Oleh : Borni Kurniawan Sa'dunaa fiid dunya Fauzuna fiil ukhro Bi khodijatal qubro Wa faatimataz zahroo Bait kasidah di atas mengingatka...
Oleh : Borni Kurniawan
Sa'dunaa fiid dunya Fauzuna fiil ukhroBi khodijatal qubroWa faatimataz zahroo
Bait kasidah di atas mengingatkan penulis pada sosok mbah Maimun. Karena saat mendendangkan kasidah tersebut sebagaimana viral di youtube, seakan-akan beliau menyampaikan pesan agar lebih sungguh serta penuh penghayatan anggenipun kita mahabbah dumateng kanjeng Nabi Muhammad SAW berikut istri dan putra wayah beliau.
Sebagaimana mungkin panjenengan semua yang tidak atau belum pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, penulis tak menengenal banyak dan mendalam tentang beliau KH. Maimun Zubair. Paling banter tahu beliau dari dunia internet atau belajar dari para murid beliau yang banyak tersebar hingga ke pelosok desa, belajar pada murid beliau yang masuk menyusup ke dalam relung politik dan birokrasi.
Dari merekalah kita belajar. Terlebih bagi kita yang belum pernah nyecep keluasan ilmu dan keteladhanan secara langsung pada Mbah Maimun. Tidak sedikit santri Mbah Maimun setelah nyantri pulang ke desa lalu aktif dalam kegiatan kemasyarakatan desa. Meski belum pernah jumpa secara fisik, penulis meyakini, beliau adalah ulama panutan yang perlu diteladhani luar dalam. Luar berarti akhlaqul karimahnya, dalam mengandung makna betapa beliau alim alamah karena keluasanya menyelami samudera ilmu.
Desember 2018 lalu, penulis pernah menekadkan niat sowan tabarukan kepada beliau. Setelah merampungkan agenda di Jombang dan Tuban kala itu, perjalanan penulis langsungkan ke dalem beliau di Sarang, Kabupaten Rembang. Sejumlah ubo rame pun disiapkan istri penulis. Bukan apa-apa, idep-idep mengamalkan ajaran orang tua kami di mana saat bersilaturahmi upayakan membawa sesuatu sebagai bentuk penghormatan pada yang kita sowani.
Sesampainya di lokasi sekitar pukul 14-an lebih, kami langsung menuju rumah mba Mun yang berdiri sederhana di samping guthekan santai. Bahkan rumah Mbah Mun sendiri menyatu dengan guthekan santri. Sambil bertegur sapa dengan tamu lainnya yang juga sama-sama menunggu waktu jumpa dengan Mbah Mun, setelah menunggu sekitar satu jam lebih, seorang santri menghampiri kami. Santri tersebut memberi tahu kami, kalau mba Mun sedang nyandang gerah. Waktu yang mungkin bertemu dengan beliau ba'da maghrib.
Karena kami harus berbagi waktu dengan rencana lain, kami memutuskan untuk sopan kembali suatu saat nanti. Segera ubo rame yang sudah kami siapkan, kami haturkan kepada Mbah Mun melalui pengurus pondok yang kantornya ada di seberang ndalem Mbah Namun Zubair. Setelah pamit, perjalanan kami lanjut ke makam Mbah Sambu, guru para guru tanah Jawa dari pantai utara.
Meski belum berhasil bermuwajahah bil wujud dengan Mbah Mun, tapi ada jejak kearifan Mbah Mun yang kami dapatkan, utamanya dari aspek tata ruang dan konstruksi bangunan pondok pesantren asuhan beliau Mbah Maimun. Pertama, bangunan pondok (guthekan/kombongan atau tempat tidur para santai hingga kelas tempat belajar mengajar tak segah masjid.. Artinya masjid al Anwar dibangun dengan konstruksi lebih bagus dari bangunan lainnya. Termasuk bangunan rumah Mbah Maimun. Padahal kalau saja kersa beliau pasti bisa memugar rumah dan pesantrennya dengan megah. Mengapa beliau tidak melakukannya, beliau yang lebih tahu.
Kedua, secara fisik pesantren asuhan Mbah Mun tidak membangun gap atau hijab pembatas dengan lingkungan masyarakat sekitarnya sebagaimana sudah menggejala di pesantren-pesantren keibuan yaitu membangun tembok pembatas dengan masyarakat desa tepat pondok pesantren tersebut berdiri. Menurut penulis ini menandakan bahwa Mbah Mun sangat terbuka dan percayaan kepada masyarakat sekitar pondok bahwa interaksi sosial santri-satri asuhan beliau dengan masyarakat tidak akan menggelincirkan mereka dalam perilaku sosial yang tidak baik. Apalagi kita tahu, penduduk Sarang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat nelayan yang memiliki kedekatan dengan tradisi keras dalam hidupnya, katakanlah demikian. Malah sebaliknya, interaksi sosial santri dengan masyarakat sekitarnya memungkinkan nilai-nilai keislaman yang diajarkan mbah Maimun berpeluang memengaruhi serta membawa kehidupan sosial budaya masyarakat lebih penuh rahmah.
Ada benarnya memang kalau tidak dibangunnya tembok pembatas pondok dengan masyarakat desa menguatkan Sinergi sosial para santri dengan penduduk natif/lokal desa setempat. Contoh kecil, pedagang kecil baik yang keliling ataupun buka warung di sekitar pondok dapat iderke dagangan tanpa ada larangan yang berarti dari pondok. Sebaliknya, para santri tampak rileks jajan pada mereka, seperti tak ada larangan aalagi himbauan kepada santri agar membeli makanan hanya di kantin pondok saja. Contoh lain, pondok pesantren membangun majalah dinding di halaman depan pondok. Lagi-lagi papan majalah dinding juga ditujukan pada publik luas.
Sekali lagi tata ruang dan bangunan pondok al Anwar asuhan Mbah Maimun yang demikian menyelipkan pesan dan kesan bahwa pondok pesantren sejatinya secara kemanusiaan dan kelembagaan menyatu dengan desa, tidak memunggungi ataupun kalis seperti air dan minyak. Ada dalam satu lokasi tapi hakikatnya tak berjumpa dalam visi.
Di sinilah kiranya ajaran luhur mbah Maimun mengejewantah, yakni menyatukan proses pendidikan klasikal di pondok dengan tradisi sosial masyarakat sekitarnya. Santri tidak dibelenggu dalam aturan pondok yang ketat dalam berinteraksi dengan masyarakat di sekitar pondok, kecuali dalam hal ngaji. Karenanya dengan cara ini santri Sarang biasanya memiliki karakter alim dalam kitab kuning juga tak luwes dalam bermasyarakat.
Sekali lagi kami haturkan matur nembah nuwun dateng panjenengan Mbah Maimun Zubair. Meski kala itu kami belum bisa bertatap muka dan nyungkemi asta panjenengan, tapi kehidupan pesantren asuhan panjenengan menyajikan pembelajaran hidup yang sangat berharga.
06/08/2019
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.