Page Nav

10

Grid

SNIPSET

true
true

Pages

Breaking News:

latest

KETERPADUAN REGULASI DESA DENGAN PERATURAN PERUNDANGAN LAIN

Oleh: Borni Kurniawan Pengantar Sebelum Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa lahir, Desa kurang mendapat perhatian yang serius ...

Oleh: Borni Kurniawan
Pengantar
Sebelum Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa lahir, Desa kurang mendapat perhatian yang serius dari Negara. Desa belum mendapat pengakuan sebagai entitas kesatuan hukum masyarakat Negara bangsa Indonesia. Sebagai kesatuan hukum masyarakat, Desa secara asali memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Bentuk pengaturannya diwujudkan dalam bentuk hukum adat. Ada yang tertulis, ada yang tidak tertulis. Dengan pranata hukum tersebut, masyarakat desa dapat hidup dalam harmoni tidak hanya antarpenduduk desa itu sendiri, tapi keharmonisan antara penduduk desa dengan lingkungan hidup di sekitarnya. Sebagai contoh masyarakat negeri di Maluku dan Ambon mengenal sasi dan kewang. Di desa-desa di Nusa Tenggara Barat dan Bali dikenal dengan awig-awig.
Awal mulanya sasi adalah piranti di zaman dahulu yang diciptakan masyarakat Maluku untuk memelihara dan melestarikan hutan, laut dengan segala hasilnya di petuanan salah satu desa maupun negeri. Sebagai piranti sosial, waktu itu sasi belum tertulis sebagai perangkat hukum. Meski tidak tertulis, sasi yang berlaku di suatu desa/negeri sangat dipegang teguh. Dalam perkembanganya, sasi kemudian diformalkan dalam bentuk hukum tertulis pada zaman penjajahan Belanda. fungsiSasi dan Kewangmeliputi;
a) supaya semua tanaman yang menyangkut buah-buahan dijaga dengan baik. Buah-buahan yang ditanam di dalam dusun diambil pada waktunya yaitu ketika buah-buahan tersebut menjadi tua dan masak.
b) supaya tanah-tanah negeri dan labuhan (laut) dapat terpelihara dengan baik guna dipakai oleh penduduk negeri tersebut.
c) agar menjadi alat pelerai, mengurangi semua bentuk perselisihan menyangkut hasil dusun diantara para anggota disebuah dusun, yaitu antara anak-anak Dati[1] dan Kepala Dati, antara anak-anak pusaka dan kepala pusaka.
d) agar pencurian terhadap tanaman dan hasilnya dan kecelakaan-kecelakaan yang sering menimpa perempuan berkurang (Eko dan Kurniawan, 2010).
Di NTB dan Bali, awig-awig adalah aturan hukum adat yang harus dipatuhi semua warga sebagai pedoman dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari maupun sikap dalam berinteraksi dengan lingkungan alam sekitar. Awig-awig adalah aturan yang dikeluarkan oleh Desa atau lembaga adat atas kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah sosial kemasyarakatan tertentu sehingga dicapai kondisi yang baik. Di Desa Jerowaru, Telok Jor, Lombok Timur ada awig-awig yang secara khusus ditujukan untuk melindungi kehidupan nelayan, mengatur kehidupan masyarakat desa agar berperan serta dalam perlindungan alam dari kerusakan dan menjaga budaya lokal dari kepunahan. Misalnya awig-awig tentang perikanan yang di dalamnya mengatur tata kelola dan perlindungan ikan dari aktivitas masyarakat yang biasa berburu ikan dengan caranyetrum dan ngobat (memakai potassium dll). Di Jambi, aturan sejenis awig-awig juga berlaku bagi masyarakat desa hutan, khususnya bagi Suku Rimba yang hidup desa Taman Bukit Dua Belas. Untuk menjaga keberlanjutan hidup mereka yang bergantung pada alam, masyarakat Suku Rimba memberlakukan aturan yang tidak hanya mengikat masyarakat asli Suku Rimba tapi juga pendatang yang masuk ke wilayahnya. Norma aturan yang diberlakukan contohnya larangan menebang pohon yang dikeramatkan. Dampak positif dari larangan ini adalah kelestarian hutan dan jaminan ketersediaan pangan bagi masyarakat.

