Pemuda Tangguh Oleh: Borni Kurniawan Tahun 2015 adalah tahun pelaksanaan UU No.6 tahun 2014 Tentang desa. Publik mulai ramai membinc...
Oleh: Borni Kurniawan
Tahun 2015 adalah tahun pelaksanaan UU No.6 tahun 2014 Tentang desa. Publik mulai ramai membincang rencana Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi tentang rekruitmen pendamping desa. Nuansa saling berkompetisi antarsimpatisan partai politik, aktivis dan pekerja sosial, hingga job seeker untuk menjadi pendamping desa pun tak terelakan lagi. Rencananya, pada tahun anggaran 2015, akan direkrut 44.030 pendamping. Rinciannya, 2.112 orang akan ditempatkan sebagai pendamping teknis atau fasilitator kabupaten, 15.024 orang yang akan ditugaskan melakukan pendampingan di level kecamatan dan 26.894 orang akan ditempatkan di desa sebagai pendamping lokal desa.
Kebijakan rekruitmen pendamping desa tersebut, dalam kacamata kebijakan sangat penting dilakukan. Mengingat pertama¸ jumlah desa yang mencapai 74.093 tersebar di 6.383 kecamatan, 434 kabupaten/kota dan 33 provinsi. Dengan jumlah tersebut secara otomatis rentang kendali pemberdayaan yang akan diperankan oleh para pendamping dalam rangka mewujudkan visi dan misi UU Desa membutuhkan gerakan pasukan yang tidak sedikit. Kedua, perubahan sistem dan tata kelola kebijakan desa yang berbeda dari model kebijakan tentang desa dari era sebelumnya. Beberapa contoh titik perbedaan UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa dengan regulasi sebelumnya. Diantaranya i) muatan azas utamanya dari desentralisasi residualitas menjadi rekognisi-subsidiaritas, ii) pengakuan kedudukan desa dari yang semula sebagai organisasi penerintahan yang berada di bawah kendali pemerintah kabupaten (local state government) menjadi pemerintahan masyarakat atau gabungan antara masyarakat berpemerintahan (governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government), iii) tata kelola pembangunan desa yang sebelumnya ditentukan oleh pemerintah supradesa (government driven) menuju pola pembangunan yang digerakan desa (village driven development).
Ketiga, peluncuran Dana Desa (DD) dari pusat ke desa melalui kabupaten. Dana Desa adalah bentuk pengakuan (rekognisi) negara kepada desa. Sesuai dengan ketentuannya, maka selama lima tahun mendatang, secara bertahap desa akan menerima DD hingga mencapai 1,4 miliar per tahunnya.
Nah, perubahan paradigma dan konsep tata kelola desa ini merupakan pokok bahasan penting yang perlu dipahamkan kepada masyarakat dan pemerintahan di berbagai level. Terlebih, proses sosialisasi dan publikasi UU Desa yang diperankan pemerintah sendiri sangat terbatas. Maka peran pendamping sangat dibutuhkan untuk menyebarluaskan visi baru UU Desa melalui kerja-kerja pendampingan dan pemberdayaan desa. Pendamping tidak hanya bertugas mengawal tata kelola keuangan desa, tapi juga mendidik dan melakukan pembelajaran masyarakat agar pengelolaan Dana Desa memberi manfaat bagi pencapaian desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Banyak kalangan mensimplifikasikan UU Desa menjadi DD. Dalam arti, inti UU Desa pada hakikatnya DD tersebut. Tapi sesungguhnya, DD hanyalah satu dari sekian banyak komponen prasyarat membangun negara bangsa Indonesia yang sejahtera mulai dari desa. Karenanya, dalam konteks pendampingan desa, para pendamping tidak hanya dituntut terampil dalam hal managemen proyek tapi terampil pula berperan sebagai pekerja budaya yang mampu menjadi fasilitator, educator bahkan teladan yang membebaskan bagi masyarakat.
Pendamping desa bukan mandor project yang memegang teguh logicalframework, bestek dan perangkat kerja administratif lainnya secara kaku. Mengapa, karena subjek yang dihadapi bukan benda mati, melainkan manusia, masyarakat berikut kelembagaannya yang selalu dinamis. Pendamping desa bukanlah aktor yang menggantikan peran pemerintah desa dalam hal pengelolaan birokrasi dan kebijakan pembangunan desa. Jadi, peram pendamping desa nantinya lebih dari sekadar sebagai tenaga pelaksananya Kementerian Desa yang bekerja secara mekanis, tapi mampu menjadi motive of force masyarakat yang mampu berfikir strategis dan bertindak taktis, sehingga mampu menumbuhkan masyarakat yang aktif, kreatif dan inovatif dari dalam. Dengan tumbuhnya masyarakat yang proaktif, kreatif dan inovatif dari dalam, maka perubahan dan kemajuan desa yang akan terjadi kelak, pada hakikatnya bukan hasil intervensi aktor dari luar desa, melainkan hasil dari emansipasi masyarakat dan rekognisi pemerintah desa. Dengan kata lain, dalam pengelolaan rumah tangga desa, dalam jangka panjangnya, masyarakat dan pemerintah desa akan berdaya untuk saling berkomplementer membangun desa berbasiskan sumber daya, aset, potensi dan modal sosial yang dimilikinya tanpa terjebak “ketergantungan” pada peran pendamping semata.[]