers Indonesia Corruption Watch
- Selama 2016-2017 terdapat 110 kasus korupsi Dana Desa dan Kerugian Negara mencapai Rp 30 Miliar -
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kali ini komisi antirasuah mengamankan Bupati Pamekasan, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan, Kepala Desa Dassok, serta dua orang aparatur sipil lainnya pada 2 Agustus 2017 lalu. Adapun OTT KPK kali ini terkait dengan dugaan suap ke penegak hukum untuk menghentikan penanganan kasus korupsi penyelewengan dana desa.
OTT tersebut diawali dengan laporan masyarakat tentang dugaan penyimpangan anggaran dalam proyek infrastruktur senilai Rp 100 juta yang menggunakan anggaran dana desa ke Kejaksaan Negeri Pamekasan. Laporan ini pun sempat ditindaklanjuti oleh pihak Kejaksaan dengan melakukan pengumpulan bahan dan keterangan. Namun ternyata terdapat komunikasi lebih lanjut antara Kejaksaan dengan Pemerintah Kabupaten Pamekasan yang telah menyepakati bahwa penanganan kasus ini akan dihentikan apabila pihak Pemerintah Kabupaten Pamekasan menyerahkan komitmen fee sebesar Rp 250 juta kepada Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan.
Tak hanya sampai disitu, Agus selaku Kepala Desa pun terlibat langsung dalam upaya menghentikan penyelidikan kasus tersebut dengan cara berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Pamekasan agar memberikan uang suap kepada Kajari Pamekasan.
Kasus ini membuktikan bahwa korupsi sehubungan dengan dana desa semakin sistemik, tidak hanya melibatkan kepala desa tetapi juga kepala daerah dan aparat penegak hukum. Kasus ini juga menunjukkan bahwa layaknya yang telah umum dalam korupsi di sektor lain, korupsi desa dapat merambah pada upaya suap aparat penegak hukum agar kasus tersebut dapat segera dihentikan.
Pantauan ICW atas kasus Korupsi Dana Desa
Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan pemantauan tentang praktik korupsi penggunaan dana yang ditangani pada 2016 hingga 10 Agustus 2017. Dari hasil pemantauan ICW, terdapat sedikitnya 110 kasus korupsi anggaran desa yang telah diproses oleh penegak hukum dan diduga melibatkan 139 orang pelaku. Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan mencapai sedikitnya Rp 30 miliar. Terjadi peningkatan jumlah kerugian korupsi dana desa pada 2017 (Hingga Agustus) yakni 19,6 miliar rupiah, sementara pada tahun 2016 mencapai angka 10,4 miliar rupiah. [1]
Dari segi aktor, 107 dari 139 pelaku merupakan kepala desa. Aktor lain yaitu 30 perangkat desa dan istri kepala desa sebanyak 2 tersangka. Banyaknya jumlah Kepala Desa yang menjadi tersangka menunjukkan bahwa banyak kepala desa yang tidak melaksanakan kewajiban kepala desa sebagaimana diatur dalam UU Desa. Pasal 26 ayat (4) UU tersebut menyebutkan bahwa Kepala Desa berkewajiban melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Dari pantauan ICW, teridentifikasi tujuh bentuk korupsi yang umumnya dilakukan pemerintah desa, yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, mark up, laporan fiktif, pemotongan anggaran dan suap.
Tujuh bentuk korupsi tersebut menunjukkan terdapat lima titik rawan korupsi dalam proses pengelolaan dana desa. Lima titik rawan tersebut adalah pada: 1. proses perencanaan; 2. proses pertanggungjawaban; 3. proses monitoring dan evaluasi; 4. proses pelaksanaan; dan 5. proses pengadaan baranng dan jasa dalam hal penyaluran dan pengelolaan dana desa.
Sedangkan modus korupsi dana yang berhasil terpantau antara lain
1. Membuat Rancangan Anggaran Biaya di atas harga pasar.
2. Mempertanggungjawabkan pembiayaaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain.
3. Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan.
4. Pungutan atau Pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten.
5. Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa atau jajarannya.
6. Pengelembungan (Mark Up) pembayaran honorarium perangkat desa.
7. Pengelembungan (Mark Up) pembayaran Alat tulis kantor.
8. Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak.
9. Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun diperuntukkan secara pribadi.
10. Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa.
11. Melakukan permainan (Kongkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa.
12. Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.
Faktor penyebab korupsi dana desa beragam. Faktor paling mendasar adalah kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan dana desa. Akses masyarakat untuk mendapatkan informasi pengelolaan dana desa dan terlibat aktif dalam perencanaan dan pengelolaan pada praktiknya banyak dibatasi. Padahal, pasal 68 UU Desa telah mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan dilibatkan dalam pembangunan desa. Pelibatan masyarakat ini menjadi faktor paling dasar karena masyarakat desa lah yang mengetahui kebutuhan desa dan secara langsung menyaksikan bagaimana pembangunan di desa.
Faktor kedua adalah terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa. Keterbatasan ini khususnya mengenai teknis pengelolaan dana desa, pengadaan barang dan jasa, dan penyusunan pertanggungjawaban keuangan desa.
Faktor ketiga adalah tidak optimalnya lembaga-lembaga desa yang baik secara langsung maupun tidak memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat dan demokrasi tingkat desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lainnya.
Faktor keempat yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah penyakit cost politik tinggi akibat kompetitifnya arena pemilihan kepala desa. Meningkatnya anggaran desa disertai dengan meningkatnya minat banyak pihak untuk maju dalam pemilihan kepala desa tanpa agenda dan komitmen membangun desa.
