Terdapat empat cara pandang terhadap keberadaan desa, sebagimana dipaparkan di bawah ini: Perspektif 1: memandang desa hanya sebagai wilayah...
Perspektif 1: memandang desa hanya sebagai wilayah administratif, yang kemudian melahirkan desa birokratis, dengan cirikhas: pemerintah desa lemah dan masyarakat juga lemah. Cara pandang ini terjadi juga dalam praktik, terbukti banyak desa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang tidak memiliki pemerintahan desa yang kuat dan masyarakat yang kuat. Desa semacam ini tidak menghadirkan kepala desa sebagai pemimpin lokal yang kuat, kecuali hanya sebagai pesuruh atau “mandor” yang meenjalankan tugas-tugas administratif dari atas. Desa tidak memberikan manfaat kepada warga secara hakiki, kecuali hanya memberikan pelayanan administratif. Demikian juga dengan kondisi masyarakat yang tidak memiliki inisiatif dan swadaya yang kuat, kecuali hanya tergantung pada bantuan dari pemerintah.
Perspektif 2: memandang desa sebagai kepanjangan tangan negara, atau disebut sebagai desa korporatis. Desa semacam ini menampilkan pemerintah desa, khususnya kepala desa, yang kuat dalam melayani warga dan mengontrol masyarakat, sebagaimana diterapkan oleh Orde Baru dengan UU No. 5/1979. Masyarakat sipil tidak tumbuh di desa, sehingga melahirkan kepala desa yang dominatif dan otokratis tanpa kontrol dari masyarakat.
Perspektif 3: memandang desa sebagai persekutuan masyarakat (self governing community). Ada dua aliran dalam cara pandang ini. Pertama, aliran komunitarian klasik yang memuja komunitas (masyarakat adat), sebuah komunitas yang sangat kuat memiliki ikatan komunal dan kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya lokal sebagai property rights mereka. Termasuk memiliki demokrasi komunitarian, yakni demokrasi yang menolak kebebasan individu dan lebih mengutamakan kebaikan bersama. Kedua, aliran libertarian, yang memadang desa tidak perlu memiliki pemerintah desa yang kuat, juga tidak perlu didukung dengan demokrasi perwakilan melalui Badan Perwakilan Desa (BPD). Masyarakat, termasuk individu anggota masyarakat, menjadi titik central perhatian cara pandang ini. Artinya setiap individu harus kuat, sadar akan hak-haknya, dan kemudian membangun modal sosial (social capital) serta melakukan aksi kolektif dalam wadah masyarakat untuk mencapai kehendak dan tujuan kolektif itu.
Perspektif 4: memandang desa bukan sekadar kampung halaman, perkumpulan komunitas, pemukiman penduduk atau wilayah administratif, tetapi sebagai entitas seperti “Negara kecil”. Konsep “Negara Kecil” sengaja kami beri “tanda petik” karena kami posisikan sebagai sebuah metafora yang bisa memudahkan pemahaman.
Diolah dari Modul Pelatihan Pendamping Desa
Oleh : Asep Jazuli ( Pendamping Lokal Desa ) di Kabupaten Sumedang***
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.