Oleh : Dedi Mulyadi, SH ( Bupati Kabupaten Purwakarta ) Kangdedimenyapa.net – Apa yang menyatukan kita dengan Kanjeng Rasul? makanan berbed...
Oleh : Dedi Mulyadi, SH
( Bupati Kabupaten Purwakarta )
Kangdedimenyapa.net– Apa yang menyatukan kita dengan Kanjeng Rasul? makanan berbeda, bahasa juga berbeda. Sementara Rasulullah makanan pokoknya kurma dan gandum, kita mkanan pokoknya nasi, singkong, sampai belut. Jauh sekali jarak waktu antara kita dan Rasulullah, jadi apa yang menyatukan kita dengan manusia mulia itu?
Rasa. Mungkin ini jawabannya.
walaupun orang tinggal di Makkah atau Madinah bila rasa nya tidak tersambung, ia akan menghianati Rasulullah, tidak ada rasa haru ketika mendengar salawat. Sebaliknya, bila rasanya sudah menyatu, walaupun berjauhan jarak, rasa kangen dan haru juga malu akan terus-menerus tersambung dengan Rasulullah: rasa anu cinta, cinta yang tergambar -diantaranya dengan merayakan “maulud tanpa pamrih”.
Jadi, kalau demikian, kita menemukan inti kehidupan bahwa kekuatan rasa itu bisa mengubah dunia. Al-Quran yang berbahasa Arab diturunkan di Makkah-Madinah, tapi bisa menggentarkan hati nenek moyang yang ada di sini. Padahal, dulu belum ada alat komunikasi yang memungkinkan adanya ketersambungan, namun rasa membuat semua manusia terhubung sehinga ketika Islam tersebar, dengan segera nenek moyang. Rasa lah yang membuat semuanya setuju dan terus-menerus memeluk agama Islam.
Dari mana datangnya rasa?
Rasa hanya akan tergetar oleh rasa. Bila ada bahasa rasa, yang paham adalah rasa juga. Dari rumusan sederhana itu, saya yakin bahwa Islam memiliki bahasa rasa yang luar biasa. Rasulullah Muhammad pun menggunakan bahasa rasa dalam dakwahnya. Bahasa rasa itu universal, seperti bahasa alam, tidak mengenal batas dan jarak. Begitu bahasa rasa dikemukakan, semua manusia yang rasanya terasah akan tergetar dan tergerak untuk melakukan hal yang sama. Karena orang Sunda memiliki tradisi rasa, tanpa membutuhkan waktu yang banyak, orang Sunda berbondong-bondong mengikuti ajaran Islam.
Sayangnya bahasa rasa itu semakin hari semakin pudar dari cara kita beragama dalam Islam. bahasa rasa digusur oleh bahasa hukum yang sangat hitam putih, beragama akhirnya terasa menjadi sesak -tanpa ruang untuk berbahagia. Padahal, Rasulullah bukanlah hakim yang begitu seram, Rasulullah adalah ruhama’u baynahum. Kesaksian salah seorang sahabat, Abdullah Al-Harits, bahkan menunjukan bahwa Rasulullah juga senang bercanda:
“Aku tidak pernah menyaksikan ada orang yang begitu murah senyum melebihi Rasulullah saw. Beliau punya sense of humoryang tinggi dan suka bercanda. Beliau biasa melepaskan beban dan kejenuhan hidup dengan bercanda bersama keluarga. Bahkan, beliau pernah berkata, ‘Sesungguhnya saya senang bercanda, tapi saya hanya mengatakan hal-hal yang benar.” Begitulah.*
Ada banyak kisah yang menunjukan sense of humor itu. Suatu ketika Rasulullah meminta sesuatu pada Siti Aisyah -Istrinya yang tercinta, “Wahai Aisyah, khumairaku, tolong ambilkan sajadah !” Saat Aisyah, sedang kedatangan “tamubulanan” sehingga ia pun menjawab, “Wahai Rasulullah, saya sedang menstruasi”. Rasulullah tersenyum dan menggoda Istrinya yang biasa dipanggilnya dengan sebutan khumaira (yang pipinya merah merona). “Tapi tanganmu tidak menstruasi, kan?”, goda Rasulullah. Mendengar candaan seperti itu Siti Aisyah tersipu malu. Lihatlah, betapa menarik percakapan Rasulullah ini.
Begitu bahasa rasa dikemukakan, semua manusia yang rasanya terasah akan tergetar dan tergerak untuk melakukan hal yang sama. Karena orang Sunda memiliki tradisi rasa, maka tanpa membutuhkan waktu yang banyak orang Sunda berbondong-bondong mengikuti ajaran Islam.
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.