Oleh : Rachmanto M.A JALANDAMAI.ORG -Caroline Tyan (2017), dalam artikelnya Nationalism in the age of social media , menjelaskan bahwa m...
Oleh : Rachmanto M.A
JALANDAMAI.ORG-Caroline Tyan (2017), dalam artikelnya Nationalism in the age of social media, menjelaskan bahwa media digital merupakan penguat dari nasionalisme. Media cetak, yang membantu memunculkan negara-bangsa sebagai bentuk utama komunitas politik, dimulai pada abad 17. Media cetak tersebut merupakan sarana penyebaran ide dari beberapa pihak ke banyak pihak, sementara media internet menghubungkan secara bersamaan dari banyak pihak ke banyak pihak. Kedua jenis media ini menjadi alat konektivitas yang dikendalikan secara emosional, dimana komunitas politik -negara, wilayah, sekte, suku- dibayangkan kembali. Tetapi media sosial memiliki dua kekuatan yang bersifat kontradiktif. Pertama, memperbesar individu untuk mengekspresikan opini dan menumbuhkan diskusi. Kedua, memantapkan masyarakat berdasarkan konsep identitas yang sempit dan eksklusif.
Poin kedua di atas perlu diperhatikan. Saat ini, perkembangan media digital begitu masif. Tidak seperti media cetak yang membutuhkan proses lama untuk memproduksi dan berdaya jelajah pendek. Media online dapat terbit setiap saat dengan konten yang selalu berubah setiap detiknya. Sebarannya pun tanpa batas. Hal inilah yang menyebabkan media digital sering dimanfaatkan dengan tidak bijak. Padahal jika dikelola dengan baik dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, media di dunia maya dapat berperan penting menamankan dan menyuburkan nilai-nilai nasionalisme di masyarakat.
Nasionalisme adalah hal penting yang wajib dimiliki generasi milenial. Konsep ini telah lama digaungkan oleh para pendiri republik ini. Lihat saja ungkapan Soekarno berikut, “Saya berjuang sejak tahun 1918 sampai dengan 1945 sekarang ini untuk weltanschauung. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri kemanusiaan, untuk permusyawaratan, untuk social-rech-vaardigheid, untuk ketuhanan. Pancasila itulahyang berkobar-kobar di dalam dada saya berpuluh tahun” (Soekarno, dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, dikutip dari Untold Stories: Bung Karno, Cindy Adams, 2018: xxxv).
Bangsa yang tergerus rasa nasionalismenya, akan menjadi bangsa yang rapuh. Semangatnya untuk berkontribusi terhadap negeri pun perlahan tergerus hingga akhirnya lenyap. Kita bisa belajar dari runtuhnya berbagai bangsa di dunia akibat hilangnya semangat persatuan dan rasa mencintai tanah airnya. Disinilah urgensi nasionalisme untuk mengokohkan persatuan. Anthony D. Smith (2013) -dalam Nationalisme: Theroy, Ideology, History- menjelaskan nasionalisme sebagai ideologi yang menempatkan bangsa sebagai pusat perhatiannya. Tujuan umum nasionalisme ada tiga: otonomi nasional, persatuan nasional, dan identitas nasional. Maka pengertian nasionalisme adalah sebuah gerakan ideologi untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, persatuan dan identitas suatu populasi yang sebagian anggotanya merupakan bangsa yang bersifat aktual atau potensial.
Konsep nasionalisme di Indonesia semakin lengkap karena kita memiliki Pancasila yang dapat menyatukan masyarakat. Jika Pancasila dapat dijalankan dengan konsisten, ikatan kebangsaan kita akan semakin kokoh. Abdullah Ahmed an-Naim (2007: 442), menyatakan Pancasila secara fundamental merupakan kerangka yang kuat dan memungkinkan pendefinisian konsep kewarganegaaan berdasarkan alasan-alasan sekuler maupun agama. Pancasila memiliki komitmen terhadap pluralisme, toleransi agama, dan sosial. Sehingga Pancasila sangat berperan dalam pengembangan etos kewarganegaraan yang inklusif.
Memasuki usia 73 tahun hadirnya Republik Indonesia, seluruh warga negara perlu menyadari urgensi loyalitas kepada bangsa ini. Kesetiaan yang bukan hanya tercetus di lisan, tetapi perlu diejawantahkan dalam praktik nyata berbangsa dan bertanah air. Mencintai negeri ini dengan sepenuh jiwa. Memberikan pengorbanan terbaik demi tegaknya negara-bangsa Indonesia. Seperti idaman para pendahulu bangsa ini. Kita butuh orang-orang yang lebih gemar memikirkan bagaimana menyinergikan keberagaman masyarakat untuk kesejahteraan bersama, daripada sibuk mempertentangkan perbedaan. Fokus membangun negeri, bukan menghancurkan negeri. Peran inilah yang harus diambil generasi muda Indonesia, agar kejayaan bangsa ini dapat segera diraih.
Hal-hal diatas dapat diusahakan melalui pemanfaatan teknologi informasi. Media online, ruang sosial media, gadget, dan beragam teknologi lainnya berperan penting menyebarkan rasa nasionalisme kita. Masing-masing generasi dapat berkontribusi untuk membangun bangsanya. Jika pendahulu kita menggunakan bambu runcing dan senjata sekedarnya untuk merebut kemerdekaan, maka generasi kini dapat menggunakan gadget untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan sekaligus menyebarkan kecintaan terhadap Ibu Pertiwi.
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.