Posisi Perdes dalam Sistem Perundang-Undangan
Dalam perkembangan terkini tidak sedikit desa di banyak daerah berinisiatif membuat Peraturan Desa. Banyak pula desa-desa menginisiasi aturan adat distatuskan menjadi Peraturan Desa. Terlebih ketika gerakan masyarakat sipil mendorong otonomi desa semakin menguat. Banyak ragam urusan yang diatur. Ada yang mengatur tentang pungutan desa, retribusi pasar desa, kebersihan dan kesehatan lingkungan, BUM Desa, pemakaman dan perencanaan pembangunan desa. Desa Kawunganten di Kabupaten Cilacap mengeluarkan Peraturan Desa tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Desa Sarimahi di Kabupaten Bandung membuat Perdes tentang retribusi pasar desa. Di Desa Krandegan Kabupaten Kebumen menetapkan Perdes tentang perlindungan buruh migran dan keluarga buruh migran di desa. Yang paling banyak adalah Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKP Desa) dan Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDesa).
Munculnya inisiatif peraturan desa tersebut memunculkan perbincangan publik yang secara umum mepersoalkan statusnya dalam kerangka hukum Indonesia. Terlebih saat pemerintah mengesahkan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebagian ahli hukum tata negara berpendapat, Peraturan Desa bukan tergolong peraturan perundang-undangan. Misalnya Jimli Assidiqie. Menurut Jimli, penyebutan Peraturan Desa telah menempatkan jenis peraturan ini ke dalam sistem hukum perundang-undangan nasional Indonesia. Nomenklatur yang digunakan merujuk pada logika pemerintahan NKRI secara umum, sehingga menyebabkan timbulnya penyeragaman bentuk Perdes. Bentuk produk hukum Perdes yang meniru bentuk produk hukum peraturan perundang-undangan, menurutnya kurang mengakui eksistensi desa dan masyarakat desa. Jimli menyarankan peraturan di desa cukup diserahkan kepada Desa dan selanjutnya diurus oleh Desa dalam bentuk kesepakatan yang bebas dan beragam. Hierarki atau tata urutan produk hukum dari tertinggi ke yang terrendah menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal (7) sebagai berikut:
hirarki
Dari uraian di atas jelas didapatkan pengertian bahwa Peraturan Desa tidak dilegitimasi atau diakui sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan. Meski demikian, masih dalam UU No. 12 Tahun 2011 tersebut Peraturan Desa tetap diakui sebagai keberadaannya. Jika ditafsirkan pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 dapat diambil pengertian bahwa Peraturan Desa diakui keberadaannya sebagai produk hukum dan memiliki kekuatan hukum sepanjang diperintahkan (didelegasikan) oleh Peraturan Perundang-undangan di atasnya atau dibentuk berdasarkan kewenangan subjek pelaku pembuatnya, dalam hal ini Desa. Jadi, sebelum UU Desa diputustetapkan sebagai Undang-Undang pada 18 Desember 2013 lalu, posisi Peraturan Desa dalam struktur peraturan perundang-undangan nasional tidak memiliki dasar legitimasi Undang-Undang.
Setelah UU Desa lahir, apalagi di dalamnya memuat sejumlah norma yang memerintahkan ataupun mengakui desa untuk memproduksi Peraturan Desa, secara otomatis Perdes mendapatkan pendasaran hukum. Salah satu norma tersebut misalnya pasal 1 angka 7 UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa disebutkan “Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa”. Pendasaran hukum lebih lanjut Peraturan Desa sebagai bagian dari produk perundang-undangan, ditindaklanjuti dengan lahirnya produk hukum turunan UU Desa. Contohnya pada Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.  PP ini memuat norma pengaturan Peraturan Desa tentang i) RPJM Desa, ii) RKP Desa, iii) APB Desa, iv) Pendirian BUM Desa, v) Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa, vi) Pungutan, vii) Organisasi Pemerintah Desa, viii) Pengelolaan kekayaan milik desa ix) perencanaan, pemanfaatan dan pendayagunaan aset desa dan tata ruang dalam pembangunan kawasan perdesaan.

