Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871. Setelah belajar di sejumlah pesantren di Jawa dan Madura, ia melanjutkan belajar di Makkah. Beka...
Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871. Setelah belajar di sejumlah pesantren di Jawa dan Madura, ia melanjutkan belajar di Makkah. Bekal ilmu dari Nusantara membuatnya tak banyak menemui kesulitan ketika memperdalam pelbagai ilmu agama. Tak kurang dari tujuh tahun ia menghabiskan waktu untuk belajar kepada para guru di tanah suci, salah satunya kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, orang Indonesia yang pernah menjadi Mufti mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. Sekembalinya ke tanah air, ia pun mulai mengajar.
Cita-citanya untuk mendirikan pesantren hampir terwujud. Tempat yang ia pilih adalah Tebuireng, sebuah desa di Jombang, Jawa Timur, yang saat itu terkenal rawan tindak kejahatan. Lebih dari itu, penduduknya banyak yang belum memeluk Islam dan hidup dalam adat istiadat yang banyak bertentangan dengan perikemanusiaan, seperti merampok, merampas, berjudi, berzina, dan lain-lain. H. Aboebakar dalam Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim (2011) melukiskan kondisi Tebuireng saat itu, sebelum Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di sana: “Sepanjang jalan penuh dengan rumah plesir, yang didiami oleh biduan-biduan dan penjual minuman keras, dilayani oleh perempuan-perempuan jahat, yang menerima tamu-tamu dari kota. Sorak-sorai seperti dalam pasar malam disudahi dengan perkelahian atau pukul-pukulan, yang mengacaubalaukan kehidupan dalam desa itu.”
Kondisi itu membuat kawan-kawannya menasihati Hasyim Asy’ari agar tidak mendirikan pesantren di Tebuireng sambil tak jemu mereka menyampaikan pelbagai kekurangan dan bahaya yang mengancam jika ia tetap memilih Tebuireng sebagai tempat berdakwah. Mendapat nasihat seperti itu, Hasyim Asy’ari menjawabnya dengan tenang. Ia tersenyum dan berkata: “Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, apa yang akan diperbaiki lagi darinya? Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan, contoh-contoh ini telah ditunjukkan Nabi kita dalam perjuangannya.” Saat ia akhirnya pindah ke Tebuireng dan jumlah santrinya baru beberapa orang, ancaman dan gangguan itu memang nyata. Setiap malam, seperti dikutip Muhamad Rifai dalam K.H. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947 (2009), para santri kerap diteror masyarakat dengan senjata tajam seperti celurit dan pedang. Hal ini membuat para santri mesti selalu waspada agar terhindar dari bacokan. “Bahkan untuk tidur pun para santri harus bergerombol menjauh dari dinding bangunan pondok, yang hanya terbuat dari bambu agar terhindar dari jangkauan tangan kejam para penjahat,” tulisnya.
Menurut Rifai, gangguan itu berlangsung selama hampir dua setengah tahun. Buruknya keamanan di Tebuireng yang berlarut-larut ini akhirnya membuat Hasyim Asy’ari meminta bantuan kepada guru-guru dan kawan-kawannya di Cirebon, yakni kepada Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Pangurungan, Kiai Samsuri Wanantara, Kiai Abdul Jalil Buntet, dan Kiai Saleh Benda Kerep. Menurut H. Aboebakar, Pesantren Tebuireng pada mulanya memang hanya sebuah teratak yang luasnya hanya beberapa meter bujur sangkar. Teratak itu terbagi atas dua buah petak rumah, yang satu sebagai tempat tinggal Hasyim Asy’ari, dan satu lagi digunakan sebagai tempat salat. Teratak itu awalnya hanya untuk digunakan oleh 28 santri.
Namun, lama-kelamaan, seiring kian berdatangannya santri, teratak-teratak itu pun semakin bertambah. Situasi keamanan pun perlahan mulai dapat diatasi. Dari hari ke hari, Pesantren Tebuireng pun semakin besar. Para santri tak hanya datang dari Jawa Timur, melainkan dari pelbagai daerah lainnya di Nusantara.
“Pesantren Ramadan” demi Ilmu Hadis Salah satu ilmu yang dipelajari Hasyim Asy’ari secara mendalam selama tinggal di Makkah adalah ilmu hadis. Ia di antaranya mempelajari enam kumpulan hadis dari perawi terbesar menurut anggapan ulama, yaitu Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Al-Tirmidzi, dan Al-Nasa’i. Dan di antara yang enam itu, ia paling berminat pada kumpulan Al-Bukhari dan Muslim. Hasyim Asy’ari belajar hadis kepada Kiai Mahfudz Termas, ulama di Makkah yang sangat dihormati, yang menurut catatan Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (2015) merupakan ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadis Sahih Bukhari. “Murid kesayangannya, Hasyim Asy’ari, membawa tradisi ini ke Indonesia, di mana pesantrennya, Tebuireng (Jombang) menjadi pondok hadis paling terkenal,” tulis van Bruinessen. K.H. Saifuddin Zuhri—mantan menteri agama—menulis kisah pengajaran hadis oleh Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, setiap bulan Ramadan, dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2013).
Menurutnya, setiap bulan puasa, kiai-kiai dari luar daerah datang berduyun-duyun ke Pesantren Tebuireng untuk mondok dan belajar hadis, terutama hadis Al-Bukhari, kepada pimpinan pondok tersebut. Ia menambahkan, mereka yang pernah melihat sendiri cara Hasyim Asy’ari membaca Al-Bukhari mengatakan, Hadratus Syaikh sejatinya telah hafal seluruh isi kitab yang terkenal itu. Mereka sangat puas atas pengajarannya. Juga dapat menghabiskan bulan puasa bersama ulama terkenal. Bahkan salah satu guru Hasyim Asy’ari, yakni Kiai Kholil Bangkalan, menyempatkan diri untuk belajar hadis kepada muridnya tersebut.
Penulis : Irvan Tegus
Editor : Ivan Aulia Ahsan
Baca selengkapnya di Tirto.id dengan judul "K.H. Hasyim Asy'ari, Ahli Hadis Sokoguru Islam Tradisionalis", https://tirto.id/kh-hasyim-asyari-ahli-hadis-sokoguru-islam-tradisionalis-dsfQ.
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.