Oleh : Ngarjito Ardi JALANDAMAI.ORG -Kekerasan atas nama agama, beberapa dekade ini semakin meningkat. Baik itu kekerasan yang verbal dan f...
Oleh : Ngarjito Ardi
JALANDAMAI.ORG-Kekerasan atas nama agama, beberapa dekade ini semakin meningkat. Baik itu kekerasan yang verbal dan fisik. Tindakan ini semakin mengaburkan peran agama sebagai penyempurna akhlak manusia. Di mana agama memberikan aturan-aturan yang begitu detail dalam kehidupan manusia, terlebih agama Islam.
Ironisnya, mereka yang melakukan kekerasan atas nama agama, selalu menampilkan identitas sebagai orang yang taat dalam menjalankan ritual agama. Penampilan identitas tersebut menambah buruk keadaan wajah agama yang suci itu. Ritual agama seharusnya digunakan sebagai tangga dalam penyempurnaan akhlak manusia. Dan tempat tertinggi dalam keberagaman seseorang adalah akhlak itu sendiri.
Kegelisahan-kegelisahan tersebut kemudian direspon oleh KH. Mustofa Bisri dalam bentuk buku. Dalam kumpulan tulisan ini, beliau memberikan sebuah tindakan bagaimana kita tidak hanya saleh secara spiritual tetapi juga salah secara sosial. Kedua hal ini tidak bisa terpisahkan. Buku ini menjadi oase dan media selayang pandang bagi pembaca. Namun, bagiku sosok Gus Mus adalah sebuah potret sosok yang anti-mainstream ditengah-tengah ulama halal-haram yang merebak di Indonesia.
Dalam kumpulan buku-buku ini, Gus Mus membicarakan secara detail bagaimana seseorang yang beragama dan bersosial harus selaras dan berkesinambungan. Kedua hal tersebut memiliki hal yag sama dan saling berkaitan satu sama lain.
Membicara Gus Mus, tidak bisa terlepas dari “ kesalehan ritual ” dan “ kesalehan sosial ”. Dengan “ kesalehan ritual ” mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadat mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan sholat, puasa, dan seterusnya; namun tidak perduli akan keadaan sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hanya mementingkan hablun minallah.
Sedangkan yang mereka maksud dengan “kesalehan sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok pertama dalam melakukan ibadat seperti sembayang dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minan naas.
Gus Mus selalu berbicara dan berkarya melalui fenomena kehidupan beragama kaum Muslim itu sendiri, dimana memang sering dijumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”.
Padahal semuanya tahu tentang hablun minallah dan hablun minan nas. Semuanya membaca ayat, “Udkhuluu fis silmi kaffah !”( tahu bahwa kesalehan dalam Islam secara total !). Masak mereka ini tidak tahu bahwa kesalehan Islam pun mesti komplit, meliputi kedua kesalehan itu.
Dan bagi mereka yang memperhatikan bagaimana Nabi Muhammad saw. Berpuasa,dan saat beliau memberi petunjuk bagaimana seharusnya orang melaksanakan puasa yang baik, niscaya tak akan ragu-ragu lagi akan ajran yang memperlihatkan kedua aspek tersebut sekaligus. Dengan kata lain, takwa yang menjadi sasaran puasa kaum Muslim, sebenarnya berarti kesalehan total yang mencakup “ kesalehan ritual ” dan “ kesalehan sosial ”. Kecenderungan perhatian sesorang terhadap salah satunya, tidak boleh mengabaikan orang lain.
Gus selalu menjelaskan agar selalu menjadi muslim yang berkesalehan total. Dengan cara demikian, muslim tidak mudah mengkafirkan atau menyesatkan orang lain. Tidak hanya itu, dengan kesalehan secara total akidah seseorang tidak mudah tergoyahkan dengan jabatan atau materi; apalagi dengan mie instan.
Kumpulan esai-esai Gus Mus ini membuat kita mempertanyakan kembali tentang kesalehan kita selama ini. Memberikan pandangan berbeda dengan kyai-kyai lainnya. Tidak hanya itu, titik tekan dalam buku ini adalah bagaimana seseorang yang memiliki agama tidak menindas orang yang tidak beragama. Bahkan orang yang beragama tidak memerkan ke publik, dan yang terpenting adalah beragama itu seperti “kelamin”. Setiap orang wajib memiliki, tetapi tidak memaksa orang lain untuk memeluk.
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.