Satu desa, satu rencana dan satu anggaran merupakan semangat dan perspektif yang paling menonjol dalam UU Desa. Semangat ini s ejalan denga...
Satu desa, satu rencana dan satu anggaran merupakan semangat dan perspektif yang paling menonjol dalam UU Desa. Semangat ini sejalan dengan prinsip kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa diatur dan diurus sendiri oleh desa, perspektif “satu desa, satu rencana, satu anggaran” dimaksudkan untuk dua hal.
Pertama, desa mempunyai hak kewenangan untuk mengambil keputusan tentang perencanaan dan penganggaran secara mandiri, sesuai dengan konteks dan kepentingan masyarakat setempat.
Kedua, membentengi imposisi dan mutilasi proyek masuk desa yang datang dari K/L maupun SKPD, yang selama ini membuat desa sebagai outlet atau pasar pe rencanaan dan penganggaran.
Perencanaan desa sebagai bentuk keputusan lokal itu merupakan jantung kemandirian desa. Desa mengambil keputusan kolektif yang menjadi dasar pijakan bagi eksistensi desa yang bermanfaat untuk warga. Salah satu keputusan penting yang diambil dalam perencanaan desa adalah alokasi anggaran, khususnya ADD, yang tidak hanya untuk membiayai konsumsi pemerintah desa, bukan juga hanya untuk membangun prasarana fisik desa, tetapi alokasi untuk investasi manusia dan pengembangan ekonomi lokal yang berorientasi untuk penanggulangan kemiskinan.
Konsep dan praktik perencanaan desa itu sendiri mempunyai makna “merebut negara”, mengingat ia berupaya menerobos rezim pemerintahan, rezim perencanaan, rezim pembangunan dan rezim demokrasi yang selama ini mengabaikan desa.
Kapasitas dan Kinerja Desa
Kapasitas dan kinerja desa dalam pemerintahan dan pembangunan merupakan komponen penting dalam kemandirian desa. Banyak pihak, termasuk pemerintah desa, selalu menyebut kapasitas merupakan komponen sentral kemandirian desa, tetapi mereka selalu mengatakan bahwa kemampuan desa sangat terbatas, sehingga yang terjadi adalah ketergantungan desa kepada pemerintah. Karena argumen ini, mereka meragukan kemandirian desa dan efektivitas UU Desa. Karena ragu, maka pemerintah daerah selama ini menempuh jalan pembinaan (yang diplesetkan menjadi pembinasaan) dan imposisi (pemaksaan) terhadap desa, minus fasilitasi.
Pembinaan hadir dalam bentuk ceramah yang berisi perintah-petuah “harus begini” dan “tidak boleh begitu” yang membuat ketakutan orang desa. Imposisi hadir dalam bentuk kebijakan, regulasi maupun program paket dari atas; mulai dari aturan ADD yang sangat rigid sampai dengan pembentukan BUM Desa secara serentak dan seragam di seluruh desa.
Atas aturan ADD yang rigid membuat desa tidak leluasa bergerak, ibarat hanya disuruh untuk belanja, dan tidak jarang kepala desa yang kritis berujar: “kami diberi beras tetapi tidak boleh memasaknya”. Fasilitasi, dalam bentuk pelatihan atau asistensi teknis, hanya diberikan secara minimal oleh pemda melalui bentuk patahan-patahan proyek yang dangkal. Karena miskin fasilitasi maka wajar kalau kapasitas dan kinerja desa sangat lemah.(*)
*Catatan ini disadur dari "Buku Desa Membangun Indonesia."
Sumber : https://risehtunong.blogspot.co.id
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.