Pasang Surut Hubungan Pemerintah dengan Desa
Paling tidak ada tiga sudut pandang yang akan membayang dalam pikiran ketika membincang tentang Desa. secara sosiologis Desa adalah kesatuan hukum masyarakat atau sekumpulan penduduk yang mendiami suatu wilayah tertentu. Pada umumnya kesatuan penduduk tersebut saling memiliki pertalian darah. Dari sudut pandang ekonomi, Desa identik dengan kesatuan penduduk yang memiliki cara yang khas (sistem ekonomi tradisional) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi ekonominya. Pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Dari aspek politik, maka Desa diidentikan dengan kesatuan masyarakat berpemerintahan atau sewbagai sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat struktur kekuasaan dan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari segi etimologi, banyak ragam untuk menyebut Desa. Desa identik dengan Jawa. Orang Kalimantan menyebut Desa dengan Benua. Penduduk Aceh menyebutnyaGampong. Di Sumatera Selatan, Desa disebut Marga, orang Sumatera Barat menyebutnya Nagari, di Maluku disebut Negeri dan bagi orang Sulawesi Desa disebutKampung. Pemimpin lokalnya pun memiliki sebutan yang berbeda. Sebagai contoh, di Jawa kepala desa dulu akrab dengan sebutan lurah. Di Sumatera Barat disebut wali nagari, di Maluku disebut raja. Di Aceh kepala desa disebut geuchik.
Dalam lintas sejarah nasional Indonesia, di masa kolonialisme menyelimuti ibu pertiwi, terlebih saat VOC menguasai geopolitik nasional Indonesia yang pada saat itu belum berbentuk negara,Desa tidak mendapat perhatian khusus. VOC lebih memilih berhubungan secara langsung dengan penguasa politik dan wilayah di atas raja atau bupati pribumi. Pendekatan kekuasaan ini bertujuan untuk membangun efektifitas penguasaan VOC dalam mengakumulasi modalnya. Jumlah raja atau bupati yang relatif sedikit daripada jumlah kepala desa, dalam hitungan ekonomi politik pasti lebih efisien. Dengan memegang kekuasaan para raja atau bupati pribumi, maka secara tidak langsung VOC akan dapat menggerakan kepala desa menjalankan misi dan kepentingan VOC. Melalui raja atau bupati pribumi, VOC memerintahkan kepala desa untuk bekerja bersama perangkatnya mengumpulkan hasil bumi seperti kopi, beras, lada, cengkeh dan rempah-rempah lainnya. Statusnya sebagai pajak masyarakat kepada negara. Jadi, tali kendali kekuasaan secara nasional terhadap Desa yang sesungguhnya bukan di tangan para raja, tapi di tangan VOC, atau dalam sebutan orang kala itu “Kompeni”. Dengan cara ini, Kompeni memperoleh tiga keuntungan politik sekaligus. Pertama, berhasil memecah konsentrasi konsolidasi antarraja-raja di Nusantara. Kedua, menggerakkan sumber daya desa tampa harus membangun hubungan intruksional langsung dengan desa. Ketiga, secara sosial resistensi masyarakat terhadap VOC relatif kecil, karena pendekatan ini sebenarnya menghadapkan raja dengan Desa dalam relasi yang konfliktual.
Pola pemanfaatan desa untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan politik para penjajah yang pernah masuk ke Indonesia sebenarnya tidak hanya terjadi di masa kekuasaan VOC saja. Tapi juga di masa pendudukan Jepang atas Indonesia. Dalam politik kebijakan berikutnya, ternyata Kompeni juga membangun sistem di mana sumber daya desa secara langsung dikendalikannya. Penerapan sistem tanam paksa di era kepemimpinan Jenderal Johanes Van de Bosch hingga sistem sewa tanah yang diterapkan oleh para penggantinya kemudian,demi untuk memenuhi kebutuhan keuangan negara (VOC) benar-benar telah menjadikan Desa sebagai alat pemaksa rakyat sekaligus sapi perahan Kompeni. Pemerintah desa dipaksa untuk memungut pajak kepada rakyat hingga memaksa rakyat untuk mengolah tanah dan menyerahkan hasil buminya bukan untuk dikelola pemerintah kerajaan, tapi kepada VOC. Cara-cara ini telah menghancurkan persendian kehidupan politik desa yang seharusnya penuh kearifan dan degradasi sosial. Hingga akhirnya kelaparan serta kemiskinanpun tak bisa dihindari melanda Desa. Derita yang mungkin semakin bertambah ketika Jepang berkuasa struktur cengkeraman kekuasaan diperluas hingga ke level struktur kelembagaan di bawahnya kepala desa (pemerintah desa) yang dalam bahasa sekarang di sebut Rukun Warga (RW) dan Rukun Tangga (RT). Karena, cara pandang penguasa baik yang diperankan VOC maupun Jepang kepada desa yang hanya menempatkan Desa sebagai kaki tangan kekuasaan mereka telah merusak Desa sebagai kesatuan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain wajah sosial Desa dinafikan, kecuali wajah sebagai kaki tangan kekekuasaan.
Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa Indonesia berhasil merengkuh kemerdekaan, Desa mulai mendapatkan pemuliaan. Di awal-awalkemerdekaan, pemerintah waktu itu melalukan penataan desa dengan cara yang demokratis. Pemeirntah mendudukan masyarakat dan pemerintah desa pada posisi yang setara. Dengan kata lain secara kelembagaan maupun individu masyarakat desa memiliki posisi yang sama. Contoh regulasi yang dikeluarkan pada waktu itu untuk tujuan tersebut diantaranya UU No. 13 tahun 1946 Tentang Penghapusan Desa Perdikan dan UU No. 14 Tahun 1946 Tentang Perubahan Tata Cara Pemilihan Kepala Desa (Maschab, 2013). Dengan UU No. 13 Tahun 1946 tersebut tidak lagi ada pengistimewaan terhadap Desa-Desa yang semula berstatus sebagai perdikan. Dengan UU No. 14 Tahun 1946 setiap warga desa memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi kepala desa.
Cara pandang negara mengurus Desa di bawah rezim pembangunan mengalami pergeseran kembali. Pemerintahan yang secara politik waktu itu membutuhkan stabilitas politik hingga ke bawah, telah menjadikan Desa sebagai mesin politik kekuasaan. Pemerintah desa dikondisikan sedemikian rupa menjadi pasukan penguasa yang bergerak dibawah memobilisasi suara partai politik penguasa. Waktu itu partainya adalah Golongan Karya. Cara seperti ini telah mengerdilkan peran dan fungsi Desa yang seharusnya menghadirkan peran negara sebagai pelayan publik di level terdepan, berubah menjadi mesin pendulang suara partai politik. Penggeseran posisi Desa yang hanya dilihat sebagai perpanjangan pemerintahan supradesa terjadi ketika pemerintahan Soeharto memberlakukan UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Tak hanya itu, UU No. 5 Tahun 1979 meminggirkan hak-hak masyarakat lokal dan mengingkari keberagaman desa di Indonesia, termasuk mensentralisasi pengelolaan desa. Selama hampir 20 tahun sebelum akhirnya UU No. 22 Tahun 1999 lahir, Desa tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk mengurus rumah tangganya karena dominasi pengaturan oleh negara. Demokrasi kerakyatan desa hilang. Setelah UU No. 22 Tahun 1999 lahir Desa menerima ruang lebih longgar karena UU ini mengembangkan konsep otonomi desa (local self government). Sayangnya belum lagi berjalan optimal, UU tersebut sudah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang menutup kembali ruang otonomi masyarakat dan desa. Akhirnya, pengelolaan desa yang semu dijernihkan kembali melalui UU No. 6 Tahun 2014 tadi.
UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa atau sering disebut UU Desa mengembalikan cara pandang negara kepada keragaman desa. Dengan kata lain UU Desa menekankan pengakuan (rekognisi) atas keberagaman desa pada urutan terdepan sebagai konsekuensi fakta sejarah adanya 250 kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai berbagai sebutan namaseperti disebut di atas. UU Desa yang ditetapkan akhir 2013 lalu tersebut juga memuat azas subsidiaritas dan memposisikan kedudukan desa tidak lagi sebagai sub kabupaten. Dengan azas ini, desa memiliki kewenangan untuk mendefinisikan diri, memetakan apa permasalahan, mengidentifikasi potensi hingga mengambil keputusan kebijakan untuk mengurus rumah tangganya sesuai dengan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan desa berskala lokal. Lain dari pada itu untuk mendukung realisasi kewenangan desa membangun negara RI mulai dari desa, UU Desa mengembangkan hubungan pemerintah-desa berdasarkan hak keuangan desa. Realisasinya adalahNegara mengalokasikan Dana Desa (DD) yang bersumberkan APBN dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumberkan APBD. UU Desa menempatkan DD bukan sebagai program pemerintah, tapi sebagai bentuk pengakuan Negara atas hak desa yang harus dikeluarkan pemerintah setiap tahun anggaran. Dengan perubahan mutakhir ini, berarti pemerintah dan desa memiliki hubungan yang lebih proporsional. Desa tidak lagi menjadi halaman belakang NKRI tapi halaman depan.