Selain hasil pemantuan ICW, data dari pihak Kementerian Desa dan KPK pun semakin menunjukkan bagaimana maraknya penyalahgunaan dana desa. Kementerian Desa telah menerima 200 laporan pelanggaran administrasi dari 600 laporan tentang dugaan penyelewengan dana desa. Sebanyak 60 laporan penyelewengan dana desa telah diserahkan kepada KPK. Data KPK menyebutkan sejak Januari – Juni 2017, KPK sudah menerima 459 laporan mengenai dugaan korupsi dana desa.
Mencegah Perluasan Korupsi Dana Desa
Meningkatnya korupsi dana desa harus dijawab dengan mencari solusi dari empat faktor korupsi desa diatas. Jika tidak, korupsi desa akan semakin meningkat dan mengganggu agenda membangun dari desa serta mensejahterakan masyarakat desa. Anggaran dana desa yang meningkat setiap tahunnya dikhawatirkan tidak banyak mengubah problem desa apabila korupsi desa tidak ditindak serius. Padahal, kebijakan penyaluran anggaran ke desa merupakan kebijakan yang patut diapresiasi.
Agar korupsi desa tidak berlanjut dan cita-cita yang melatarbelakangi semangat desentralisasi kewenangan dan anggaran ke desa dapat dicapai, perlu dilakukan tiga hal, yaitu:
Pertama, upaya pencegahan melalui penguatan fungsi pengawasan formal dan non formal. Peran serta masyarakat adalah pengawasan yang diyakini paling efektif sehingga penting dijamin implementasinya. Dalam hal ini, komitmen pemerintah desa dalam membuka akses informasi dan ruang keterlibatan masyarakat penting dilakukan.
Kedua, BPD perlu lebih maksimal dalam menyerap aspirasi dan mengajak masyarakat aktif terlibat dalam pembangunan desa, dari pemetaan kebutuhan desa, perencanaan, pengelolaan, hingga pertanggungjawaban. Bahkan, peran masyarakat juga penting dalam ruang elektoral desa.
Selain pengawasan masyarakat, pengawasan formal perlu dioptimalkan. Kementerian Desa telah membentuk Satuan Tugas Dana Desa yang bisa memaksimalkan pengawasan serta memberikan pelatihan bagi pendamping dan Kepala Desa. Hal lain adalah pentingnya bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) untuk memperkuat kapasitas perangkat desa. Hingga saat ini, upaya tersebut belum terang terlihat. Padahal pengelolaan anggaran desa utamanya dengan kehadiran dana desa yang teramat besar mesti ditunjang dengan kualitas sumber daya manusia yang baik. Tidak menutup kemungkinan korupsi marak terjadi akibat ketidaktahuan atau ketidakmampuan perangkat desa dalam mengelola anggaran. Oleh sebab itu jika penguatan kapasitas tidak dilakukan maka penyelewengan akan terus terjadi.
Pada sisi lain perlu dibentuk inisiatif bersama antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk mensinergikan inisiatif maupun inovasi yang telah lahir untuk mengawal dana desa. Sejauh ini, telah lahir pelbagai inovasi seperti contohnya Open Data Keuangan Desa. Inisiatif tersebut dapat memberikan sumbangsih penting bagi perbaikan tata kelola desa sekaligus mencegah korupsi.
Kedua, upaya penindakan dan pemberian efek jera. Peran aparat penegak hukum menjadi penting, kejadian seperti di Pamekasan tidak boleh terulang kembali. Perlu ada koordinasi yang baik antara Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK. Tentu lembaga seperti KPK tidak bisa diberikan beban tanggungjawab yang begitu besar untuk mengawasi setiap alokasi dana desa di seluruh Indonesia. Hal ini mengingat ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) KPK yang tergolong minim, sehingga mustahil apabila diharuskan untuk mengawasi seluruh desa di Indonesia. Justru Kejaksaan dan Kepolisian bisa ambil peran untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum dalam pengalokasian dana desa serta implementasinya di daerah.
Sebagai pemberian efek jera untuk pelaku, selain proses pidana maka sebaiknya pemerintah (daerah) melakukan pemecatan atau pemberhentian bagi Kepala Desa atau Perangkat Desa yang terbukti melakukan praktek korupsi. Pemecatan juga sebaiknya dilakukan terhadap Lurah atau Camat yang melakukan pungutan liar atau pemotongan penyaluran anggaran dana desa ke Kepala Desa.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan perbaikan secara menyeluruh terkait penyaluran dan pengelolaan dana desa. Evaluasi ini menjadi penting agar kejadian-kejadian seperti di Kabupaten Pamekasan tidak terulang kembali. Sebaiknya Pemerintah menindaklanjuti rekomendasi dari KPK agar proses pengelolaan dana desa diubah sistemnya agar lebih sederhana dan tidak tumpang tindih.
Berdasarkan regulasi yang ada, saat ini ada tiga Kementerian yang mengurusi dana desa. Kementerian Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan desa. Sedangkan penyaluran dana desa oleh Kementerian Keuangan. Penggunaannya oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Ketika dana desa tersebut dikorupsi maka tidak ada pihak yang bertanggung jawab dari hulu ke hilir.
Sepanjang evaluasi dan perbaikan belum dilakukan maka sebaiknya pemerintah membatalkan keinginan untuk menaikkan anggaran dana desa pada tahun 2018 mendatang sebesar hampir Rp 120 triliun. KPK sendiri mengusulkan adanya pengurangan anggaran dana desa yang dikucurkan pemerintah pada tahun 2018 hingga 5 persen. Tanpa ada perbaikan, kenaikan anggaran dana desa sebaiknya tidak dilakukan secara drastis untuk mencegah semakin berkembang koruptor dari desa.
Jakarta, 11 Agustus 2017
Almas Sjafrina – Egi Primayogha – Kurnia Ramadhana
Indonesia Corruption Watch
Sumber :
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.