Oleh: Lendy Wibowo Bahwa dinamika pemberdayaan Desa terjadi diakibatkan dari perubahan kebijakan dan bahwa perubahan Desa sebagai kon...
Oleh: Lendy Wibowo
Bahwa dinamika pemberdayaan Desa terjadi diakibatkan dari perubahan kebijakan dan bahwa perubahan Desa sebagai kondisi dinamis yang mesti diperhatikan dalam format pemberdayaan pasca UU Desa.Dinamika Pemberdayaan dan Perubahan Desa
Pemberdayaan Desa ke depan akan bertumpu pada 3 aras yakni Pengembangan Ekonomi Perdesaan, Pelembagaan Sistem Partisipatif Desa, Membangun Kelas Menengah Perdesaan.
- Isu Utama
3 aras tersebut selaras dengan Konsep yang disampaikan Prof. Ahmad Erani Yustika selaku Dirjen PPMD Kemendes PDTTyang disampaikan pada beberapa kesempatan, bahwa membangun Desa dalam konteks UU No 6 Tahun 2014 setidaknya mencakup upaya-upaya untuk mengembangkan keberdayaan dan pembangunan masyarakat Desa di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Konsep tersebut dikenal dengan istilah “Lumbung Ekonomi Desa, Lingkar Budaya Desa, dan Lintas Wira Desa”.
Pengembangan ekonomi perdesaan tidak cukup hanya menyediakan basis dukungan finansial terhadap rakyat miskin, tetapi juga memberikan treatment dan akses produksi, distribusi, dan pasar (access to finance, access to production, access to distribution and access to market) bagi rakyat.
Perkuatan dan pelembagaan sistem partisipatif bertumpu pada bentuk dan pola komunalisme, kearifan lokal, keswadayaan sosial, kelestarian lingkungan, serta ketahanan dan kedaulatan lokal.
Isu serta pendekatan dalam perkuatan dan pelembagaan sistem partisipatif mengangkat kembali nilai-nilai kolektif desa dan budaya bangsa mengenai musyawarah mufakat dan gotong royong serta nilai-nilai manusia (desa) Indonesia yang tekun, bekerja keras, sederhana, serta punya daya tahan.
Membangun kelas menengah Perdesaaan berarti menempatkan manusia sebagai aktor utama sekaligus mampu menggerakkan dinamika sosial ekonomi serta kebudayaan di Desa dengan kesadaran, pengetahuan serta ketrampilan di bidang tersebut sehingga Desa juga melestarikan keteladanan sebagai soko guru kearifan lokal.
2. Pemberdayaan : Teknokratis dan Partisipasi
Dalam konteks desa, diskursus yang menarik tentang pembangunan adalah mengenai perbedaan antara pendekatan teknokrasi dan partisipasi. Isu ini belum bergeser pasca diterbitkan UU Desa. Kenapa hal ini menarik, dikarenakan bahwa pembangunan sebagai alat atau sarana mensejahterakan rakyat tidak lagi dianggap sebagai pendekatan tunggal.
Ketika orang mulai menoleh pada kemungkinan adanya pendekatan baru tersebut, maka pendekatan pemberdayaan (baca partisipasi) dianggap sebagai harapan yang menjanjikan. Pandangan yang mewakili kebutuhan terhadap pendekatan pemberdayaan meyakini bahwa pada konteks masyarakat desa, ada bagian mendasar di masyarakat desa yang justru tidak bisa disentuh jika hanya menggunakan pendekatan teknokrasi.
Jika pembangunan (baca teknokrasi) terutama sekali mengkaitkan hubungan pokok antara negara dengan kapital, maka pendekatan pemberdayaan bertumpu pada demokratisasi, desentralisasi dan partisipasi masyarakat.Pendekatan pemberdayaan menggunakan konsep pembangunan yang berakar di masyarakat, artinya dinamika dan perubahan di masyarakat merupakan sumber konstruksi konsep pemberdayaan.
Perbedaan yang paling mendasar terletak pada pilihan konsentrasi perlakuan terhadap masyarakat. Pendekatan pemberdayaan berupaya menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan, dan tidak boleh menjadi obyek pembangunan semata-mata.
Perspektif negara dan kapital dalam pendekatan pembangunan menempatkan negara sebagai pelaku (hampir tunggal) dalam mengembangkan kapital dan kapitalisasinya.
Sementara dalam pemberdayaan, negara berperan sebagai regulator dan fasilitator pembangunan dan perspektif kapital dalam pendekatan pemberdayaan berfungsi sebagai alat dan sarana bagi peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat.
Pelaku utama dalam pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat. Masyarakat terlibat aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelestarian pembangunan. Inilah perbedaan pokok pendekatan pembangunan dan pendekatan pemberdayaan.
