Nyaris dari kita semua sepakat bahwa rokok hanya merupakan gaya hidup. Meski saya sendiri bukan perokok, namun saya mengimani bahwa rokok te...
Nyaris dari kita semua sepakat bahwa rokok hanya merupakan gaya hidup. Meski saya sendiri bukan perokok, namun saya mengimani bahwa rokok telah menjadi trend gaya hidup banyak orang, dan sebagian orang mungkin menyebutnya sebagai kebutuhan (dalam) hidup. Pikiran liar saya malah menganggap bahwa rokok merupakan bagian dari hidup itu sendiri. Pasalnya, bungkus rokok selalu berkata; “merokok membunuhmu” itu artinya merokok merupakan salah satu variable yang determinan dalam menentukan hidup-mati seseorang. Dan dewasa ini hal-ihwal rokok mulai ramai diperbincangkan khalayak, bukan soal halal-haramnya, namun lebih pada soal harganya yang melambung tinggi.
Sebagaimana dilansir Kompas.com, adalah Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, yang melakukan ijtihad riset kepada 1000 orang melalui telepon dalam kurun waktu Desember 2015 hingga Januari 2016. Sebanyak 76 persen perokok setuju jika harga rokok dan cukai dinaikkan. Hasil riset juga menunjukkan bahwa 72 persen responden mengatakan akan berhenti merokok jika harga rokok di atas 50.000 rupiah.
Kebijakan menaikkan harga rokok dan cukai sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh negara-negara lainnya. Pasalnya, harga rokok di Indonesia memang paling murah dibanding harga rokok di negara lain. Di Singapura misalnya, harga rokok mencapai 120.000 rupiah, sedangkan (kemarin) di Indonesia hanya 12.000 rupiah saja.
Seperti biasa, menyoal kebijakan Pemerintah, suara Pro-Kontra itu pasti ada. Terlepas setuju atau tidak, itu kembali kepada diri kita sendiri. Namun alangkah baiknya jika melakukan kaidah yang berbunyi al khuruju minal khilafi mustahabun, alias keluar dari polemik pro-kontra, sembari mengambil hikmah yang terserak di balik aktivitas ‘merokok’.
Pertama, dengan rokok –yang bungkusnya penuh ancaman membunuhmu– bisa mengingatkan smoker kepada kematian. Dengan resiko mati yang cuma sejengkal jari dan sedekat nadi, karena hidup penuh ancaman ‘dibunuh’ rokok sendiri, mereka pasti waspada dan selalu dzikrul mautialias ingat mati. Sebagaimana termaktub dalam Kitab Mutammimah karya Syekh al ‘Allamah Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrohman Arru’aini Al Maliki yang berbunyi “shohhi syammir wa laa tazal dzakirol mauti ~ fanisyaanuhu dzolalun mubinu” terjemahan bebasnya adalah ‘waspadalah dan jangan pernah lupa untuk mengingat mati, karena melupakan resiko kematian adalah kesesatan yang nyata.
Kedua, ada adagium yang berbunyi al istiqomatu khoirun min alfi karomah, artinya konsistensi dalam suatu hal itu jauh lebih baik daripada seribu kemuliaan. Dengan begitu orang yang tetap mempertahankan aktivitas merokok artinya dia istiqomah dan lebih baik daripada seribu kemuliaan sekalipun. Sebagaimana anekdot “merokok ketika harga murah itu wajar, tapi merokok ketika harga mahal itu sangar,” seloroh seorang teman
Ketiga, ada fakta menarik yang ditemukan oleh seorang ahli kimia organik; Dr. Getha Zahar, yang menemukan terapi rokok untuk pengobatan kanker. Istilah yang dipakainya adalah terapi rokok divine atau divine kretek, yakni meniupkan asap rokok ke dalam lubang telinga, hidung, mulut pasien. Yang digunakan memang bukan rokok yang dijual di pasaran, karena dibuat dengan tembakau tingwe alias linthing dewe (racikan sendiri), tapi aktivitas mengobatinya tetap merokok bukan?
Keempat, merokok membuat sense of giving dan jiwa sosisal seseorang menjadi tinggi. Lazimnya dalam sebuah majlis ketika seorang perokok mau merokok, mereka menawarkan rokok kepada orang-orang di sekitarnya. “Monggo rokok, mas…” begitu kurang lebih ujarnya sembari menyodorkan bungkus rokok. Selain ada himmah dan usaha untuk memberi, ia juga melakukan ajaran Rosulullah untuk mendahulukan orang lain dalam urusan dunia. Lebih dari itu, sesama perokok biasanya saling peduli dengan ‘menyediakan’ nyala api korek kepada kawan yang lain.
Kelima, dengan naiknya harga rokok akan membuat penikmatnya semakin bersemangat dalam ikhtiyar mereka mencukupi kebutuhan. Anggaran biaya (gaya) hidup membengkak, maka harus putar otak, kreatifitas dalam usaha dan semangat bekerja semakin dipacu. Sebab mereka menyakini kaidah fiqih al ajru ala qodri ta’ab, bahwa sebuah nilai sebuah upah itu disesuaikan dengan tingkat kesulitan dalam melakukannya. Jadi biarlah rokok mahal itu menjadi salah satu motivasi mereka untuk bekerja lebih giat.
Keenam, di jagad sosial media banyak taggar #KamiTidakPanik muncul dalam merespon harga rokok yang meroket. Hal ini adalah refleksi sebuah tawakkal tingkat tinggi seorang hamba pada jaminan rejeki Tuhannya. Justru jika Tuhan mentakdirkan harga rokok mengalami kenaikan, maka ada probabilitas bertambahnya rejeki yang dijatahkan. Sebab mereka meyakini suatu ayat Al Quran; Laa yukallifulllahu nafsan illa wus’ahaa, bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya.
Ketujuh, merokok menambah rejeki kenikmatan. Ada quote ala santri yang berbunyi Ni’matul ududi ba’dad dhahaar, kenikmatan merokok adalah setelah makan. Maka lazimnya semakin nikmat ditabur seyogyanya kita semakin bersyukur, dan semakin bersyukur rejeki pasti ditambah nikmatnya. Sebagaima janji Allah dalam Al Quran; La in syakartum La azidannakum. Jika kalian bersyukur maka akan Aku (Allah-red) tambahi nkmat kepada kalian. Maka, nikmat mana lagi yang kau dustakan? Merokok –yang sering dianggap buruk– bisa jadi membuat penikmatnya lebih bertaqwa dibanding mereka yang tak merokok namun hanya bisa mencerca. Wallahu A’lam. (yeabe-69)
–Yanuar Aris Budiarto, santri MUS-YQ, Yanbu’ul Quran Kudus. Alumnus Hubungan Internasional UNWAHAS Semarang.
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.