Keterpaduan Antar Regulasi Membangun Desa
Secara mandatory, sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, pengurusan Desa seharusnya dipegang oleh satu Kementerian yang secara khusus berkait dengan urusan Desa. Namun fakta politik saat ini menghendaki adanya dua Kementerian yaitu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Keduanya sama-sama berwenang mengurus desa. Bedanya, Kemendagri mengurus pemerintah dan pemerintahan desa, sementara Kemendesa mengurus pembangunan dan pemberdayaan kemasyarakatan desa. Menindaklanjuti kewenangan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan dua produk hukum turunan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dua produk hukum tersebut yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang kini sudah diganti menjadi PP No. 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa serta PP No. 60 Tahun 2015 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang kini juga sudah dirubah menjadi PP No. 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan No. 60 Tahun 2015 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Kedua Kementerian tersebut juga mengeluarkan produk hukum turunan dari kedua PP tersebut. Kemendagri mengeluarkan Permendagri No. 111 Tahun 2015 Tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa, Permendagri No. 112 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Desa, Permendagri No. 113 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri No. 114 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Desa. Kemendesa mengeluarkan Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa, Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa, Permendes, PDT dan Transmigrasi No. 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 serta Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 6 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi.
Tabel. Produk-Produk Hukum
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi Terkait dengan Implementasi UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Kementerian Dalam NegeriKementerian desa, PDT dan Transmigrasi
Permendagri No. 111 Tahun 2015 Tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.
Permendagri No. 112 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Desa.Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa.
Permendagri No. 113 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa.Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa
Permendagri No. 114 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Desa.Permendes, PDT dan Transmigrasi No. 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.
Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 6 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi.
Utrecht (1953) berpendapat bahwa hukum diciptakan untuk menertibkan masyarakat. Oleh karena itu hukum diciptakan sebagai alat pendorong agar ketertiban hidup manusia dapat diraih. Kehadiran UU Desa, dalam perspektif hukum tidak lain untuk mengatur tata kelola desa yang selama ini tidak menciptakan order yang berpihak kepada desa. UU Desa hadir menyediakan instrumen aturan yang berfungsi mendorong peran negara merekognisi desa sebagai entitas NKRI. UU Desa juga berpretensi memberikan perlindungan sekaligus kewenangan kepada desa untuk mengurus rumah tangganya sesuai dengan dimensi asal-usul dan skala kewenangannya.
Tantangan pembuatan regulasi terletak pada pertama suasana kebatinan kedua kementerian yang diliputi polemik penguasaan urusan kewenangan desa. Kedua,aturan norma yang rinci dan problem kohesifitas antar regulasi. Sejak masa pembahasan RUU Desa, para policy maker dan pegiat advokasi RUU Desa telah memperkirakan akan adanya tantangan baru penyiapan regulasi turunan UU Desa. Aturan yang detail berpotensi mempersempit prakarsa dan ruang pengambilan keputusan bagi desa (detail is devil). Sementara ketidaksinkronan regulasi satu dengan lainnya berpotensi menyebabkan masyarakat menderita apa yang disebut informasi asimetris (asymmetric information).
Tantangan tersebut nampaknya terjadi. Contohnya, PP No. 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa tidak terpadu dengan UU Desa. PP No. 47 Tahun 2015 mengandung norma/pasal yang menegasikan nomenklatur UU Desa dan PP yang digantikannya. Pasal tersebut misalnya bagian ketentuan umum pasal 1 ayat (14). Pada pasal 1 ayat (14) PP No. 43 Tahun 2015 berbunyi “Menteri adalah menteri yang menangani desa”. Ketika PP No. 43 Tahun 2015 berganti menjadi PP No. 47 tahun 2015, ketentuan pada pasal 1 ayat (14) ini dihapus. Penghapusan pasal 1 ayat (14) dalam PP No. 47 tahun 2015 membawa konsekuensi yang signifikan terhadap tata urusan desa. Pembagian urusan desa ke dalam dua institusi Kementerian secara politik jelas telah membelah desa. Desa kehilangan cantolan Kementerian yang secara khusus mengurus desa. Padahal UU Desa tidak mendikotomikan Desa ke dalam dua entitas pemerintah desa dan warga masyarakat.
Sebagian narasi tentang tumpang tindih antar regulasi pengaturan desa di atas tentu perlu segera mendapat respon. Terlebih, agenda pelaksanaan UU Desa tidak hanya mensyaratkan ketercukupan kapasitas dan kepatuhan pemerintah desa dan masyarakat desa terhadap berbagai jenis aturan yang dikeluarkan pemerintah. Tapi juga membutuhkan kelembagaan aturan yang mendukung tercapainya tujuan diundangkannya UU Desa. Friedrich Karl von Savingny pernah menyatakan bahwa hukum tumbuh dan berkembang dari masyarakat, hukum diproduksi dari pengalaman masyarakat berdasarkan karakter masyarakat itu sendiri. Karenanya produk hukum yang baik adalah hukum yang dijiwai oleh kebutuhan masyarakatnya, bukan sekadar memenuhi kebutuhan dan kepentingan para pembuat kebijakan dan peraturannya.
Berdasarkan pokok-pokok masalah dan pemikiran di atas, tentu perlu dilakukan perlakuan cara berfikir dan bertindak dalam kerangka penyempurnaan atas regulasi-ragulasi yang sudah ada di masa mendatang. Di sisi lain juga diperlukan kearifan semua pihak yang secara hukum terikat ke dalam regulasi tersebut untuk menjalankan norma aturan dengan mengenyampingkan kepentingan pragmatis individu dan kelompok, sehingga tercipta pelaksanaan UU Desa yang senafas dengan harapan Desa. Terlepas dari kekurangan kadar keterpaduan antarregulasi turunan UU Desa di atas, pada dasarnya pembuatan regulasi baik yang diperankan oleh Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi adalah bagian dari ikhtiar “memuliakan dan memperkuat desa”. perlu digarisbawahi di sini, bahwa pemerintah saat ini berkomitmen dan berjuang mewujudkan harapan UU Desa dan Nawacita. []