Pendekatan pemberdayaan tidak saja mengisi ruang diskusi dan kamar berpikir para ahli, akan tetapi telah diterapkan dalam berbagai kebijakan dan program yang difasilitasi Pemerintah.
3. Pemberdayaan dan Paradok Demokrasi
Inpres Desa Tertinggal (IDT), P3DT, PPK, PNPM adalah sebagian program Pemerintah yang menggunakan pendekatan pemberdayaaan masyarakat. Seiring dengan itu, telah terjadi perubahan sistem politik, dari sebelumnya bersifat otoritarian menuju sistem demokrasi.
Demokrasi telah ditandai lahirnya sistem pemilu multipartai, pemilu langsung legislatif dan pemilu langsung presiden serta pemilukada di setiap daerah. Perubahan sistem politik ini secara berangsur telah menempatkan masyarakat terlibat dalam proses pengambilan keputusan sampai pada tingkat individu.
Sementara itu program pemberdayaan yang pada awalnya mempraktekkan konsensus serta kolektifitas juga telah menempatkan preferensi individu makin kukuh ketika desain partisipasi kesulitan memperkuat bangunan kolektifitas pada tingkat praktek (misalnya fenomena voting dalam pengambilan keputusan).
4. Preferensi Berbasis Individu Menggeser Esensi Konsensus?Perubahan ini disumbang melalui defisit praktik pelaksanaan pemberdayaan masyarakat (Praktik demokrasi, desentralisasi dan partipasi dapat dilihat dari perspektif perubahan alam pikiran masyarakat) yang memilih bergabung dengan praktek demokrasi kontemporer yang bertumpu kepada preferensi individu. Dimensi demokrasi, desentralisasi dan partisipasi seakan mewajibkan tanpa tertolak bagi bangunan strategi yang muncul dimana negara mengambil peran sebagai regulator dan fasilitator belaka dan media, pendidikan, pengorganisasian, kelembagaan pemerintahan diabdikan pada berhasilnya demokrasi, desentralisasi dan partisipasi masyarakat. Alam pikiran masyarakat terbentuk melalui perubahan strategi ini.
Konsensus dihasilkan melalui musyawarah. Pengambilan keputusan kolektif ini menjadi ciri utama pengambilan keputusan dimana nilai kebersamaan yang menjadi karakter utama nilai lokal turun temurun dipelihara.
Sementara itu, media melalui iklan menawarkan pilihan/preferensi kebutuhan individul yang bermacam-macam dan berulang, maka sebenarnya ada kampanye mengenai tuntutan hak-hak individual yang jauh lebih besar dari periode sebelumnya.
Sementara itu pada saat yang sama pilihan individual ini juga menjadi bagian praktik politik (demokrasi liberal), maka dialog/diskursus/musyawarah dijepit dua kekuatan besar, yakni praktik politik dan media.
Akhirnya konsensus tidak lagi menjadi opsi utama, karena pilihan individual disediakan alat bantu, yakni media serta saluran politik formal.
Media menyediakan bagaimana opsi-opsi dibentuk dan diarahkan bagi kepentingan individual. Jika mufakat dalam era musyawarah menjadi alat resolusi para pihak dalam mengambil keputusan, maka kompleksitas media dalam menyediakan informasi menjadi beban atau sebaliknya simplifikasi keputusan individual, maka uang sebagai alat transaksi menjadi tak terhindarkan.
Proses ini berulang dan masif, maka alam pikiran pada era ini condong dan mengarah pada kepentingan individual dimana uang sebagai alat transaksi. Relasi dan transaksi antar individu ini dalam entitas ekonomi kolektif masuk dalam terminologi pasar.
5. Menuju Pemberdayaan Baru
Pasar dalam era demokrasi menjadi suatu kekuatan dominan, tidak saja dalam alam pikiran masyarakat, tetapi juga dalam relasi antar subyek dan komunitas.
Fase ini penting dilalui terutama untuk mematangkan kemandirian dan tahapan yang cukup bagi kebutuhan baru. Akan tetapi sayangnya, pendekatan pemberdayaan gagal mengungkap kedalaman realitas ekonomi perdesaan.
Padahal pasar tenaga kerja perdesaan harus dielaborasi dengan mendasarkan pada asumsi bahwa di desa laju penyediaan lapangan kerja lebih lambat dari laju pertumbuhan tenaga kerja, akibatnya penawaran tenaga kerja lebih besar dari permintaan sehingga terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja.Program pemberdayaan telah mempertimbangkan aspek penciptaan lapangan kerja lokal, akan tetapi lapangan kerja tadi melekat pada umur program meski dengan UU Desa terbuka peluang terhadap ketersediaan dana pembangunan terus menerus, tetap masih ada ancaman terhadap pelibatan masyarakat dalam konstruksi penciptaan lapangan kerja.
Program pemberdayaan dianggap berhasil mengembangkan sistem kredit murah bagi rakyat melalui pengelolaan dana bergulir. Sistem ini dianggap berhasil karena bertumpu pada kekuatan kelompok sosial masyarakat. Akan tetapi sistem dana bergulir belum memecahkan enam karakteristik kendala dalam pasar kredit perdesaan yaitu; kendala informasi, segmentasi pasar, saling ketergantungan, variasi tingkat bunga, penjatahan kredit, ekslusifitas kelompok.
Masyarakat berkumpul dan mengeluarkan pendapat, untuk suatu kepentingan kolektif yang sebenarnya memiliki basis pijakan kepentingan individu. Dukungan dalam bentuk partisipasi dalam era demokrasi dapat melemah ketika basis kepentingan individual para partisipan makin mengendur karena sistem (dalam program pemberdayaan) gagal memperbarui diri.Membangun kesadaran kolektif dari basis kesadaran individu menjadi lebih konkrit ketika mampu diwujudkan dalam bentuk kepentingan kolektif. Sampai periode inilah pendekatan pemberdayaan dianggap berhasil. Akan tetapi kepentingan kolektif masih rentan dan tidak lagi cukup bagi kebutuhan sustainability dan pengembangan nilai tambah ekonomi dalam kapasitas yang cukup.
Partisipasi (dalam kondisi ini) telah gagal mendialogkan antara kebutuhan untuk berkumpul dengan kepentingan yang bersifat rasional. Hal ini terbukti ketika tingkat partisipasi menurun, musyawarah kehilangan esensi kebutuhan dan manfaatnya.
Pembiasaan proses yang diharapkan mampu membentuk habitus baru yang memiliki dasar pijakan kuat secara budaya justru kehilangan dukungan.
Partisipan akhirnya kembali kepada godaan dan daya tarik pasar, karena arena riil kehidupan lebih semarak ada disana. Saat itulah gugatan terhadap pendekatan pemberdayaan muncul.
KESIMPULAN
- Bahwa dinamika pemberdayaan masyarakat terjadi sebagai akibat perubahan kebijakan dan dinamika tersebut menjadikan perubahan Desa sebagai kondisi dinamis yang mesti diperhatikan dalam format pemberdayaan pasca UU Desa.
- Dinamika pemberdayaan Desa saat ini telah memasuki tahapan diskursus ketiga setelah era teknokrasi-partisipasi dan era kolektifitas-individualitas. Tantangan pemberdayaan Desa terletak pada penataan secara cerdas komponen-komponen tersebut.
- Perubahan Desa sebagai akibat dinamika Pemberdayaan telah memunculkan kebutuhan baru yang bertumpu pada tiga aras yakni pengembangan ekonomi perdesaan, perkuatan dan pelembagaan sistem partisipatif, serta membangun kelas menengah
- Format pendampingan Desa perlu disesuaikan dan direkonstruksi agar sesuai dengan Perubahan Desa. Pendampingan Desa perlu memperhatikan perubahan lingkungan strategis Desa serta perubahan sikap para aktor dalam relasi sosial-ekonomi-budaya Desa. Perubahan ekonomi politik Desa mencerminkan kondisi dinamis yang perlu diperhatikan seiring cara pandang mengenai norma sosial budaya Desa selama ini.
Daftar Pustaka
- Riant Nugroho DR, 2002, Public Policy, PT Elex Media Komputindo, Jakarta
- Erani Yustika DR, 2008, Ekonomi Kelembagaan, Bayu Media, Malang
- Randy W, Riant Nugroho, 2006, Manaj Pembangunan Indonesia, PT Elex Media Komputindo, Jkt
- Subarsono, 2009, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
- Joko Widodo, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Bayu Media, Malang
- Irtanto, 2008, Dinamika Politik Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
- JJ Rousseau, 2007, Du Contract Social, Visi Media, Jakarta
- Widjajono Partowidagdo, 1999, Memahami Analisis Kebijakan, Pasca Sarjana ITB, Bandung
- Anthony Giddens, 2010, Teori Strukturasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
- James S Colleman, 2010, Dasar-Dasar Teori Sosial, Nusa Media, Bandung
- 2009, Himpunan Peraturan, Depdagri, Jakarta
Referensi Peraturan:
- UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa
- Juknis Pengakhiran PNPM Mandiri Perdesaan yang dikeluarkan melalui Surat Dirjen PPMD No 134/DPPMD/VII/2015 tertanggal 13 Juli 2015
- UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
- Perpres 13 Tahun 2009 Tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan